Naiknya popularitas “ugly shoes”: Bagaimana fesyen menantang pandangan tentang kecantikan

Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English

Jika kamu sering menghabiskan waktu menelusuri media sosial, kamu mungkin pernah melihat orang-orang yang mengenakan sepasang sepatu boots besar berwarna merah yang mengingatkan pada sepatu Astro Boy. Sepatu boots yang tampak seperti kartun ini adalah bagian dari tren sepatu yang tidak biasa yang terus muncul di dunia fesyen yang dikenal sebagai sepatu “ugly”.

Slides “katak” JW Anderson | Sumber: Instagram @JW_Anderson

Tren ini telah melahirkan beberapa desain yang benar-benar unik, mulai dari sepatu boots Tabi dari Margiela yang ikonik dan sepatu boots UGG setinggi paha dari Y/Project hingga slide berbentuk katak dan sepatu heels bertumit cakar kucing dari JW Anderson. Namun, tidak semua sepatu “ugly” terlihat aneh. Sepatu yang biasa namun secara visual tidak menarik seperti Crocs, clog, dad sneakers, dan Birkenstock, pada satu titik waktu, pernah dianggap sebagai tren fesyen yang paling menarik.

Fesyen di era Internet

Ada suatu jawaban yang jelas atas pertanyaan mengapa sepatu-sepatu ini terus muncul. Stylist Vanya Harahap, ketika ditanya tentang kemunculan tren ini, mengatakan, “Jadi muncul pertanyaan tentang seberapa bersedianya orang-orang membeli sepatu itu hanya demi Instagram.”

Memang benar, menjadi viral di media sosial merupakan salah satu alasan kemunculan sepatu-sepatu yang membengkokkan realitas ini. Internet merupakan suatu tempat yang sibuk, dan konten-konten yang mengejutkan seperti sepatu boots hak tinggi dengan empat jari kaki dan tekstur yang menyerupai organ dalam manusia dari AVAVAV sangat efisien dalam melawan kebisingan di Internet. Suka atau tidak, orang pasti akan berinteraksi dengannya.

Boots “monster” AVAVAV | Sumber: Instagram @AVAVAV

Gagasan ini juga masuk akal apabila melihat perubahan-perubahan dalam industri fesyen yang terjadi karena Internet, terutama dalam hal tumbuhnya budaya penggunaan gimmick untuk meningkatkan kehidupan media sosial.

Hal ini terlihat dari bagaimana peragaan busana dilakukan pada masa kini. Jenama seperti Coperni dan AVAVAV baru-baru ini memilih pendekatan yang lebih teatrikal untuk presentasi mode mereka. Coperni mengirimkan Bella Hadid tanpa busana di panggung runway dan mengecat gaun slip-on di tubuhnya, dan AVAVAV menampilkan model jatuh dengan sengaja di runway.

Beate Karlsson, direktur kreatif AVAVAV, menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan 032C bahwa dia memilih untuk mempresentasikan koleksinya dengan cara ini untuk memaksimalisasikan kegunaan Internet sebagai alat untuk menarik perhatian di dunia digital.

Walaupun demikian, presentasi fesyen yang dramatis bukanlah suatu hal yang baru, namun praktik tersebut belakangan ini mulai dilupakan. Tetapi, adanya penekanan untuk menjadi viral pada masa kini telah memicu kebangkitan presentasi fesyen yang dramatis ini, dan dengan cara yang sama berkontribusi pada semakin populernya sepatu “ugly” ini.


Menantang norma kecantikan

Walau begitu, pemikiran bahwa tren ini muncul karena semata-mata didorong oleh keinginan untuk menjadi viral meremehkan substansinya sendiri karena sepatu-sepatu ini membentuk suatu lanskap fesyen baru yang mengaburkan garis antara nyata dan tidak nyata.

Seperti dijelaskan MSCHF, perkumpulan kreatif di balik sepatu boots Astro Boy, yang didesain untuk menjadi sarana dalam membawa diri virtual ke dunia fisik. Loewe juga membuat pernyataan serupa dengan koleksi musim semi 2023 mereka yang menampilkan sepatu sport yang dapat menumbuhkan rumput.

Boots Astro Boy MSCHF | Sumber: Instagram @MSCHF

Hal ini dipicu oleh keterpaparan kita yang tiada henti terhadap teknologi virtual, yang bertindak sebagai katalisator untuk mengubah tidak hanya penampilan, tetapi juga identitas kita. Hal itu melahirkan gagasan kecantikan yang terdistorsi yang secara fisik tidak dapat dicapai di dunia nyata.

Desainer Karina Nasywa memandang hal ini sebagai perubahan positif, yang menandakan adanya inovasi dan perluasan definisi kecantikan yang sangat dibutuhkan. Ia menjelaskan, “Di runway, sepatu ugly ini benar-benar menonjol dari kumpulan sepatu-sepatu yang klasik seperti Manolo dan Louboutin. Ini merupakan hal yang baik karena berarti industri fesyen menjadi lebih terbuka untuk inovasi dan persepsi kecantikan, (dan mendorong) inklusivitas.”

Mengubah dunia fesyen mewah

Dalam dunia fesyen mewah, sepatu “ugly” juga sering menjadi sarana bagi desainer untuk mengubah dan mendefinisikan kembali konsep kemewahan. Phoebe Philo, mantan direktur kreatif Celine yang dijuluki sebagai ratu sepatu “ugly” oleh Karina, memainkan peran penting dalam mempopulerkan Birkenstock.

Dalam artikel Vogue tahun 2013 berjudul "Pretty Ugly; Why Vogue Girls Have Fallen for the Birkenstock", dijelaskan bahwa Birkenstock, alas kaki yang terkenal dengan kenyamanan dan desain ergonomisnya, tidak pernah secara universal dianggap sebagai sepatu yang menarik secara visual sampai Philo memasukkannya dalam koleksi Celine musim semi 2013.

Keputusan Philo untuk memasukkan Birkenstock tidak didorong oleh persepsi “kejelekan” dari sandal tersebut, namun lebih karena kenyamanannya, yang sejalan dengan filosofi desainnya yang praktis. Pakaian perempuan seringkali mengorbankan kenyamanan demi gaya, tetapi Birkenstock dari Philo menentang gagasan ini. Philo memberikan, yang disebut Vogue, “renaissance” gaya pada Birkenstock dengan menambahkan lapisan bulu mink mewah, membuktikan bahwa gaya dan kenyamanan tidak perlu saling terpisah.

Demna Gvasalia, direktur kreatif Balenciaga, juga mengeksplorasi persimpangan fesyen mewah dengan sepatu “ugly”. Portofolionya mencakup chunky platform Crocs, sepatu Vibram hak tinggi (sepatu karet lima jari tahan lama yang sering digunakan untuk aktivitas luar ruangan), dan sepatu triple S (sepatu olahraga dengan lapisan sol tebal serta desain yang warna-warni, dikenal luas sebagai “dad sneakers”).

Tidak seperti Philo yang memberi Birkenstock pembaruan gaya, Gvasalia mengambil pendekatan berbeda dengan hanya membuat ulang sepatu ini secara harfiah dengan bahan yang berkualitas. Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa desainnya dimaksudkan untuk semata-mata memikat konsumen yang mudah dipengaruhi dan meremehkan gagasan kemewahan.

Gvasalia membahas pendekatannya dalam sebuah wawancara dengan Washington Post. Ia mengungkapkan bahwa tujuannya adalah untuk mengubah persepsi kemewahan. Karyanya mencontohkan bahwa barang yang paling biasa pun dapat diubah menjadi fesyen kelas atas, sehingga memperluas batas kemewahan.

 

Ekspresi Individualitas dari Gen Z

Tren sepatu “ugly” juga mencerminkan pengaruh Gen Z di industri fesyen yang terus berkembang. McKinsey & Co melaporkan bahwa Gen Z memandang konsumsi sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas individu mereka, dan pakaian yang mereka kenakan merupakan perpanjangan dari diri mereka, yang memungkinkan mereka untuk bereksperimen dengan cara-cara untuk menampilkan identitas unik mereka.

Mengacu pada sepatu “ugly”, Vanya berpendapat bahwa daya tariknya terletak pada sifatnya yang sangat berbeda dan individualistis, dalam artian bahwa apa yang mungkin terlihat jelek bagi sebagian orang mungkin cocok untuk orang lain. Hal ini sejalan dengan nilai dan sikap Gen Z terhadap mode. Keeksentrikan dan gaya yang tak terbatas yang ditawarkan sepatu ini memberikan mereka suatu kebebasan untuk mengekspresikan diri sesuai keinginan mereka.

Gen Z membentuk sekitar 25% populasi dunia dan mewakili sebagian besar basis konsumen fesyen global, dengan menyumbang 40% dari semua pembelian fesyen di 2020. Oleh karena itu, mereka memiliki daya beli yang kuat di industri fesyen. Dengan kata lain, apa yang disukai oleh Gen Z adalah hal yang sangat penting.

Sebagai salah satu demografi paling berpengaruh di industri ini, preferensi mereka memiliki bobot yang signifikan di pasar fesyen global, sehingga mendorong industri fesyen untuk beralih ke gaya yang lebih personal dan individualistis untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin berkembang ini.

Oleh karena itu, meskipun mudah untuk menganggap sepatu ”ugly” ini sebagai sekadar trik untuk menarik perhatian, keberadaannya memaksa kita untuk mengubah persepsi kita tentang kecantikan dan identitas. Dengan menantang gagasan fesyen tradisional, sepatu ini mengingatkan kita bahwa kecantikan merupakan hal yang subjektif dan dapat ditemukan bahkan dalam hal-hal yang tidak terduga.



Artikel terkait


Berita terkini