Huru hara di balik desain poster caleg, jual persona untuk dapat atensi

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Memasuki musim kampanye, jalanan mungkin akan dipenuhi dengan sederet poster caleg (calon legislatif) yang sedang “dijual” oleh partai tempatnya bernaung kepada masyarakat sebagai pemilih yang ditargetkan.

Mulai dari poster caleg menggunakan baju kebanggaan partai hingga poster yang dipenuhi dengan sederet visi misi dan janji dan poster yang mengikuti format meme kekinian dengan menampilkan desain modern dan memberi kesan lebih “muda”.

Dulu, mungkin desain poster partai atau caleg terlihat kaku dengan template yang sama. Bahkan, hanya warna dan logo partai saja yang menjadi pembeda poster caleg satu dengan yang lainnya.

Namun kini, pendekatan itu tampaknya tidak lagi dijadikan pilihan utama. Sebab, perkembangan teknologi, budaya, dan karakteristik dari tiap generasi seakan menuntut desain poster kampanye untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi saat ini.

Tak hanya dari segi desain yang semakin menarik, tetapi juga dari copywriting-nya. Seperti menggunakan permainan kata “PeLaKor: Pengganti Legislatif Kotor”, “Siap Jungkir Balik untuk Rakyat”, “PKS: Partai Keren Sekali”, serta “Kepak Sayap Kebhinekaan”.

Poster kampanye Puan Maharani. (Sumber: Twitter/hipohan)

Makanya, tidak heran kalau di media sosial banyak bermunculan poster kampanye yang tampak lebih santai dengan format meme untuk menarik perhatian anak muda agar lebih peduli dan tidak terlalu cuek dengan politik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, 60% pemilih Indonesia pada pemilihan umum (Pemilu) 2024 didominasi oleh kelompok muda, yaitu mereka yang berusia 17–39 tahun. Sayangnya, masih banyak pemilih muda yang menganggap politik tidak penting.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mengatakan bahwa untuk bisa menjangkau atensi orang-orang yang sangat apolitis dan pesimistis, dibutuhkan usaha dari segi desain yang lebih kuat dan kompleks.

Volume lebih penting daripada desain

Pada 2019, Kunto bersama timnya melakukan riset terkait alat peraga politik (poster, spanduk, baliho). Riset tersebut ingin mencari tahu ketertarikan orang terhadap poster caleg melalui pertanyaan, “Pilih alat peraga yang besar atau banyak?”

Hasilnya, lebih banyak responden memilih alat peraga yang banyak. Artinya, walaupun ukurannya tidak besar, namun jika poster, spanduk, atau baliho caleg dapat ditemui di sepanjang jalan, mereka lebih mampu mendapat atensi masyarakat.

Banyaknya spanduk yang disebar ke banyak tempat ternyata tak hanya membuat desainnya lebih dikenal, tetapi juga mendemonstrasikan satu kualitas dari caleg atau partai itu, di mana orang akan berpikir kalau caleg atau partai memiliki banyak uang.

“Banyak pemilih kita yang pake shortcut atau heuristik pemikiran yang ‘saya akan pilih pemimpin yang kaya’, kenapa? Karena ketika ia menjabat, orang itu dipercaya tidak akan korupsi,” jelas Kunto.

Lalu, bagaimana dengan desainnya? Ini tentu juga tak kalah penting dengan volume, namun desain lebih mengimbangi volume. Menurut Kunto, akan percuma jika desain poster caleg sudah dibuat dengan sangat bagus, tetapi volumenya terbatas.

Hal ini tentu akan mempersempit segmentasi sang caleg. Inilah yang menyebabkan volume menjadi lebih penting daripada desain.

Pemilihan desain juga masih menjadi satu hal yang tricky. Kunto mengingat sempat ada poster caleg yang gambar orangnya dibalik. Menurutnya, hal itu cerdas untuk mendapatkan atensi masyarakat. Tetapi pertanyaannya, apakah tujuannya hanya sampai situ saja?

Contoh desain poster caleg dengan konsep lucu. (Sumber: Twitter/gesgestay)

“Itu [poster caleg terbalik] bisa dapat atensinya, tapi pada akhirnya, apakah justru positif atau negatif perbincangan yang muncul terhadap si caleg itu? Kalau untuk dapat atensi dan membuat orang tertarik untuk mencari informasi lebih banyak, itu berhasil. Tapi, apakah berhasil membuat orang memilih dia? Belum tentu.”

Ditujukan untuk menyoroti persona caleg

Setiap desain tentu ada tujuannya, sama halnya dengan desain poster caleg yang memiliki tujuan untuk menjual karakternya kepada calon pemilih. Orang-orang yang merasa bahwa politik tidak penting cenderung malas untuk berpikir tentang visi-misi, program, maupun platform partai.

Itu sebabnya, mereka akan lebih tertarik melihat kualitas tokoh yang ditunjuk oleh partainya. Karakter seorang caleg ialah hal utama yang ditampilkan atau direpresentasikan dalam bentuk visual. Contohnya, jika caleg tersebut mengenakan sorban, maka ia adalah seorang agamis.

Menariknya, ini memang merupakan gejala komunikasi politik yang mendunia, yaitu menghadirkan personalisasi politik. Jadi, pendekatan caleg atau partai kepada calon pemilih menjadi lebih personal.

Hal ini juga dibenarkan oleh Wulan, seorang desainer grafis Partai Gerindra yang sudah menggeluti karier ini sejak akhir 2018. Menurutnya, ciri khas utama desain partai memang ditujukan untuk menyoroti persona caleg.

“Bentuk desainnya disesuaikan dengan karakter caleg dan target masyarakatnya juga. Selain itu, kita juga harus lihat apa saja yang lagi happening di masyarakat, supaya disesuaikan lagi konsep desainnya,” ungkapnya.

Menurut Kunto, masyarakat lebih pandai menilai orang dibandingkan menilai partai yang abstrak. Inilah yang membuat persona caleg yang divisualisasikan menjadi penting. Ia menambahkan, “Istilahnya, kalau mau menilai partai A seperti apa, kita coba lihat saja ketuanya punya karakter seperti apa.”

Desain partai memperlihatkan caleg dengan pendekatan yang lebih personal, tidak terlalu partai-oriented, dan menunjukkan nilai jual dari masing-masing pribadinya. Di sinilah tantangan desainnya: menunjukkan hal tersebut secara unik dan berbeda dari pesaingnya melalui visual.

Jadi, apakah tujuannya hanya untuk meraih perhatian semata?

Agar mampu dikemas dengan baik, konsep menjadi salah satu hal terpenting sebelum membuat desain materi promosi caleg. Wulan mengatakan, persaingan yang dihadapi tak hanya datang dari partai lain, tetapi juga dari internal.

Pembuatan konsep pun membutuhkan waktu yang cukup lama. “Bisa dimulai dari setahun sebelumnya, karena kita perlu bikin pemetaan dulu. Kita harus tahu data usia pemilih, di wilayah tertentu lebih condong ke suara mana, jadi kita harus riset dulu dari awal.”

Dengan konsep yang dikemas sedemikian rupa, apakah pada akhirnya cukup hanya untuk mendapatkan atensi saja?

Kunto menjelaskan, “Tentu saja yang namanya kampanye tidak berhenti di sini [desain], tetapi ada call to action-nya. Kalau mereka mau para targetnya mencari informasi terkait si caleg dengan lebih dalam, apakah tersedia di desainnya?”

“Jadi, perdebatannya tidak hanya berhenti pada desain saja. Kalau desain oke dan dapat atensi, well that’s good. Tapi, setelah itu, apa lagi? Menurut saya, tugas politik kita hari ini lebih di situ, sih. Kalau secara desain sudah muncul personalisasi, ide-ide yang khas, menurut saya itu akan membantu anak muda atau pemilih untuk kemudian merasa penasaran dengan politik atau calon itu,” tutupnya.



Artikel terkait


Berita terkini