Live action adaptasi: Antara nostalgia dan kontroversi

Ditulis oleh Alessandra Langit | Read in English

Live action adaptasi karya animasi telah menjadi tren di industri film global dalam beberapa tahun terakhir ini. Film live action yang umumnya diangkat dari kartun ikonik atau anime populer memiliki daya tarik tersendiri bagi penonton. Perasaan nostalgia dan realisasi dari dunia yang imajinatif merupakan dua hal menarik yang ditawarkan oleh film-film live action. Selain itu, jenis film ini mampu memperkenalkan tayangan-tayangan klasik kepada generasi baru. Walaupun ditunggu-tunggu, film live action kerap gagal dalam menangkap esensi dari versi aslinya hingga menjadi polemik.

Sebagai salah satu studio animasi tertua di dunia, Disney cukup sering memproduksi ulang animasi klasik mereka dalam bentuk live action, mulai dari “The Lion King”, “Cinderella”, dan “Beauty and the Beast”, hingga yang terbaru “Little Mermaid”. Hadirnya berbagai platform streaming seperti Netflix juga membuat produksi film adaptasi semakin berkembang. Dalam setahun terakhir, Netflix telah merilis adaptasi dari animasi “One Piece” dan yang baru tayang pada 22 Februari 2024, “Avatar: The Last Airbender”. Film-film ini memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Arahan visual seperti set dan tata artistik film live action seringkali mendapat pujian dari penonton. Namun, alur cerita yang diperluas, pemilihan pemeran, dan kepekaan terhadap isu sosial-politik seringkali menjadi kelemahan dari film live action. 

Hal ini membuat banyak yang bertanya-tanya, film live action seperti apa yang disebut berhasil dan mana yang gagal?

Yang membuat film live action dikatakan berhasil

Ada beberapa aspek, baik visual maupun narasi, yang membuat film live action dikatakan berhasil. Pertama, tak bisa dipungkiri bahwa keunggulan live action adalah kemegahan visualnya. Kemajuan teknologi CGI memungkinkan pembuat film untuk menciptakan dunia imajinatif senyata mungkin. Film live action dari “The Jungle Book” dan “The Lion King” membawa penonton ke dunia hewan yang terasa nyata dan magis. Teknologi CGI mampu membuat penonton merasakan bagaimana hidup di tengah hutan dengan berbagai konfliknya. Karakter-karakter dalam dua film ini pun didominasi oleh hewan yang dibuat begitu hidup dan nyata—mewujudkan mimik, gestur, dan emosi dengan piawai serta detail yang realistis. Selain itu, teknologi CGI yang dibuat dengan apik dapat memantik nostalgia imajinasi masa kecil terhadap karakter atau dunia tertentu dalam sebuah animasi klasik.

Tata artistik film live action juga menjadi poin penting dalam kesuksesannya. Film live action “Avatar: The Last Airbender” mendapatkan pujian atas perancangan tata artistik, mulai dari set hingga kostum, yang tidak melenceng dari animasi orisinalnya dan dapat mewujudkan dunia Avatar secara nyata. Seperti ulasan yang ditulis oleh Vox, “Desain produksi ‘Avatar: The Last Airbender’ kaya akan detail, dengan merealisasikan elemen penting dalam serial ‘Avatar’ mulai dari arsitektur hingga kostum. Hal itu membuat semua elemen visual berintegrasi untuk menghasilkan tayangan yang spektakuler.”

Selain visual, narasi juga memiliki peran penting dalam film live action. Sering kali, film adaptasi animasi atau kartun klasik melakukan perluasan narasi dengan menambahkan kompleksitas atau kedalaman pada karakter maupun alur cerita. Adaptasi animasi atau kartun klasik juga sering menambahkan karakter baru yang hidup di satu semesta yang sama dengan karakter-karakter asli. Dalam film live action “Beauty and the Beast”, misalnya, motivasi dan latar belakang protagonis dieksplorasi dan dikembangkan. Adaptasi ini menawarkan perspektif yang baru dan tidak didapatkan di versi animasinya. Narasi feminisme juga disematkan dalam keseharian maupun keputusan karakter. Pengembangan cerita yang apik, tanpa memaksakan hal-hal yang tidak berpengaruh pada narasi asli, dapat memberikan pengalaman menonton yang lebih menyenangkan dan membekas di perasaan bagi penonton.

Hal yang lebih penting dari aspek teknis tersebut adalah kepekaan budaya yang dapat menggambarkan karakter, lingkungan karakter, atau cerita dengan cara yang inklusif dan menghormati budaya yang ada di cerita orisinal. Dalam live action “Avatar: The Last Airbender”, empat suku yang merupakan elemen esensial dalam kehidupan manusia ini merepresentasikan beragam budaya yang ada di dunia. Negara Api terinspirasi dari kekaisaran Jepang, Tiongkok, dan merepresentasikan budaya Asia Timur dengan baik; suku Air terinspirasi dari Inuit dan budaya subarktik yang representasinya sering dilupakan dalam budaya pop; Kerajaan Bumi terinspirasi dari budaya kekaisaran Tiongkok; dan Pengembara Udara terinspirasi dari sejarah kepercayaan Budha dan agama Hindu di Tibet dan sebagian negara di Asia Tenggara. 

Dalam live action Aladdin” yang tayang pada 2019, ada beberapa dialog dan lirik lagu yang diganti untuk lebih menghormati budaya Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam lagu “Prince Ali”, baris lirik yang berbunyi “budak, pelayan, dan antek” diubah menjadi “pelayan dan antek” karena kata ‘budak’ dirasa terlalu kasar dan merendahkan masyarakat di budaya yang menjadi latar film “Aladdin”. Selain itu, lirik “salam hari Minggumu” diubah menjadi “salam hari Jumatmu” karena hari Jumat adalah hari ibadah dalam Islam. Dalam adaptasi “Lady and the Tramp” (2019), karakter kucing siam yang berbicara dengan aksen stereotip Asia pun diubah menjadi suara kucing pada umumnya.

Kegagalan film live action yang menjadi polemik

Kepekaan terhadap budaya dan isu sosial-politik seringkali menjadi poin utama yang membuat sebuah film live action dianggap gagal. Dalam beberapa tahun terakhir ini, diskusi soal isu rasial dalam film adaptasi menjadi polemik di media sosial–memantik diskusi yang menarik soal pentingnya kepekaan studio atau rumah produksi terhadap isu yang ada di masyarakat. 

Dalam esainya Everything Culturally Wrong With Mulan (2020) and How They Could’ve Been Fixed”, Xiran Jay Zhao (penulis Kanada keturunan Tiongkok) menulis bahwa pandangan orientalis terhadap budaya Tiongkok dalam film live action “Mulan” (2020) membuat penonton Tiongkok merasa tidak dihargai. Di situs ulasan film terbesar di Tiongkok, Douban, film adaptasi animasi klasik ini mendapatkan rating terendah dari semua film live action produksi Disney. 

Menurut Zhao, masalah dalam film ini berakar pada staf produksinya yang didominasi oleh orang kulit putih, mulai dari sutradara, penulis skenario, hingga desainer kostum. Hal ini membuat film “Mulan” tidak memiliki perspektif dari orang Tiongkok. Sebagai contoh, desainer kostum tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang pakaian tradisional dan keseharian Tiongkok. Disney menyelesaikan masalah itu dengan riset budaya Tiongkok melalui arsip atau berkunjung ke museum. Disney memilih mengeluarkan uang untuk riset yang lebih besar alih-alih mempekerjakan desainer Tiongkok yang besar dan hidup dalam budayanya. Zhao juga melihat bahwa penulis skenario mengisi narasi dengan hal-hal fantasi khas Barat seperti penyihir. Konsep budaya tradisional Tiongkok ditafsirkan lewat perspektif Barat sehingga hanya menunjukkan pemahaman tingkat permukaan.

Disney juga menyematkan ideologi progresif dalam adaptasi klasiknya yang justru memantik debat di masyarakat luas. Film adaptasi “Snow White” yang rencananya akan tayang pada 2025 kini masih menjadi diskusi karena dianggap terlalu memaksakan narasi ‘woke dalam filmnya. Pertama-tama, karakter Snow White akan diperankan oleh aktris Rachel Zegler yang merupakan seorang Latina. Hal itu dianggap melenceng jauh dari asal cerita klasik “Snow White”, yaitu Jerman. Protagonis tersebut diberi nama Snow White karena kulitnya yang seputih salju. Maka, banyak masyarakat yang merasa kecewa dengan keputusan Disney yang dianggap ‘merusak’ cerita aslinya. Sebelumnya, Disney sudah terlebih dahulu mengganti ras protagonis dalam film “Little Mermaid” (2023), Ariel. Namun, hal itu mendapat dukungan dari masyarakat luas mengingat Ariel tidak berasal dari ras atau budaya tertentu dan merupakan makhluk imajinatif yang hidup di bawah laut. 

Dikabarkan juga bahwa dalam film “Snow White”, tujuh karakter kurcaci akan diganti oleh karakter-karakter dari berbagai latar belakang karena kreator merasa karakter kurcaci tidak sensitif kepada masyarakat dengan dwarfisme. Padahal, ini kesempatan untuk menampilkan representasi aktor dengan dwarfisme yang berdaya dan memiliki karakter kuat dalam sebuah film. Hal ini membuat aktivisme yang dilakukan oleh Disney terasa performatif.

Kegagalan film live action juga bisa disebabkan oleh rancangan visual maupun narasi yang tidak mampu menangkap esensi dari versi klasiknya. Dalam beberapa kasus, film live action mengalami masalah tempo. Film adaptasi “Peter Pan & Wendy” (2024) dinilai memiliki tempo yang terburu-buru dan berakibat pada perubahan karakter-karakternya. Penonton tidak dapat menumbuhkan simpati pada karakter kesayangan mereka karena plot berjalan dengan begitu cepat. Selain itu, penggunaan CGI berlebih seperti dalam film adaptasi “Pinocchio (2022) membuat karakter terlihat tidak hidup karena emosi tidak dapat tersampaikan dengan baik.

Dalam pembuatan live action adaptasi memang perlu ada keseimbangan yang harus diperhitungkan oleh pembuat film. Film adaptasi juga harus mampu mempertahankan esensi atau elemen orisinal dari animasi aslinya serta menghadirkan kedalaman emosional dan kesadaran isu sosial-politik lewat cerita maupun karakter. 



Artikel terkait


Berita terkini