Dubbing bukan sekadar alih bahasa

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Takeshi’s Castle” atau “Benteng Takeshi” merupakan salah satu acara televisi (TV) yang mungkin melekat di hati dan ingatan penonton Tanah Air.

Betapa tidak, permainan realitas asal Jepang yang pertama kali disiarkan pada 1986 oleh Tokyo Broadcasting System (TBS) dan dibawa ke Indonesia pada 2002 oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) ini hadir dalam dubbing Bahasa Indonesia yang membuatnya lebih dekat dengan penonton lokal.

Setelah 34 tahun, Fremantle Indonesia kembali menghadirkan program klasik ikonik tersebut ke Tanah Air melalui platform Prime Video, menggandeng seniman sekaligus kreator konten Fluxcup sebagai pengarah sulih suara (dubber director) dan deretan komedian Indonesia sebagai penyulih suara (dubber) agar tontonan yang disajikan lebih dekat dengan penonton Indonesia.

“Kali ini lebih lokal, karena kalau dilihat yang versi Jepang, jokes di sana tidak masuk dengan masyarakat Indonesia. Makanya aku ingin bikin jokes-nya relatable dengan penonton di sini, jadi semuanya benar-benar dirombak satu season ini, sehingga bisa jadi tontonan yang fresh dari ‘Takeshi’s Castle’ sebelumnya,” jelas Fluxcup.

Takeshi’s Castle” hanya satu dari sekian banyaknya tayangan luar negeri dengan dubbing di Indonesia. Acara TV dubbing lainnya, seperti animasi “SpongeBob SquarePants” dan “Doraemon” hingga program telenovela ikonik “Esmeralda” dan “Carita de Angel”, juga sempat meledak di kalangan penonton Indonesia.

Beberapa dekade sejak kemunculannya, tepatnya pada akhir 1950-an, industri dubbing lokal terus mengalami kemajuan seiring dengan berkembangnya industri film hingga teknologi.

Kini, dubbing tak hanya dapat dinikmati di tayangan TV saja, tetapi juga di platform streaming dan media sosial. Ya, saat ini terdapat banyak sekali kreator konten dubbing di media sosial seperti TikTok ataupun Instagram, yang tak kalah terampil dari dubber profesional.

Antara peluang dan tantangan

Layanan streaming seperti Netflix, Prime Video, dan Disney+ yang menawarkan konten dalam berbagai bahasa agar dapat menarik audiens global memiliki peran signifikan dalam evolusi industri dubbing dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Kehadiran platform-platform tersebut telah membuka lebar pintu peluang baru bagi para dubber, di mana mereka tak lagi hanya menyulih suara untuk tayangan TV, namun juga konten-konten lain yang tersedia di media baru tersebut.

Dubbing menjadi bagian dari strategi yang diterapkan oleh platform streaming untuk melakukan pemasaran melalui pendekatan bahasa. Inilah mengapa penting bagi dubber untuk menghadirkan sulih suara yang memenuhi ekspektasi audiens.

Di lain sisi, peluang baru yang tersedia di platform streaming dan media sosial hadir bersamaan dengan sejumlah tantangan baru pula, khususnya untuk hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia.

“Memang kendalanya adalah, secara teknik yang dibutuhkan jam terbang, itu pasti kurang. Tapi kalau kita tidak memberikan peluang, mereka pada akhirnya tidak akan mendapatkan jam terbang,” ujar Dewi Sartika, dubber karakter Nobita dalam serial animasi “Doraemon”, kepada TFR belum lama ini.

Hal senada disampaikan oleh Voice Acting Mentor dan Dubbing Director Revi Ansori dalam kesempatan terpisah. Ia mengatakan, kualitas dubber yang baru bergabung ke dalam industri ini masih perlu ditingkatkan lagi.

“Artinya ada perkembangan, ada pangsa pasar yang lebih luas dan membutuhkan talent suara, tapi harus dibarengi dengan pengetahuan akting, pengetahuan akan kebutuhannya. Voice acting itu, kan, merupakan turunan dari akting itu sendiri, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kecerdasan emosional itu sangat penting,” terangnya.

Guna menghadapi perkembangan pesat ini, dubber harus bisa terus beradaptasi dan meningkatkan kemampuannya agar dapat memenuhi kebutuhan pemeranan dalam sebuah konten.

Terlebih, seorang dubber sering kali harus bisa menutupi kekurangan dari visual, sebab audio merupakan ruh dari visual yang ditampilkan, sehingga keduanya harus berjalan beriringan demi terciptanya harmoni.

Seperti dikatakan oleh dubber karakter Naruto dalam serial animasi “Naruto”, Hana Bahagiana, kepada TFR, “Karena dalam proses dubbing, panca indera kita bekerja secara bersamaan, mulai dari mata melihat naskah dan film, mulut harus berbicara, sedangkan telinga mendengarkan suara aslinya. Belum lagi ditambah emosi, penghayatan, artikulasi, intonasi, jadi memang harus konsentrasi.”

Transformasi rasa, bukan hanya bahasa

Seorang aktor harus memiliki kepekaan rasa dan mampu menyampaikan emosi ataupun perasaan tertentu kepada penonton; begitu juga seorang dubber. Berbeda dari awal kemunculannya, fungsi dubbing saat ini lebih dari sekadar menerjemahkan bahasa.

Karenanya, penting untuk memahami setiap karakter secara mendalam dan menguasai emosi agar apa yang ditampilkan dalam bentuk visual dapat dirasakan pula oleh penonton.

Dubber tidak bisa hanya meniru apa yang ada di dalam filmnya, tetapi harus bisa melihat apa yang bisa dilokalisasikan secara bahasa dan karakter. Dubber harus bisa seperti sedang bermain di dalam film yang disulihsuarakan, sehingga dia bisa memindahkan bahasanya, tapi transformasi rasanya tetap berjalan,” ungkap Revi.

Kendati begitu, keterampilan untuk mentransformasikan rasa ini masih jarang ditemui di antara para pendatang baru. Maka, tak heran jika industri dubbing kerap disebut-sebut terhalang oleh orang yang “itu-itu saja”.

“Karena industri besar itu ketika sudah menemukan agensi atau production house (PH), pasti larinya ke situ-situ lagi. Dan para dubber senior ini pun mereka sudah terbiasa dengan pace kerjanya yang terpola, jadi mereka sudah lebih paham. Kadang-kadang, industri besarnya pun tidak mau ambil risiko untuk hire dubber baru,” ujar Fluxcup.

Inilah yang menjadi alasan mengapa di samping dituntut untuk menguasai teknik dubbing, dubber juga harus bisa beradaptasi dengan perkembangan industrinya secara garis besar.

Pasalnya, industri dubbing membutuhkan lebih banyak pilihan talent untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda sekaligus memberikan warna baru pada industrinya. Tentunya, hal ini hanya dapat tercapai jika orang-orang yang ada di dalamnya dapat terus meningkatkan kualitas hingga keterampilan yang dibutuhkan.

“Kalau bicara tentang kebutuhan, kalau penonton mendengarnya yang itu-itu saja, itu pasti akan muncul rasa bosan,” ucap Dewi.

Selaras, Fluxcup berpendapat bahwa memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk terlibat dalam proyek profesional dapat menjadi alternatif untuk menyaring talent atau dubber yang lebih fresh bagi penonton.

“Kalau industri besarnya berani memberikan kesempatan bagi generasi baru, maka akan banyak juga variasinya. Keberanian itu yang harus di-highlight sebagai jalan segar untuk shifting generasi dubber baru,” tuturnya.

Di sisi lain, kesejahteraan dubber masih jadi perhatian

Perkembangan industrinya pesat, generasi baru dubber pun mulai banyak bermunculan. Sejalan dengan itu, kesejahteraan orang-orang di baliknya pun tak boleh luput dari perhatian.

Dewi menyayangkan bahwa meskipun dubber merupakan profesi legal sama seperti aktor, belum ada regulasi khusus yang mengatur kesejahteraannya.

“Karena memang belum ada standardisasi, jadi masing-masing PH masih membuat standarnya sendiri-sendiri. Jadi masih beda-beda. Harapannya, regulasinya bisa diperjelas lagi,” ungkapnya.

Di lain sisi, Fluxcup justru melihat masih banyak isu terkait kesejahteraan yang diciptakan oleh dubber itu sendiri. Misalnya, ia kerap mendapati rekan-rekan sesama dubber di sekitarnya yang belum berani mengakui bahwa mereka merupakan seorang profesional yang berhak memperoleh upah layak.

Ia mengatakan, “Aku melihatnya harus lebih diprioritaskan lagi teman-teman dubber ini untuk memberikan rate card. Yang aku perhatikan, masih banyak yang berpikiran ‘Gue bukan siapa-siapa’, padahal penting untuk berani memberikan rate card profesional.”

Menurutnya, menentukan upah layak dan mengakui bahwa mereka adalah seorang profesional bukan cuma bisa membuka lebih banyak peluang berkarier di industri yang lebih besar ke depannya, tapi juga penting agar profesi ini lebih diapresiasi dan tak dipandang sebelah mata.

Harapan itu juga diamini oleh Dewi, yang menegaskan bahwa kesejahteraan tak bisa lepas dari nilai profesional.

“Tapi paling tidak kalau kita ingin sejahtera, kita harus bisa mengangkat kesejahteraan itu sendiri dengan nilai profesional. Kalau kita sudah merasa cukup profesional, kita harus bisa menghargai nilai itu sendiri,” tutupnya.




Artikel terkait


Berita terkini