Minimnya perlindungan bagi profesi stuntman

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Sudah lebih dari dua dekade Muhammad Yazid atau yang lebih dikenal dengan Majid Piranha berkecimpung di dunia pemeranan Tanah Air sebagai stuntman, stunt coordinator, dan action director.

Pada akhir 1990-an, ketika industri film Indonesia mulai kembali bangkit, stuntman bekerja secara perorangan dan harus mendekati sutradara atau produser demi dapat terlibat dalam sebuah proyek film atau sinetron.

Tak sedikit pula sutradara yang memilih merekrut pemeran pengganti dari luar negeri untuk mengisi kebutuhan stuntman di dalam proyeknya. Kala itu, Majid sadar betul bahwa Indonesia memiliki banyak sosok bertalenta di bidang yang ditekuninya ini.

Meskipun ada segelintir aktor laga yang lebih memilih melakukan adegan berbahaya sendiri, seperti halnya aktor-aktor ternama dunia seperti Tom Cruise dan Jackie Chan yang terkenal tak takut melakoni adegan berisiko tinggi tanpa pemeran pengganti, tak bisa dimungkiri bahwa stunt performer masih sangat diandalkan di kebanyakan proyek film.

Berangkat dari kekhawatiran akan digantikan oleh stuntman dari luar negeri, pada 2005 Majid memutuskan untuk mendirikan sebuah wadah bernama Piranha Stunt Indonesia, yang kelak menjadi komunitas stuntman pertama dan terbesar di Indonesia.

Perjalanannya dalam mendirikan organisasi tersebut pun sempat mengalami tentangan, yang membuatnya harus rela kehilangan pekerjaan utamanya itu.

“Dulu belum ada organisasi yang melindungi para stuntman, baik terkait keselamatan kerjanya ataupun pekerjaannya itu sendiri. Sutradara itu merekrut stuntman berdasarkan siapa yang mereka suka. Saat saya mendirikan Asosiasi Stuntman Indonesia (yang kelak menjadi Piranha Stunt Indonesia), ada ketidaknyamanan di antara senior sampai saya harus dikeluarkan dari pekerjaan saya,” ujarnya dalam sebuah wawancara bersama TFR belum lama ini.

Kini, Piranha Stunt Indonesia telah melatih dan menjadi rumah bagi lebih dari 100 stuntman di Indonesia, serta terlibat dalam berbagai proyek iklan, sinetron, hingga film besar dalam berbagai genre, baik skala nasional maupun internasional.

Bukan cuma berlaga, stuntman juga harus bisa akting!

Seiring dengan perkembangan industri perfilman nasional, kebutuhan akan pemeran pengganti pun terus meningkat. Terlebih dengan adanya organisasi seperti Piranha Stunt Indonesia yang mewadahi stuntman dan terbukti menghadirkan banyak kesempatan baru bagi orang-orang di dalamnya untuk terlibat langsung dalam industri pemeranan.

“Dan sekarang pun kita sampai sudah diminta untuk pergi ke luar negeri, seperti ke Malaysia, India, dan dalam waktu dekat ini ada tim kita yang juga akan ke Italia. Jadi sebegitu besarnya kebutuhan akan stuntman. Menyediakan wadah seperti ini mempermudah mereka terhubung ke pihak lain, berbeda dengan dulu ketika kita kerja sendiri-sendiri,” jelas Majid.

Saat ini, sudah banyak stuntman baru yang bergabung dengan komunitas yang dibangun Majid bersama 19 kawannya itu. Ia pun kerap kali merekrut talent baru untuk dilatih guna menciptakan generasi stunt performer baru untuk masa depan dunia film Indonesia.

Kendati demikian, Majid menekankan bahwa stuntman bukan hanya tentang bela diri. Stuntman lebih dari sekadar melakukan aksi laga di depan kamera untuk menggantikan posisi aktor pemeran utama.

Keterampilan untuk berakting dengan luwes di depan kamera merupakan tuntutan lain yang harus dipenuhi seorang stunt performer. Pasalnya, selain menggantikan peran aktor utama, mereka juga dibutuhkan untuk menjadi stunt fighter dan mengisi adegan pertarungan melawan aktor lainnya.

Majid mengatakan, “Ada yang namanya stunt fighter, di mana mereka harus menjadi lawan untuk para pemain-pemain utama. Walaupun mungkin durasinya sebentar, tapi performance-nya akan sangat memengaruhi akting dan aksi lawan mainnya. Hasilnya tidak akan bagus, kan, kalau lawannya tidak bisa akting.”

Itulah mengapa mereka membutuhkan latihan intensif setiap hari, yang di dalamnya juga mencakup pembuatan koreografi. Persiapan biasanya membutuhkan waktu satu pekan hingga tiga bulan sebelum tampil di depan kamera. Durasi tersebut disesuaikan dengan anggaran yang disediakan oleh pihak produksi serta tingkat kerumitan aksi yang dibutuhkan.

Profesi berbahaya, sayangnya masih minim upaya preventif

Ketika mendengar tentang peran stuntman, mungkin yang muncul di pikiran kita ialah profesi yang ada di bawah bayang-bayang aktor utama. Padahal, profesi yang satu ini patut memperoleh apresiasi yang setara dengan pekerja film lainnya.

Sumber: Piranha Stunt Indonesia

Sayangnya, meski punya peran penting untuk melakukan berbagai adegan berisiko tinggi karena penuh bahaya, masih banyak sekali rumah produksi dan stuntman yang abai dan belum menjunjung tinggi keselamatan di lokasi syuting.

Industri perfilman dunia seperti Hollywood mewajibkan para aktor hingga stunt performer yang terlibat untuk memiliki asuransi untuk bisa bergabung dalam sebuah proyek. Namun, hal ini belum berlaku di dunia film Indonesia.

Majid mengungkapkan, belum semua rumah produksi menjamin keamanan dan kesejahteraan para stuntman di lapangan selama proses syuting berlangsung. Segelintir rumah produksi bahkan baru melakukan penanganan apabila stunt performer mengalami cedera, alih-alih melakukan upaya pencegahan dengan menyediakan tim medis dan jaminan keselamatan sejak awal syuting.

“Sebenarnya BPJS sudah menyediakan asuransi bagi pekerja seni, termasuk kami, karena profesi kami membutuhkan perlindungan. Tapi tingkat kesadaran akan keselamatan para stuntman ini masih kurang. Ada yang memang sudah mengasuransikan dirinya secara pribadi, tapi ada juga yang tidak,” tuturnya.

Ia melanjutkan, “Tidak semua produksi juga menyiapkan ambulans ataupun tim medis di lokasi syuting adegan berbahaya. Tapi ada sebagian yang memang sudah aware dan well-prepared dengan menyiapkan semuanya di lapangan, bahkan tukang urut untuk mengatasi kalau terjadi cedera ankle. Jadi memang balik lagi ke rumah produksinya sendiri.”

Dalam hal stuntman tidak mendapatkan asuransi, rumah produksi tetap memiliki tanggung jawab penuh jika terjadi hal tidak diinginkan kepada talent-nya. Biasanya, kata Majid, ketika terjadi cedera atau luka di tengah syuting, stuntman tetap akan mendapatkan pertolongan pertama dan dilarikan ke rumah sakit.

“Tapi ada yang hanya meng-cover di awal, ada juga yang sampai selesai,” katanya lagi. Dalam kasus semacam ini, stuntman memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak tawaran terlibat dalam proyek tersebut.

Di samping perlindungan para stuntman, hal lain yang masih ingin diperjuangkannya ialah agar film dan aktor laga bisa memperoleh lebih banyak apresiasi. Ia ingin ajang penghargaan perfilman nasional seperti Festival Film Indonesia melirik genre film laga untuk mendapatkan nominasi khusus.

“Jadi kami menuntut stuntman untuk bisa lebih dihargai secara finansial dan secara penghargaan. Mestinya ada awards untuk genre tertentu di Indonesia, khususnya untuk film action, baru di situ stuntman bisa ikut masuk untuk memperoleh penghargaan,” ucap Majid.

Tentunya, guna mencapai mimpi tersebut, stuntman harus lebih dulu bisa menghargai dan menentukan harga terbaik bagi dirinya sendiri, serta terus meningkatkan keterampilan agar dapat terus bersaing di industri.

Sama halnya dengan pekerja film lainnya, stuntman bisa dikatakan masih harus melalui jalan berliku dan panjang untuk menggapai mimpi kesejahteraan yang layak di industri film Tanah Air.




Artikel terkait


Berita terkini