Di balik layar perak: Jalan berliku pekerja film menuju kesejahteraan

Ditulis oleh Alessandra Langit | Read in English

Layar lebar, karpet merah, piala penghargaan, hingga festival internasional; industri film sedari dulu selalu menjadi ladang yang menggiurkan dan menjanjikan bagi mereka yang mencintai sinema atau sekadar ingin berada di tengah dunia hiburan. Beberapa tahun terakhir ini, film-film lokal mampu menunjukkan taringnya, menorehkan prestasi hingga ke kancah global. 

Minat masyarakat luas untuk menyaksikan karya anak bangsa pun bertumbuh beriringan dengan mimpi-mimpi anak muda untuk berkarier di industri film. Namun, di balik layar perak, ada segudang pekerjaan rumah tangga yang bertahun-tahun coba dibenahi oleh pekerja industri film dan asosiasi yang menaungi setiap departemennya. Jam kerja, upah, hingga keamanan pekerja masih menjadi tuntutan utama mereka yang dari pagi hingga pagi berada di lokasi syuting. 

Sejak 2019, berbagai asosiasi departemen perfilman di Indonesia bekerja sama dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) untuk melakukan riset terkait isu jam kerja dan job security yang selama ini diterapkan di industri film dan periklanan. Hasil dari focus group discussion dengan 22 narasumber dan survei terhadap 401 responden yang merupakan pekerja industri film itu menyatakan bahwa jam kerja di industri yang mereka geluti sangat berkepanjangan. Sekitar 54,11% responden mengaku bekerja 16 hingga 20 jam/hari. Kemudian, 7,2% responden lainnya mengaku bekerja di atas 20 jam per hari syuting.

Kontrak kerja yang sering bermasalah juga merugikan pekerja karena rentan mengalami pelanggaran hak normatif, seperti upah tidak dibayar tepat waktu hingga tidak ada jaminan keamanan kerja. Di sisi lain, tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang bisa masuk ke industri film dan syarat apa saja yang harus dipenuhi. Para lulusan sekolah film di Indonesia harus bersaing dengan mereka yang sudah bertahun-tahun di lapangan tanpa harus mengantongi gelar sarjana film.

Persaingan, senioritas, hingga narasi kerja kolektif di industri film

Merespons masalah tersebut, TFR berbincang dengan Annisa Adjam, produser film muda yang namanya sudah tak asing di festival film nasional maupun internasional. Sebagai seorang anak muda yang selalu bermimpi bekerja di industri film, Annisa pernah merasakan bekerja di rumah produksi besar hingga kini membangun rumah produksi independen yang bernama SINEMA5. Tumbuh jauh dari gemerlap kota besar seperti Jakarta, Annisa awalnya tidak percaya diri untuk memasuki industri film hingga akhirnya ia mendapatkan beasiswa magister film di Inggris. 

Saat menjalani hari-harinya sebagai pekerja rumah produksi film, Annisa menyadari bahwa banyak dari rekan-rekannya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan film, namun merupakan orang-orang yang lama di lapangan. Hal itu tidak melumpuhkan kepercayaan diri Annisa karena menemukan perbedaan signifikan yang memiliki fungsinya masing-masing.

“Hal yang berbeda adalah konsep berpikir. Aku lulus dari sekolah film dan aku merasa apa yang aku pikirkan itu berdasarkan long term sustainability. Contohnya, saat membuat sebuah proyek, aku pikirkan purpose dan step by step-nya. Mungkin, teman-teman yang belajar dari lapangan akan melihat lebih ke saat itu saja, solusi untuk masalah yang ditemukan saat itu,” cerita Annisa.

Menurutnya, tidak ada yang benar atau salah dengan latar pendidikan film ataupun non-film saat masuk ke industri. Baginya, semuanya kembali ke tujuan masing-masing orang saat ingin berkarier di industri film.

Namun, pengalaman dan kesempatan komunal dalam industri film dipertanyakan kembali karena banyak rumah produksi kini yang bergantung pada satu figur yang memiliki posisi tinggi seperti sutradara dan produser. Annisa melihat fenomena ini sebagai hal yang kontradiktif karena kerja kolektif umumnya memberikan kesempatan bagi setiap orang tanpa bayang-bayang nama besar atau senior yang merasa bahwa ada kekuasaan posisi jabatan dalam sebuah produksi film.

Pada 2022, masyarakat dihebohkan dengan kabar seorang sutradara diduga melakukan kekerasan verbal hingga fisik kepada krunya dalam sebuah produksi film. Kasus ini menjadi viral setelah teman korban mengunggah kejadian tersebut lewat media sosial Twitter. 

“Berawal di scene pensi, dengan extras ratusan, telco gue dipanggil lalu ditanyalah sama dia udah dengan keadaan emosi, kenapa bajunya begini? Ya dijawab itu baju udah dipilihin sama wardrobe, dia masih ga terima, nanya lagi kenapa bajunya begini gue ga suka sambil marah-marah, ya telco gue bilang ga tau itu dari wardrobenya, langsunglah ditampar lalu didorong!!!” bunyi cuitan @juandini.

Melansir Konde.co, sinematografer bernama Anggi Frisca mengatakan bahwa kekerasan tersebut dapat terjadi karena anggapan jabatan tinggi dalam produksi film seperti sutradara dapat melakukan tindakan apa pun kepada krunya. Anggi menegaskan pentingnya penyampaian etika kerja sebelum produksi film berlangsung. Sayangnya, hingga ini tidak ada aturan tertulis soal etika dalam industri film, mekanisme pelaporan jika ada pelanggaran, dan jaminan keamanan bagi korban.

Walaupun kini beberapa rumah produksi sudah mulai memiliki kesadaran akan etika, menurut Annisa, tetap harus ada kelegaan dari senoritas yang masih menjamur di industri film untuk memberi ruang bagi generasi baru dan membiarkannya berproses tanpa tindakan intimidatif dari jabatan yang dianggap lebih tinggi atau senior. Di lain sisi, generasi baru harus menyadari bahwa senioritas ini merupakan tantangan besar dan bukan suatu budaya yang seharusnya dinormalisasi.

“Bukan hanya senior punya kelegaan untuk mengajarkan kemudian melepas generasi baru, tapi generasi baru juga harus memiliki kesadaran akan value dirinya. Both generations harus memiliki role yang dinamis dan tahu kalau kerja kolektif film itu nggak bisa dilakukan sendirian,” tegas Annisa.

Realita pahit upah dan kontrak kerja di industri film serta masa depannya

Pengalaman di rumah produksi membuat Annisa melihat masalah terkait kontrak kerja dan upah pekerja film yang mengakar karena ekosistem perekonomian di industri film masih belum kokoh. Di Indonesia, produksi film masih belum dilihat sebagai proses yang panjang dan mahal oleh para investor. Sebagai contoh, satu film panjang di Indonesia biasanya dihargai Rp10 miliar dengan berbagai kebutuhan manajerial dan artistik. Angka tersebut jika dibagi dengan jumlah kru yang terlibat umumnya tidak mencapai upah minimum regional (UMR).

Membandingkan dengan negara-negara yang memiliki industri film maju, Annisa mengatakan bahwa satu film seharusnya dihargai berlipat ganda dari angka yang umum diberikan oleh investor di Indonesia. Para produser juga seharusnya menerapkan sistem kerja rate/hour dengan tambahan asuransi.

“Setiap proyek itu seharusnya berdasarkan jumlah orang, kemudian mereka cari investor yang sanggup membiayai dengan angka tersebut, karena film ya memang semahal itu. Di Indonesia terbalik, ada anggaran dana dengan jumlah yang fix dahulu, baru rumah produksi mencari orang yang mau kompromi dibayar murah,” ceritanya.

Annisa melihat bahwa saat ini bukan masalah tidak ada hukum atau asosiasi yang bersuara dan membela pekerja film, namun pasar industri ini sendiri telah lama rusak dan kehilangan nilai. 

“Banyak investor yang tidak melihat film lebih dari sekadar jumlah penonton atau statusnya sebagai box office. Film hanya menguntungkan investor tapi tidak memanusiakan pekerjanya. Nggak heran, banyak orang yang memilih film hanya sebagai portofolio, bukan untuk mencari nafkah,” ungkapnya.

Sebagai generasi baru, Annisa merasa tidak mampu mengubah akar masalah tersebut secara instan. Hal yang dapat ia lakukan adalah dengan tidak berkontribusi di dalam lingkungan kerja yang tidak sehat tersebut dan menciptakan ruang sendiri untuk produksi film yang lebih memanusiakan pekerjanya. Saat membangun SINEMA5, Annisa percaya bahwa generasi baru di industri film mampu mematahkan budaya kerja film yang tidak sehat dengan membuat jalannya sendiri.

What I can do is whenever I do my production with SINEMA5, sebisa mungkin aku sangat sadar apakah yang aku tawarkan ke rekan pekerja film lainnya itu cukup. Saat aku cari investor atau partner, aku pastikan mereka bisa kasih value yang sesuai dengan tim yang aku bawa. Bukan tim yang menyesuaikan budget, tapi budget yang menyesuaikan value dari pekerjanya,” jelas Annisa.

Menutup percakapan, Annisa menegaskan bahwa menjadi “muda” dan “baru” dalam industri ini kadang membuat banyak anak muda takut. Namun, “muda” dan “baru” adalah dua hal yang sangat kuat dan berdaya untuk menciptakan ruang yang lebih sehat dalam industri film di Indonesia.





Artikel terkait


Berita terkini