Apa kabar puisi hari ini?

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Ketika mendengar kata puisi, apa yang pertama kali terlintas di benak? Mungkin tak jauh dari penyair terkenal seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Rupi Kaur, atau karya-karya seperti “Aku” oleh Chairil Anwar yang masih sesekali mendapatkan sorotan di tengah kehidupan modern ini.

Agaknya jarang yang langsung memikirkan arti dari puisi itu sendiri, mengingat dewasa ini, puisi bak berada di dalam sebuah kotak yang hanya dapat dinikmati oleh penikmatnya saja.

Puisi adalah bagian dari karya sastra yang umumnya dibuat untuk mengungkapkan perasaan penulisnya, mulai dari keresahan, kesedihan, hingga kebahagiaan. Itulah yang membuat puisi tersaji dengan kata-kata indah yang sifatnya imajinatif.

Berbeda dengan karya sastra lainnya, puisi dibuat untuk memikat pembaca dengan bahasa yang terikat rima, irama, serta penyusunan setiap larik dan bait yang memberikan “rasa” di dalamnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, popularitas puisi meredup dan kini jarang terdengar lagi. Padahal, puisi sempat kembali naik daun pada 2014-2017 ketika buku-buku dari penulis luar negeri seperti Lang Leav, Rupi Kaur, Charles Bukowski, dan Michael Faudet menjadi perbincangan hangat.

Penulisan puisi pun mulai berubah. Banyak bermunculan puisi yang bentuknya seperti ungkapan atau kata-kata singkat saja. Hal ini pun dibenarkan oleh Rakasya, penyair dan pendiri komunitas puisi Dasein Poetry Community.

“Menurut saya, penulis puisi zaman sekarang kebanyakan seperti penulis quotes. Non-fiction tapi dalam bentuk quotes. Ini perlu dipisah dengan penulis puisi seperti Aan Mansyur, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain,” jelas Rakasya kepada TFR.

Rakasya bercerita bahwa ia baru terjun ke dunia penulisan sekitar 2016 dengan menerbitkan buku pertamanya “A Letter To A Stranger”. Hasrat berkaryanya muncul ketika ia membaca karya-karya penyair Charles Bukowski.

“Jadi, ada puisi Charles Bukowski yang menginspirasi saya untuk menulis dan bisa mewakili keresahan-keresahan saya juga. Akhirnya saya punya interest ingin bikin buku dan ingin menjadi seperti itu. Awalnya iseng-iseng dan lama-lama jadi karier, jadi tidak bisa berhenti semenjak saya mulai dari situ.”

Posisi puisi sebagai hiburan mulai tersingkirkan

Setelah memilih menjadi penulis puisi, tentu ada tantangan tersendiri yang dirasakan oleh Rakasya, dan mungkin juga oleh para penyair lain di luar sana. 

Pertama, penulis puisi sangat berbeda dengan penulis novel atau cerpen. Jika dibandingkan dengan novel, tentu popularitasnya masih tertinggal jauh, sebab puisi memiliki pemirsa yang lebih mengerucut lagi.

“Tapi permasalahannya memang minat dari puisi sendiri atau sastra bentuk puisi ini agak cukup rendah,” jelas Rakasya.

Mengapa bisa, sedangkan pada zaman dahulu puisi menjadi salah satu karya sastra yang banyak diminati? Puisi bahkan menjadi suatu elemen penting dalam dunia hiburan, contohnya dalam film “Ada Apa Dengan Cinta” (2002), di mana pemeran utamanya, Rangga dan Cinta, adalah penikmat dan penulis puisi.

Menurut Rakasya, perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebab pergeseran puisi sebagai hiburan. Dulu, ketika gawai belum menawarkan banyak hiburan, toko buku dan karya-karya di dalamnya masih sangat diminati.

“Ibaratnya dulu hiburannya palingan musik, radio, dan salah satu alternatif hiburan lain adalah buku. Saat itu buku dan tingkat literasi Indonesia pun lumayan tinggi, karena itu sudah menjadi kehidupan sehari-hari dan sosial. Kemudian, sekarang karena bentuk entertainment sudah lebih banyak dan variatif, buku puisi terutama menjadi tersier banget, tersingkirkan dari bagian entertainment,” jelasnya.

Lalu, apakah bisa minat terhadap puisi dikembalikan lagi? Bisa! Tetapi, tentu tidak mudah karena penggiat puisi perlu mulai mengedukasi publik tentang puisi dari awal.

Inilah salah satu alasan yang membuat Rakasya mantap membangun komunitas puisi Dasein Community. Selain untuk mengembalikan minat, mengedukasi, dan mengumpulkan orang-orang yang tertarik dengan puisi, komunitas ini juga bertujuan untuk mencari pasar.

Semakin banyak orang yang menyebarluaskan informasi atau karya-karya puisi dari komunitas tersebut, maka akan semakin banyak orang yang terpapar dan tertarik dengan puisi. Dasein Community pun hadir untuk mengembangkan sayap puisi agar semakin menjangkau banyak orang.

Komersialisasi masih menjadi masalah utama

Selain adanya pergeseran, puisi pada zaman sekarang menghadapi masalah komersialisasi. Sama seperti penulis novel, penyair juga mengandalkan buku–seberapa banyak eksemplar yang terjual.

Masalahnya, komersialisasi menjadi sulit karena minat terhadap puisi cukup rendah. Maka dari itu, perlu dicari cara agar puisi dapat dikomersialisasi dengan cara yang lebih modern. “Bukan hanya sekadar buku, tapi harus melalui objek lain. Bagaimana penyair bisa menjadi sebuah karier yang mampu melahirkan beberapa buah karya selain buku,” ungkap Rakasya.

Apalagi mengingat kemajuan teknologi membuka jalan yang lebih luas bagi orang-orang yang ingin mulai berkarier sebagai penulis. Tapi, perlu diingat bahwa pada akhirnya pemirsa akan terpanggil hanya jika kualitas karya tersebut bagus.

Ketika seorang penulis sudah memiliki branding sendiri, maka pasar akan dengan sendirinya menghampiri. Ini yang nantinya akan memengaruhi komersialisasi karya. Langkah ini dapat ditempuh dengan membangun branding di media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas, baru setelah itu menerbitkan karya.

Selain membentuk komunitas, Rakasya juga mendirikan Dasein Publishing yang khusus menerbitkan puisi. 

Ia menjelaskan, “Sekarang kita ada enam penulis yang kira-kira siap untuk menerbitkan karyanya. Masih proses sebenarnya dan nanti akan ada semacam event untuk book launch dan lain-lain.”

Awalnya dimulai dengan membuka kesempatan tersebut di media sosial, mengajak mereka yang ingin menerbitkan buku untuk mengirim atau membuat naskah ke Dasein Publishing. Tak hanya yang sudah punya pengalaman menulis, ia juga membantu penulis yang ingin memulai dari nol.

Menjadi penulis puisi bukanlah karier yang mustahil, meski pasarnya sangat terbatas. Untuk itu, perlu partisipasi dari orang-orang yang sudah terjun di industri ini untuk terus menjaga agar puisi menjadi sesuatu yang berkelanjutan.

“Tapi kalau dia dilestarikan, ada kemungkinan berkembang biak hingga statusnya tidak punah. Jadi, sama aja cara kerjanya dan memang puisi bisa diibaratkan hewan mau punah, posisinya memang sedang terancam,” tutupnya.


Artikel terkait


Berita terkini