“Pintu masuk” dunia perfilman yang sulit digapai

Ditulis oleh Elma Adisya | Read in English

Joe (bukan nama sebenarnya) baru tiga tahun ini menginjakkan kaki di industri perfilman, dan saat ini ia tengah “bertahan” di proyek-proyek serial untuk kanal streaming film dan serial web. Awalnya, Joe dan timnya lebih sering menerima klien dengan proyek video iklan. Namun, suatu hari, seorang anggota timnya, sebut saja Dian, memberitahu bahwa ada tawaran untuk mengerjakan proyek serial untuk salah satu penyedia layanan streaming terbesar di Indonesia. 

Proyek pertama ini bisa dibilang jadi pelajaran terberat Joe yang masih hijau di industri film. Tanggung jawab besar dan jam terbang yang bisa dibilang nihil membuat Joe sadar bahwa dunia film adalah neraka jika individu tersebut tidak memiliki kemampuan produksi dan manajemen risiko yang mumpuni. 

Dari awal, Joe tidak memiliki ekspektasi atau bayangan apa pun tentang produksi sebuah serial, walau memang ada beberapa hal teknis yang sama dengan produksi video iklan. Yang membedakan proyek serial ini adalah ia beserta tim akan bertanggungjawab sebagai line producer dan akan mengelola anggaran produksi sebesar kurang lebih Rp5 miliar. 

“Ini proyek pertama gue dan gue langsung dihadapkan dengan budget sebesar itu. Awalnya gue bertiga dengan tim gue, tapi satu tim gue mundur dan jadilah saat itu gue berdua dengan rekan gue yang satunya lagi,” ujar sineas yang tengah menggarap serial ketiganya ini kepada TFR.

Gatekeeping bukan tanpa alasan 

Joe banyak menceritakan perkara teknis yang mungkin terbilang sepele di mata orang luar, tapi sebetulnya sangat penting dan tidak boleh digampangkan, sekecil apa pun.   

Ia mengatakan, dengan anggaran sebesar itu, ia harus bisa mengelola produksi yang berdurasi 60 hari. Salah satu tantangan yang dirasa sulit sekali baginya adalah mencari kru.

Gue baru sadar kalau mencari kru itu susah banget. Jadi karena rekan kerja gue udah terjun duluan di industri filmnya kita terbantu dengan jaringan dan kenalan yang dia punya. Memilih kru itu soalnya tricky banget karena vital dalam jalannya produksi,” ungkapnya.  

Joe menjelaskan, satu saja kesalahan berdampak sangat besar terhadap jalannya produksi. Setiap jam, menit, dan detik adalah uang. Oleh karena itu, ketika uang itu menjadi sia-sia karena kesalahan seorang anggota kru, seluruh kru yang terlibat akan terdampak kesejahteraannya.

“Jadi, apakah lo siap untuk diberikan tanggung jawab sebesar ini dan bisa menyelesaikan problem dalam produksi yang dinamikanya sangat cepat berubah?” katanya. 

Di sinilah mengapa banyak tim produksi di industri perfilman, baik film panjang, pendek, maupun serial, memilih bekerja dengan orang yang sudah mereka percaya. Hasilnya, sebagian orang melihat hal ini malah berkembang menjadi fenomena gatekeeping yang merugikan pemula yang ingin terjun ke industri film. Namun, Joe punya perspektif lain soal ini.

Ia tidak memungkiri bahwa kumpulan-kumpulan tertentu dengan orang-orang yang itu-itu lagi memang ada, tapi menurutnya hal ini terjadi karena mereka percaya bahwa orang yang mereka sudah kenal dan pernah bekerja dengan mereka sebelumnya adalah yang bisa mengemban tanggung jawab besar di suatu produksi. 

“Selain itu, ketika kru yang dipilih itu udah klop dengan cara lo bekerja, ini juga sangat membantu dalam hal paperwork soal duit, soalnya tiap rumah produksi atau perusahaan OTT streaming itu birokrasinya berbeda. Kalau lo nggak familiar sama birokrasinya, ya duit produksi nggak turun.”

Mulai dari nol dan tangga karier yang diperbincangkan senior

Selain tentang memilih kru, Joe juga menyinggung soal eksistensi tangga karier dalam industri ini. Ia mengatakan bahwa tangga tersebut ada, namun untuk mencapai atau menemukannya harus melalui beragam tantangan, kendati baginya menaiki tangga dengan baik dan benar itu penting. 

“Bersyukurlah ada tangga tersebut, karena ketika lo belum siap dan sudah diberikan tanggung jawab di luar kemampuan lo, nggak cuma lo yang akan kena, tapi seluruh orang yang ada di produksi itu juga kena. Contohnya? Gue adalah salah satu orang yang tidak menaiki tangga itu dengan benar, dan tiba-tiba dapat tanggung jawab sebesar ini? Am I surviving? Nope.

Itulah mengapa bagi Joe, sistem pelatihan untuk mereka yang ingin terjun ke dunia film amat penting, tanpa perlu tiap individu benar-benar terjun ke produksi besar. Salah satu organisasi yang menurutnya baik dalam sistem pelatihan dan regenerasi talenta baru adalah Indonesia Cinematography Society (ICS). Organisasi ini rutin mengadakan pelatihan yang berkaitan dengan teknis sinematografi di lapangan hingga keselamatan pekerja. 

“Sistem training ini menurut gue penting banget, karena dari sini regenerasi pekerja film juga semakin terdorong lebih baik lagi,” lanjutnya. 

Selain sistem pelatihan, Joe mengatakan tak ada salahnya untuk memperbanyak proyek-proyek film pendek, karena menurutnya dari sana para lulusan perfilman atau orang yang ingin bekerja di proyek film besar dapat mengasah kemampuan manajerial mereka, terutama soal manajemen risiko. 

“I think, for me, that ladder is not just about fame and link, it is about RISK. The higher you climb the ladder, the bigger the risk you will face, even risikonya bisa sampai nyawa orang,” tambahnya.

Gatekeeping jalur nepotisme juga ada

Berkaitan dengan isu gatekeeping, jawaban senada dilontarkan oleh Andita (25), narasumber TFR untuk artikel “Ke mana perginya lulusan perfilman Indonesia”. Ia mengungkap bahwa memang dari sisi biaya produksi, merekrut orang-orang yang sudah dipercaya kapabilitasnya akan sangat memudahkan jalannya proses syuting. 

Akan tetapi, Andita juga tidak memungkiri bahwa gatekeeping seringkali jadi sarang nepotisme, yang akan mengunggulkan mereka yang berasal dari keluarga terpandang dengan koneksi yang menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan atau industri. Hasilnya, orang-orang ini akan memiliki peluang lebih besar mendapatkan link ke proyek atau orang-orang penting di industri ini. 

Andhita menyadari bahwa kondisi saat ini kurang ideal untuk mereka yang baru mulai masuk ke industri perfilman, namun, ada beberapa hal yang bisa mereka lakukan.

“Dulu waktu zaman aku di 2019, networking ke orang-orang perfilman bisa dilakukan pas masih kuliah, seperti jadi volunteer di festival film dan berteman sama pengajar kuliah kita. Tapi sekarang di 2023 peluangnya udah banyak, kayak aktif ikut pitching forum, magang di studio film. Jadi memang jalan untuk kariernya lebih oke.” 

“Komitmen dan konsisten sama yang kamu lakukan, dan harus tahu mau bergaul dengan siapa di dalam industri film. Etos kerja pun juga sangat penting. Penting makanya punya prinsip ‘gelas kosong’, bukan polos, tapi gimana kamu terbuka dengan berbagai didikan dan ngebawa-bawa titel lulusan film, dan kamu siap belajar apa pun,” tutupnya.


Artikel terkait


Berita terkini