Dari gyaru sampai Lolita: Mengenal subkultur fesyen Jepang yang unik

Ditulis oleh Kezia Pribadi | Read in English

Meskipun kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya, mungkin kita bisa menilai suatu negara dari fesyennya? Dibandingkan dengan negara lain, fesyen khas Jepang merupakan cerminan dari keunikan budaya dan kreativitas.

Reputasi Jepang yang inovatif dan terdepan dalam bidang fesyen merupakan buah dari evolusi selama lebih dari 30 tahun. Meski industri fesyen Jepang mendapat pengakuan internasional pada 1980-an dengan debut desainer fesyen kelas atas seperti Rei Kawakubo dan Issey Miyake, kita tidak bisa begitu saja melupakan fashion jalanan unik Jepang yang dibangun oleh orang-orang yang memiliki kesamaan pikiran dan semangat. Fesyen jalanan lebih dari sekadar pakaian; ia juga merupakan gerakan yang memungkinkan setiap individu untuk menjadi kreatif dan menyalurkan sisi yang berbeda dari diri mereka.

Mari bedah wajah-wajah berbeda dari fesyen Jepang melalui beberapa subkulturnya yang paling menarik.

Gyaru

Pada 1970-an, perusahaan jeans Amerika Lee’s merilis lini jeans perempuannya di Jepang, yang diberi nama GALS. Diucapkan “gyaru” oleh penduduk asli Jepang, istilah ini dengan cepat diadaptasi di luar jenama aslinya untuk menggambarkan gaya tertentu.

Pada 1995, majalah Egg diluncurkan dan menjadi sumber fesyen dan gaya hidup gyaru nomor satu. Gerakan gyaru adalah tentang merangkul ekspresi. Mereka senang tampil mencolok, menonjol di tengah banyak orang, dan dikenal sex positive. Sementara itu, Kogyaru konon awalnya merupakan jargon di kalangan penjaga klub untuk menyebut pelajar perempuan sekolah menengah yang mencoba menyelinap ke dalam klub. Budaya ini merupakan puncak dari empat tren terkemuka pada akhir ‘80-an hingga ‘90-an, yang telah berkembang menjadi apa yang dikenal sebagai budaya pesta gal.

Selebriti seperti penyanyi Namie Amuro dengan penampilan kogyaru alaminya membawa gaya gyaru ke dalam kesadaran arus utama. Namie Amuro memiliki kulit coklat alami, rambut coklat muda, dan memakai lipstik putih.

Gaya gyaru terdiri dari beberapa subkategori. Yang utama adalah gyaru kei, yang umumnya dikaitkan dengan gadis gyaru yang baru memulai perjalanan mereka. Hime gyaru adalah istilah kolektif untuk gaya over-the-top. Mereka dicirikan oleh gaya berpakaian yang mahal dan dipengaruhi oleh era Rococo, sebagaimana kata hime yang berarti “putri”. Mereka sering mengenakan gaun atau rok berwarna pink atau pastel berhiaskan tali dan pita. Pola mawar, mutiara, dan mahkota juga umum ditemukan. 

Kogyaru adalah pelajar perempuan SMA yang senang menambahkan sentuhan “anak nakal” pada seragam mereka. Yamamba atau mamba adalah busana gyaru yang sangat dilebih-lebihkan; dark fake tan, pakaian sugestif, eyeshadow putih, dan lipstik putih.

Gaya rambut juga merupakan bagian dari estetika gyaru; rambut diwarnai, keriting atau lurus dan crimped adalah yang paling umum. Animal print, rok lipit denim, dan penghangat kaki bulu adalah ciri khas gaya gyaru.

Gaya-gaya itu menimbulkan serangkaian perdebatan tersendiri. Ganguro, mamba, b-kei, dan yamamba dikenal dengan warna kulit kecoklatan dan sering dikritik karena masyarakat umum berasumsi bahwa mereka ingin menjadi ras yang berbeda. Gyaru yang mengenakan gaya rambut khas komunitas kulit hitam seperti box braids dan cornrows juga dituduh melakukan perampasan budaya. Meski begitu, subkultur fesyen ini tetap menjadi salah satu subkultur fesyen Jepang yang paling populer dan dikenal.

Lolita

Lolita bermula pada 1980-an, di jalan-jalan ramai di distrik Harajuku. Lolita terutama dipopulerkan oleh jenama-jenama seperti Baby, The Stars Shine Bright dan Metamorphose, dan diterima oleh masyarakat umum ketika band-band populer mulai mengadopsi gaya pakaian yang rumit itu.

Jembatan Harajuku menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda bergaya Lolita. Ketika mereka mulai mengadopsinya, fesyen tersebut terus bertambah populer, yang berujung pada menjamurnya toko-toko fesyen Lolita. Majalah seperti Gothic & Lolita, Bible, dan FRUiTS juga mengikuti tren ini dan berkontribusi terhadap penyebarannya.

Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat, kesadaran terhadap fesyen Lolita mulai menyebar ke negara-negara di luar Jepang. Gaya ini menjadi hit internasional ketika toko-toko Lolita dibuka di luar negeri, termasuk Baby, The Stars Shine Bright di Paris (2007) dan New York (2014).

Rambut keriting panjang, gaun berenda, hiasan kepala yang manis atau topi yang kompleks, kaus kaki setinggi lutut, sepatu Mary Jane berujung bulat, blus dan slip tulle menggembung, rok sepanjang lutut, dan wig adalah beberapa barang fesyen khas subkultur ini. Mereka juga mengenakan rok dalam gaya Victoria. Gaya imut yang berlebihan ini sangat dipengaruhi oleh periode Victoria dan Rococo, dan dapat dibagi menjadi tiga subkategori: sweet Lolita, classic Lolita, dan gothic Lolita.

Bonjour Suzuki & RinRin Doll dengan pakaian Lolita | Sumber: Billboard

Sweet Lolita menonjolkan warna-warna pastel seperti baby blue, pink pucat, kuning mentega, dan putih. Gaya ini memiliki elemen kekanak-kanakan, dengan motif permen dan binatang serta pita, serta motif kotak-kotak dan frill.

Classic Lolita mengingatkan pada fesyen asli Victoria dan Rococo: elegan dan berkelas. Secara estetis, siluetnya menampilkan rok A-line yang biasanya lebih panjang dari rok Lolita pada umumnya, dengan ruffle renda di bagian ujungnya. Classic Lolita mencakup detail seperti ruffle dan pintuck dan biasanya dipasangkan dengan sepatu Mary Jane hak tinggi dan sepatu bot gaya Victoria.

Gothic Lolita mengenakan rok panjang, korset, warna gelap, dan simbol-simbol gotik seperti salib, kelelawar, tengkorak, peti mati, mawar, dan kastil, sembari mengikuti siluet dasar Lolita berupa rok lonceng dan gaun yang dikenakan dengan rok dalam untuk memberikan bentuk klasik cupcake. Aksesori gothic Lolita antara lain pita dan celana ketat hitam. Perhiasan biasanya terbuat dari batu berharga berwarna gelap dengan elemen perak dan metal.

Visual Kei

Visual Kei adalah genre musik yang telah berkembang menjadi subkultur. Asal-usulnya adalah campuran pengaruh glam rock, punk, dan new wave yang dikombinasikan dengan elemen teater kabuki dan shojo.

Pionir genre ini, sebuah band tahun ‘80-an bernama X Japan, juga dianggap sebagai pencetus nama tersebut, yang dianggap diadopsi dari slogan mereka: “Psychedelic violence crime of visual shock”. Gaya ini dikenal dengan gaya rambut runcing, pakaian androgini, dan riasan berlebihan yang menggambarkan sisi maskulin dan feminin sekaligus dalam satu gaya.

X Japan | Sumber: xjapan.com

Pada ‘90-an, makin banyak band yang bergabung dengan gerakan Visual Kei, seperti Dir En Gray dan L’Arc-en-Ciel. Gerakan ini menjadi terkenal dengan para penggemarnya yang sangat antusias dan membenamkan diri dalam budaya dan estetika Visual Kei. Pengaruh gelap, gotik, sejarah, dan tradisional adalah hal yang umum ditemui dalam subkultur ini, dan sebagian besar elemen gaya mereka mirip dengan gaya pemusik rock Barat.

Visual Kei mengaburkan batas gender; pengikutnya ekspresif dan tidak takut untuk melakukan crossdress dan menonjolkan sisi feminin mereka. Skema warnanya sebagian besar adalah hitam, yang dipadu beberapa warna cerah seperti merah atau ungu. Mereka memakai jaket kulit yang mirip dengan yang digunakan geng motor Amerika, namun lebih panjang dan lebih menutupi badan.

Versi gaya yang lebih gotik mencakup sulaman renda berwarna gelap, kain dengan tekstur sarang laba-laba, tengkorak, dan mahkota. Estetika punk mengambil elemen berbeda dengan bermain dengan motif kotak-kotak, garis-garis, dan jeans robek dengan ikat pinggang tebal yang dihiasi gesper besar. Aksesori yang mencolok juga merupakan bagian dari Visual Kei; pilihan populer adalah rantai biker, manset, cincin, serta gelang stud. Mereka melengkapi pakaian dengan beragam pilihan sepatu, antara lain sepatu bot hak platform bertali, sepatu creeper klasik, Doc Martens, serta winklepicker.

Ciri pembeda terakhir adalah riasannya: eyeliner dan maskara tebal dengan lipstik ungu, merah, atau hitam. Riasan ini menunjukkan penekanan pada androgini, di mana kualitas yang lebih feminin dimaksudkan untuk ditonjolkan.

Pesona fesyen khas di Jepang terletak pada dikotomi dinamis mereka: inovasi dan tradisi, kesederhanaan dan elaborasi, ekspresi diri dan konformitas. Kontras yang rumit menciptakan lanskap busana yang unik dan hanya ditemukan di Jepang. Ini adalah persembahan eksplorasi dan apresiasi tanpa akhir. Ada tradisi dalam Kimono, kegembiraan dalam gaya jalanan, dan kecanggihan subtil dalam desain minimalis. Lanskap penentu tren yang dinamis ini merupakan bukti kemampuan luar biasa Jepang dalam melestarikan warisan budayanya sambil terus merangkul perubahan.






Artikel terkait


Berita terkini