Mengurai isu kelestarian wastra dan upaya regenerasi pengrajinnya

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Wastra atau kain tradisional Indonesia merupakan salah satu warisan berupa kerajinan yang secara turun-temurun telah mencerminkan kekayaan budaya Indonesia.

Karakteristiknya yang berbeda-beda menyimpan banyak makna di dalamnya, mulai dari motifnya yang merepresentasikan cerita dari masing-masing daerah asalnya hingga proses pembuatannya yang rumit serta memerlukan keterampilan khusus.

Tak hanya batik, Indonesia memiliki lebih dari 50 jenis wastra yang tersebar di berbagai daerah dengan keunikannya tersendiri, menjadikan salah satu aspek pembentuk identitas suatu daerah. Artinya, warisan budaya benda yang satu ini perlu diperhatikan kelestariannya.

Mulai dari ulos yang banyak ditemukan di Sumatra Utara, endek yang merupakan kain tradisional Bali dan pada masa kini banyak dipakai untuk ritual keagamaan, sampai tais yang berasal dari Kepulauan Tanimbar di Maluku.

Papua pun memiliki kain tradisional bernama terfo yang dibuat dengan cara ditenun. Kemudian ada pula lipa saqbe mandar dari Mandar, Sulawesi Barat dan sasirangan dari Banjar, Kalimantan Selatan.

Namun sayangnya, banyak pengrajin wastra Nusantara mengalami kesulitan regenerasi. Alih-alih menjadi pengrajin dan menjual karya berupa kain, anak-anak muda yang seharusnya menjadi penerus tersebut nyatanya lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain yang lebih “menghasilkan”.

Salah satu hambatan regenerasi pengrajin ini terlihat di kalangan penenun gedogan di sejumlah daerah, mulai dari Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai Sumatera Utara, seperti dialami oleh TORAJAMELO yang sempat menghadapi tantangan dalam hal mencari perajin tenun untuk bekerja sama.

TORAJAMELO merupakan jenama social enterprise yang telah berdiri sejak tahun 2008 silam dan telah bekerja sama serta memberdayakan lebih dari 1.100 penenun perempuan dari berbagai komunitas penenun di Indonesia.

Dalam hal menggandeng pengrajin tenun untuk bekerja sama, jenama yang sudah berusia 14 tahun itu menerapkan pendekatan kolaboratif. Ketika memilih pengrajin wastra yang ingin diajak kerja sama, TORAJAMELO mempertimbangkan sejumlah aspek.

“Apakah mereka mengalami tantangan dan tidak memiliki dukungan? Atau mereka mengalami masalah seperti kurangnya kesempatan untuk memasarkan produk di pasar lokal?” ujar CEO TORAJAMELO, Aparna Bhatnagar Saxena saat ditemui TFR di Sarinah, Jakarta beberapa waktu lalu.

Tenun sendiri adalah jenis kain tradisional lainnya yang dibuat dari benang dengan cara memasukan pakan secara melintang pada lungsin. Sementara itu, gedogan merupakan teknik kuno dalam menenun, di mana lungsi (benang) dipasang di satu ujung ke badan penenun dan di ujung lainnya ke benda padat seperti tiang.

Jenis wastra yang sudah ada lebih dari 100 tahun yang lalu dan dihasilkan oleh lebih dari 300 suku di Indonesia ini tentunya harus dilestarikan. Selain dengan gencar mengenalkannya ke pasar lokal dan global, regenerasi pengrajinnya pun harus dijaga.

Baca juga: TORAJAMELO perkenalkan penenun gedogan ke pasar global

Kurangnya minat di kalangan anak muda jadi tantangan dalam regenerasi

Tak bisa dimungkiri, rendahnya minat untuk membeli kain tradisional dari pemasok aslinya membuat para pengrajin wastra mengalami kesulitan dalam menjual produknya.

Pun ada yang ingin membeli, mereka sering kali menawar dengan harga yang rendah. Padahal, untuk membuat satu kain saja diperlukan proses rumit yang cukup memakan waktu, serta keterampilan khusus.

Menurut Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Manggarai, NTT yang turut mewakili para pengrajin serta penenun lokal di wilayah tersebut, Ester Dagomez, salah satu kendala terbesar yang menghambat regenerasi penenun ialah kurangnya minat untuk belajar menenun di kalangan anak muda.

“Kendalanya dalam hal regenerasi memang banyak yang muda-muda itu sudah malas untuk memulai dan mempelajari (menenun),” ujar Ester saat ditemui di kesempatan yang sama.

Di samping itu, berdasarkan pengamatan Aparna, faktor lainnya yang turut menghambat regenerasi pengrajin tenun ialah karena banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih untuk bekerja sebagai buruh pabrik ataupun tenaga kerja asing (TKA).

Penyebabnya, karena kebanyakan dari pengrajin tersebut gagal menjual produknya akibat keterbatasan pasar dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kain yang kaya akan makna tersebut, apalagi wastra seperti tenun memang dijual dengan harga yang tak murah karena alasan yang sebelumnya telah disebutkan.

“Bagi penenun, biasanya tidak ada cukup pasar lokal (untuk menjual kain tenun), sehingga mereka memutuskan untuk berhenti (menenun) dan menjadi buruh pabrik, TKA di Singapura dan Malaysia,” ungkap Aparna menyayangkan.

Lebih dari itu, tak sedikit dari para pengrajin yang masih memutuskan untuk tinggal dan menjadi pengrajin tenun, namun kesulitan untuk bekerja dalam sebuah organisasi yang memiliki sistem mumpuni.

Menurut Ester, inilah yang harus diubah, yaitu bagaimana para penenun juga dapat melakukan penyesuaian cara kerja dan membuka diri untuk berkolaborasi dengan pihak ketiga, seperti jenama, untuk memperluas pasarnya.

“Ini merupakan langkah awal mengajak mereka dan agar karya mereka dapat dikenal. Dengan sendirinya nanti mereka akan mengerti. Makanya support dari pemerintah sebenarnya sangat diperlukan, karena mereka harus digerakkan supaya bisa maju,” tutur Ester.

Hal senada turut disampaikan oleh pendiri TORAJAMELO, Dinny Jusuf, yang mengatakan bahwa pengorganisasian penenun merupakan aspek yang tak boleh dilewati.

Ia mengatakan, dalam hal ini, dukungan dari pemerintah setempat untuk memfasilitasi para penenun agar bisa terus beregenerasi sangat penting untuk dilakukan.

“Sebetulnya pasar domestik (tenun) di Indonesia sangat kuat. Tapi tantangannya adalah pengorganisasian penenun. Oleh sebab itu kami (TORAJAMELO) memberikan syarat tambahan untuk berkolaborasi, yaitu harus ada kepemimpinan (penenun) yang terlibat. Jadi sangat penting dukungan dari pemimpin tersebut dan pemerintah setempat,” kata Dinny.

Baca juga: SPOTLIGHT Indonesia tampilkan kreativitas industri fesyen lokal lewat wastra

Upaya tenun untuk mengikuti perubahan minat pasar

Untuk itu, agar kain tradisional nusantara seperti tenun dapat terus memperluas pasarnya dan kesejahteraan hingga regenerasi para pengrajinnya tetap terjaga, perlu dilakukan berbagai upaya.

Selain dukungan dari pemerintah setempat seperti yang disinggung oleh Ester dan Dinny, para pengrajin dan jenama yang mendistribusikan hasil karya mereka harus bisa mengikuti arus perubahan tren di kalangan konsumen, khususnya masyarakat lokal.

Upaya ini harus dilakukan agar wastra bisa tetap relevan dengan selera masyarakat saat ini, terlebih pasar Indonesia sekarang yang didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z.

Pasalnya, apabila dilihat dari tren fesyen yang diminati oleh kedua generasi tersebut, pakaian dengan warna-warna earthy dan motif minimalis lah yang lebih disukai.

Dalam hal wastra Nusantara, penyesuaian yang dimaksud bisa dilakukan dengan menciptakan produk dengan gaya yang lebih trendy, sederhana, namun tetap berkualitas tinggi.

Sebagai contoh, jika dulu kain tenun dikenal dengan warna-warnanya yang vibrant, dewasa ini jenama yang bekerja sama dengan pengrajin lokal dapat menghadirkan produk wastra dengan warna lebih netral yang menyesuaikan tren fesyen terkini.

Perubahan selera pasar terhadap model tenun turut dialami TORAJAMELO yang kini menargetkan generasi muda lewat ragam koleksi tenun yang lebih sederhana, namun tetap memiliki ciri khas kental dari daerah asalnya guna menarik perhatian kalangan muda.

Di sisi lain, upaya untuk menarik generasi muda agar mengenakan wastra juga terlihat lewat figur-figur ternama di Indonesia. Misalnya saja penyanyi Yura Yunita yang sering terlihat mengenakan berbagai jenis kain tradisional Nusantara saat tampil di atas panggung.

Pengaruh yang dibawakan oleh figur-figur ternama sebagai salah satu trendsetter untuk melestarikan wastra juga dirasakan oleh seorang pengguna wastra bernama Alya (23) yang kini kerap mengikuti gerakan berkain karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitarnya.

“Alasan utamanya dari lingkungan, aku lihat banyak anak-anak muda yang pakai kain untuk hangout dan dipadu padan sama outfit kasual. Dari situ jadi tertarik untuk coba sendiri, hitung-hitung sekalian melestarikan budaya dan kasih statement kalau pakai kain sama sekali tidak menghambat aktivitas,” katanya ketika dihubungi TFR.

Ia juga mengatakan bagaimana di lingkungannya, tren menggunakan wastra nusantara dalam keseharian sebenarnya juga diminati oleh kalangan laki-laki, yang terpenting adalah bagaimana mereka pada akhirnya bisa menyesuaikan kain tersebut dengan gaya masing-masing.

“Di sekitarku banyak juga yang pakai, bahkan bukan cuma perempuan, tapi juga yang laki-laki. Ini sebenarnya adalah salah satu hal yang cukup membanggakan, sih. Di tengah maraknya pengaruh fesyen dari luar, ternyata masih ada anak muda yang mau ikutan gerakan pakai kain tradisional yang penggunaannya diadaptasi jadi lebih modern,” ungkapnya lagi.

Menjaga regenerasi perajin wastra Nusantara yang masih menggunakan alat tradisional untuk memproduksi kain merupakan langkah nyata untuk menjaga kelestarian budaya Indonesia.

Akan tetapi, selain dukungan dan dorongan dari pemerintah setempat, masyarakat sebagai konsumen juga perlu mengapresiasi warisan budaya yang satu ini.

Ketika minat terhadap kain tradisional tinggi, maka jenama-jenama pun dapat merangkul para pengrajin untuk membantu dalam hal pemasaran produk guna memperoleh penghasilan yang berdampak pada kesejahteraan pengrajin.

Baca juga: Beyond Batik: Menjelajahi keragaman kain tradisional Indonesia




Artikel terkait


Berita terkini