Saat fesyen menyapa Hallyu

Ditulis oleh Kezia Pribadi | Read in English

Hallyu mengacu pada penyebaran budaya pop Korea Selatan yang meliputi musik, acara TV, film, fesyen, permainan, seni, dan sastra. Gerakan itu dimulai pada pertengahan 1990-an ketika drama TV dan musik populer Korea Selatan meraih popularitas di negara-negara Asia seperti Cina dan Jepang. Pada pertengahan 2000-an hingga awal 2010-an, gempuran ini, yang dipimpin oleh grup seperti Big Bang, Girls Generation, dan 2NE1, memperluas basis penggemar mereka ke tingkat global, termasuk Amerika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Sejak saat itu, penggemar K-pop di seluruh dunia mencatatkan tingkat pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada 2019, MTV Video Music Award meluncurkan K-pop sebagai kategori baru, yang menjadikan K-pop diakui secara global sebagai genre musik.

Pengaruh K-pop semakin diperkuat oleh meningkatnya penggunaan media sosial. Banyak bintang Korea Selatan yang menjadi pengunjung tetap di Paris dan Milan Fashion Week. Daya tarik mereka yang meluas juga telah menyapu dunia fesyen, yang pada akhirnya memengaruhi penggemar setia untuk membeli barang-barang yang mereka promosikan.

“Industri Hallyu telah menjadi daya tarik utama pariwisata ke Korea, khususnya pariwisata antar-Asia,” kata Mary Ainslie, associate professor di University of Nottingham Ningbo China Campus. Sebelum pandemi, masyarakat Korea Selatan biasanya membeli barang mewah di luar negeri. Angka Morgan Stanley yang dilaporkan oleh CNBC menunjukkan bahwa total pengeluaran masyarakat Korea Selatan untuk barang mewah tumbuh sekitar 24% per tahun menjadi $16,8 miliar.

Barang mewah sebagai penanda kesuksesan

Milenial dan Gen Z, yang disebut "Generasi MZ" di Korea Selatan, muncul sebagai demografi konsumen terkemuka yang kemudian menyebabkan ledakan pasar ini. Tiga jenama mewah terbesar – Hermes, Chanel, dan Louis Vuitton – membukukan penjualan sekitar ₩4 triliun atau $2,98 miliar di Korea Selatan pada 2022. Berbagai jenama mewah menggunakan citra "ke-Korea-an" sebagai strategi andalan mereka; sebagai cara untuk terhubung ke kosmopolitanisme dan Asianisasi. Gagasan menjadi warga dunia, namun tetap kokoh di Asia.

Salah satu faktor yang memengaruhi permintaan akan barang mewah adalah makna budaya dari kepemilikan material di Korea Selatan. Dalam budaya kolektivis seperti Korea Selatan, citra pribadi adalah hal yang sangat signifikan. Mereka sangat menghargai reputasi; oleh karenanya memiliki barang mewah menjadi cara nyata untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial.

Saat ini, sudah jauh lebih mudah untuk melihat apa yang diposting orang di media sosial; orang memiliki lebih banyak kesempatan untuk menunjukkan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan apa yang mereka dukung melalui platform media sosial. Hasilnya, kepuasan yang didapat dengan menunjukkannya di media sosial jauh lebih besar daripada melakukannya di kehidupan nyata.

Logika di balik penunjukkan idola Korea Selatan sebagai duta jenama

Agensi dunia hiburan seperti SM Entertainment dan HYBE merekrut talenta mulai dari usia 11 tahun dan pada dasarnya membesarkan mereka menjadi bintang multi-talenta. Beberapa contoh mega-bintang ini adalah Kai dari grup EXO, yang dikenal sebagai “Human Gucci.” Ia menjadi bintang Korea Selatan pertama yang meluncurkan koleksi bersama Gucci. Koleksi kapsulnya meliputi pakaian siap pakai laki-laki dan perempuan serta aksesori yang dihiasi motif boneka beruang.

Bvlgari menunjuk Lisa dari BLACKPINK sebagai duta jenama mereka bersama bintang Hollywood seperti Zendaya, Anne Hathaway, dan Priyanka Chopra. Girl group K-pop terbaru dan terpanas, NewJeans, menjadi berita utama tahun ini setelah anggota termudanya, Haerin, dinobatkan sebagai duta jenama untuk Louis Vuitton. Louis Vuitton menyatakan, “Mulai sekarang kami akan memulai perjalanan baru bersama [Hyein], yang mendefinisikan gaya NewJeans dengan pesona uniknya.”

Tak perlu dikatakan lagi bahwa berkat citra, reputasi, bakat, dan kehadiran yang kuat dalam dunia hiburan, para idola dipandang sebagai tambang emas untuk dijelajahi oleh jenama-jenama mewah. Metode ini telah menjadi semacam alat pemasaran untuk menarik demografis yang lebih muda dan calon pelanggan.

Sebagai perwakilan jenama, para idola memiliki kekuatan luar biasa untuk mengalihkan nilai mereka guna membantu komunikasi jenama. Basis penggemar mereka yang beragam, yang tersebar di seluruh dunia, ingin memiliki hubungan atau merasakan hubungan dengan sang idola; mereka juga mungkin akan menjadi penggemar jenama tersebut.

“Bagi para anak muda penggemar Hallyu yang mungkin belum memiliki daya beli untuk menjadi pelanggan jenama mewah, melihat idola mereka duduk di barisan depan di panggung peragaan busana atau melihat para aktor mengenakan barang-barang jenama mewah dalam K-drama favorit mereka menanamkan benih untuk jenama tersebut. Ada kepercayaan dan aspirasi tertentu yang mengikat hubungan antara penggemar super dan selebriti, dan ini sangat kuat jika menyangkut bintang Korea,” jelas Nico Gavina, ahli strategi budaya di Fashion Snoops.

Potensi efek negatif yang mengintai

Eksploitasi konsumen dapat terjadi, dengan memanfaatkan basis penggemar idola yang berdedikasi–terkadang obsesif. Metode ini dapat menimbulkan rasa urgensi dalam diri penggemar untuk membeli produk yang dikenakan idola mereka, dan dengan demikian menetapkan nada standar yang tidak realistis. Jenama-jenama mewah sangat terkait dengan elusivitas dan poin harga yang tinggi. Idola K-pop dapat secara tidak langsung melanggengkan standar kecantikan dan gaya hidup yang tidak realistis, yang menimbulkan tekanan pada penggemar untuk menirunya dan mengeluarkan uang di luar kemampuan mereka. Budaya ini juga memperkuat pesan kepada audiens mereka yang lebih muda bahwa barang-barang materialistis, yang menekankan pentingnya kepemilikan berwujud sebagai simbol status, adalah suatu hal penting.

Kecenderungan ini juga dapat memperparah perpecahan sosial dan kesenjangan ekonomi., yang lalu menumbuhkan budaya konsumerisme yang berlebihan, yang mengarah ke pembelian impulsif dan tidak perlu, serta menciptakan persepsi bahwa hanya mereka yang mampu secara finansial yang dapat disebut sebagai penggemar setia.

Bagaimana pengaruhnya terhadap pasar barang mewah di Asia

Efek utama duta jenama K-pop pada belanja barang mewah di Asia adalah meningkatnya permintaan barang mewah. Diversifikasi pasar barang mewah menarik permintaan tren dan gaya Asia-sentris yang terus meningkat. Ini kemudian memperluas sudut pandang jenama-jenama mewah untuk menjelajahi potensi di luar pasar Barat.

Gavino menambahkan, “Banyak jenama mewah mengincar pasar Asia, jadi strategi ini sebagian merupakan langkah untuk menarik perhatian konsumen di wilayah tersebut. Tapi bukan hanya itu. Budaya pop semakin mengglobal dan bintang-bintang Korea adalah mega-bintang generasi baru. Saat jenama-jenama mewah bekerja dengan idola dan aktor Korea Selatan, mereka tidak hanya berbicara dengan konsumen Korea Selatan, tetapi juga penggemar Hallyu di seluruh penjuru dunia.”

Dampak dukungan idola K-pop terhadap penjualan

Meskipun data kuantitatif tentang dampak dukungan idola K-pop pada penjualan jenama mewah terbatas, dan mengisolasi dampak satu faktor pada penjualan itu sulit, ada beberapa bukti kolaborasi yang sukses.

Pada 2019, Chanel meluncurkan koleksi lipstik edisi terbatas bersama Jennie dari BLACKPINK. Beberapa jam setelah dirilis, koleksi tersebut terjual habis. Menurut laporan, koleksi trendi itu menghasilkan penjualan lebih dari $1,4 juta hanya dalam satu hari. Setahun kemudian, setelah mengumumkan Kai dari EXO sebagai duta globalnya, Gucci melaporkan peningkatan penjualan sebesar 70% secara tahunan pada kuartal pertama tahun 2020.

Sesaat sesudah meresmikan Jimin dari BTS sebagai duta besarnya pada 16 Januari 2023, harga saham Dior meroket menjadi €775,50 dan mencapai €789 pada 18 Januari, yang tercatat sebagai rekor tertinggi dalam 31 tahun.





Artikel terkait


Berita terkini