Seni dan disabilitas, dukung pemberdayaan dan pentingnya ruang berkarya inklusif

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Seni dan budaya merupakan salah satu sektor yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh antropolog Inggris Edward Burnett Tylor, seni menjadi salah satu produk budaya yang dihasilkan dari upaya bertahan hidup masyarakat.

Namun, dengan perkembangan seni yang ada dan pandangan ableisme seperti yang disampaikan dalam tulisan Soal inklusivitas: Adakah ruang bagi para difabel dalam seni dan budaya?, muncul pandangan dan praktik dalam kesenian yang terkesan begitu eksklusif bagi para mayoritas (non-difabel).

Akan tetapi, sejak beberapa tahun lalu, sederet inisiatif dari individu maupun komunitas telah membuktikan bahwa ada tempat bagi para difabel untuk berkesenian. Muncul pula peran nyata dari kesenian yang mampu menjadi salah satu pendukung pemberdayaan para difabel.

Oleh karena itu, TFR ambil bagian dalam proyek riset Open Arms yang dinaungi Yayasan Selasar Sunaryo untuk menelisik keterkaitan seni dan disabilitas di sejumlah kota yang menjadi poros kesenian di Indonesia. TFR telah mengurasi sederet inisiatif yang lahir di kota-kota tersebut dan membuktikan upaya tanpa batas dalam pemberdayaan para difabel lewat seni dan upaya peningkatan aksesibilitas dalam ruang kesenian.

Baca juga: Lokakarya Open Arms hadirkan inklusivitas untuk seniman disabilitas

Studio penghubung ilustrator difabel dengan klien dari Bandung

Bandung tak hanya dikenal sebagai Kota Kembang, melainkan juga sebagai kota kelahiran sejumlah seniman dan musisi ternama Tanah Air. Bandung juga menjadi tempat lahirnya sebuah social enterprise bernama Tab Space. Perusahaan yang berlokasi di Jl. Braga tersebut didirikan pada 2022 dan bertujuan untuk memberdayakan para ilustrator difabel, menunjukkan peran mereka dalam ekosistem masyarakat, serta mewadahi mereka untuk meraih penghasilan.

Tab Space percaya bahwa selayaknya individu lain, seniman difabel mampu menjadi profesional dengan adanya support system yang tepat, yang mendukung minat dan bakat mereka. Alhasil, dalam program-programnya, Tab Space berfokus untuk memaksimalkan karya para difabel dan mempromosikannya sehingga karya mereka memiliki nilai jual.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menghubungkan para seniman difabel untuk menawarkan desain mereka kepada para calon klien, di mana Tab Space turut membimbing proses diskusi antara seniman dengan sang klien.

Demi mendukung hal tersebut, Tab Space juga memiliki ruang kerja, mendorong para seniman difabel untuk berpameran, menjual merchandise, serta mengikuti ragam kompetisi kesenian.

Wadah berkreasi para difabel di Yogyakarta

Yogyakarta juga punya sejumlah inisiatif yang mewadahi kekaryaan para seniman difabel. Salah satunya adalah Jogja Disability Art (JDA) yang memiliki visi untuk mewujudkan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan bagi para difabel dalam bidang seni budaya di tingkat nasional maupun internasional.

Visi tersebut diimplementasikan melalui berbagai program, di antaranya pameran rutin yang tak hanya melibatkan seniman difabel asal Yogyakarta, tapi juga dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara.

Tahun lalu, selaras dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional 2022, JDA menggelar pameran dengan tema “Suluh Sumurup” di Galeri RJ Katamsi (ISI Yogyakarta). Perhelatan tersebut melibatkan sejumlah komunitas disabilitas yang bergerak di bidang seni rupa, seperti AndArt, Difalitera, Kembang Selatan, Pen Pals, serta PSPSR UGM.

Di sisi lain, perkumpulan bernama komunitas Bawayang menjadi rumah bagi para penyandang disabilitas, khususnya para difabel Tuli. Meski begitu, sebagai komunitas inklusi, Bawayang terbuka bagi siapa pun, termasuk difabel netra, daksa, dan akondroplasia, serta non-difabel.

Dalam menaungi kreativitas teman-teman tuli, Bawayang menggelar berbagai kegiatan, seperti pertunjukan pantomim, teater, hip-hop, hingga kelas bahasa isyarat.

Komunitas Bawayang didampingi seniman Broto Wijayanto, pemrakarsa Deaf Art Community yang mewadahi para teman tuli dalam bidang seni dan telah berdiri sejak 2004. Tujuan Bawayang adalah membuka jalan bagi para seniman difabel, khususnya teman tuli, untuk dapat terus berkembang lewat kesenian.

Baca juga: Bisakah orang dengan buta warna mempelajari seni dan desain?

Sederet inisiasi inklusif di Pulau Dewata

Berdiri sejak 2016, Rumah Berdaya telah menjadi wadah rehabilitasi bagi orang dengan skizofrenia (ODS) di Denpasar, Bali. Didukung oleh Dinas Sosial Kota Denpasar, Rumah Berdaya telah menaungi 50 ODS hingga dapat mandiri dan kini masih ada 30 ODS dalam proses rehabilitasi.

Rumah Berdaya adalah program yang diinisiasi dokter spesialis kesehatan jiwa dr. Rai, SpKj bersama seniman Budi Agung Kuswara, pendiri Ketemu Project. Pada 2015, keduanya mencetuskan program “Schizofriends Art Movement” yang berfokus pada pengembangan kreativitas tanpa batas para ODS dan mendorong mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat luas.

Menurut Budi, konsep rehabilitasi Rumah Berdaya diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri para ODS setelah keluar dari rumah sakit dan membuat mereka mampu kembali ke masyarakat. Rumah Berdaya juga berambisi untuk mengubah stigma masyarakat luas terhadap ODS melalui berbagai kegiatan seni yang diselenggarakannya.

Kini, Rumah Berdaya dikelola oleh Nyoman Sudiasa, seniman dan salah satu ODS yang dulunya dinaungi lembaga tersebut. Beragam kegiatan telah digarap Rumah Berdaya, seperti pelatihan keterampilan kerja dan produksi produk atau jasa yang dijual ke masyarakat luas.

Selain Rumah Berdaya, ada pula inisiasi yang berfokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas secara khusus, yakni difabel netra. Rumah Teratai, komunitas yang didirikan pada 2010 oleh Didon Kajeng, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi para anggotanya melalui berbagai pelatihan dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan dan kompetensi para difabel netra di Bali.

Foto: Koleksi lukisan dalam ruang Rumah Teratai | Open Arms

Salah satu program unik Rumah Teratai ialah pelatihan keterampilan melukis yang telah dilaksanakan sejak 2018 dan rutin dilakukan sekali dalam sepekan. Menurut Ketua Yayasan Teratai Made Jerry Juliawan, para pelukis yang memandu kegiatan itu awalnya sempat kebingungan dengan bagaimana cara mengajarkan seni lukis kepada difabel netra. Akan tetapi, para anggota komunitas membuktikan bahwa mereka dapat mempelajarinya secara perlahan, dan kegiatan itu hingga saat ini masih berlangsung dengan sangat baik.

Rumah Teratai berharap dapat memutus stigma tentang difabel netra yang umumnya hanya dapat berkegiatan sebagai pemusik atau tukang pijat. Alhasil, selain berkesenian, Rumah Teratai juga mendorong para anggotanya untuk dapat meraih pendapatan, salah satunya dengan membuat usaha kedai kopi bersama.

Ada pula Yayasan Bhakti Senang Hati yang didirikan pada 2003 oleh para penyandang difabel di kecamatan Gianyar. Hingga kini, yayasan ini masih dijalankan oleh para penyandang difabel dan memiliki sekitar 120 orang anggota. Yayasan juga turut mewadahi anggota dari luar pulau Bali, seperti Nias dan Kupang.

Foto: Etalase hasil keterampilan anggota Yayasan Bhakti Senang Hati | Open Arms

Sang Ayu Nyoman Puspa, salah satu pengurus yayasan, menjelaskan pada TFR bahwa Yayasan Bhakti Senang Hati secara aktif mengunjungi berbagai wilayah di Bali dan melakukan pendataan para difabel. Yayasan juga menggelar sejumlah kelas yang bertujuan membangun hard skills dan soft skills para anggotanya agar dapat berkegiatan secara mandiri.

Salah satunya dilakukan lewat kelas keterampilan, di mana para anggota diajarkan melukis, membuat patung, merajut, menjahit, dan berbagai keterampilan lainnya. Yayasan juga mewadahi kelas seni musik dan tari. Kelas-kelas tersebut diselenggarakan setiap hari dengan pengajar yang merupakan sukarelawan serta anggota yang telah memiliki keterampilan.

Selain melalui bantuan donasi pengunjung, yayasan yang berjalan secara independen ini mendapatkan pemasukan melalui penjualan karya yang dilakukan langsung di area yayasan serta konsinyasi dengan gerai lainnya di Bali. Yayasan Bhakti Senang Hati juga kerap menjual karyanya lewat acara bazaar, festival, hingga pameran.

Baca juga: Perempuan dan komunitas marginal dalam “dunia laki-laki” skena punk Indonesia

Upaya tanpa batas guna mewujudkan inklusivitas 

Tak hanya komunitas yang didedikasikan khusus untuk para difabel, sejumlah lembaga dan acara besar di Indonesia pun telah menunjukkan upayanya dalam membangun ruang inklusif bagi para difabel.

Salah satunya adalah rangkaian kegiatan Festival Bebas Batas (2018) yang digelar di Galeri Nasional. Festival yang turut mengundang para seniman difabel internasional seperti CanDo Dance itu menjadi wadah perayaan karya seni para difabel, termasuk seni visual dan musik, teater dan tari, film, dan seni intervensi publik.

Ada pula program Forum PENDIDIK Ke-8 dari Museum MACAN yang menjadi ruang diskusi tentang pendidikan seni yang inklusif dan aksesibel dan ArtJog 2022 yang mulai menyediakan pendampingan juru bahasa isyarat bagi para teman tuli.

Seluruh upaya yang telah dijabarkan di atas tak hanya menunjukkan potensi seni sebagai pendukung pemberdayaan difabel, namun juga bagaimana ruang inklusif dapat terus diupayakan demi membangun dunia seni yang inklusif bagi semua.



Artikel terkait


Berita terkini