Layar tancap: Sinema rakyat dan popularitasnya yang kian redup

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Ratusan rol film seluloid berformat 35 millimeter (mm) tersusun rapi di kediaman Nur Iyan (51), seorang penjual jasa layar tancap, di kecamatan Pamulang, kota Tangerang Selatan. Di tengah gempuran bioskop modern yang kian menjamur, Iyan masih setia berkutat dengan proyektor film 35mm tua miliknya.

Iyan bercerita bahwa dirinya telah tertarik pada layar tancap sejak kecil. Ia pertama kali membeli proyektor film 35mm bekas pada 2004 dari sebuah bioskop di kawasan Pasar Minggu.

Ketika industri bioskop Indonesia mengalami transisi teknologi besar-besaran dan mulai mengadopsi peralatan baru yang lebih canggih untuk memutar film, banyak pengusaha layar tancap seperti Iyan yang membeli peralatan bekas dari berbagai jaringan bioskop seperti yang dapat dilihat dalam galeri di bawah ini (Dokumentasi: Syevira Citra).

“Barulah mulai tahun 2005 saya kumpulkan film-filmnya dan saat ini sudah tercapai untuk punya koleksi. Film yang saya koleksi itu ada film Barat, Mandarin, Indonesia, India, Thailand, dengan berbagai genre. Film-film dari tahun 1970-an sampai 2013,” ujar laki-laki yang dulu merupakan seorang sopir angkot itu.

Saat ini koleksi filmnya telah mencapai 500 judul, menjadikannya salah seorang berpengaruh dengan koleksi film terbanyak di kalangan penjual jasa layar tancap yang tergabung dalam Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI).

PLTI didirikan pada 2014 sebagai wadah silaturahmi bagi operator dan pengusaha layar tancap. Saat ini anggotanya telah mencapai 20.000 orang dari seluruh Indonesia. Iyan merupakan salah satu senior di komunitas tersebut. Ia menjabat sebagai wakil ketua.

Layar tancap telah eksis di Indonesia sejak awal abad ke-20, tepatnya pada 1901. Di awal kemunculannya, layar tancap merupakan alat propaganda yang digunakan penjajah Hindia Belanda untuk menyebarkan idealismenya. Pada 1942, pemerintah Jepang turut memanfaatkan media ini untuk tujuan yang sama.

Memasuki tahun 1960-an, layar tancap makin berjaya ketika bioskop komersial mulai masuk ke Tanah Air. Pasalnya, layar tancap menjadi alternatif masyarakat urban untuk menikmati sinema dengan biaya yang lebih terjangkau.

Disebut layar tancap karena menawarkan pengalaman menonton film pada layar besar berbahan kain yang dibentangkan pada dua tiang bambu yang ditancapkan ke tanah. Layar tancap dikenal juga dengan sebutan bioskop keliling lantaran sejak dulu para penyedia jasanya harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memutar film. Istilah lainnya, misbar alias gerimis bubar, yang digunakan untuk menggambarkan para penonton layar tancap yang lantas bubar di tengah pemutaran film kala hujan turun.

Masih berjaya di tengah gerusan modernisasi

Kendati sudah mulai dilupakan oleh generasi muda yang saat ini lebih memilih menikmati pengalaman menonton di bioskop, popularitas layar tancap rupanya masih bersinar di kalangan masyarakat perkampungan. Ini terbukti dari banyaknya pesanan yang masuk ke Iyan setiap hari.

“Kalau di kampung-kampung, masih banyak yang menggunakan layar tancap seperti ini, untuk acara khitanan, pernikahan, bahkan ulang tahun. Setiap hari saya alhamdulillah ada saja pemasukan. Kira-kira saya dalam sebulan itu bisa menyewakan hampir 50 judul film. Kalau lagi rame seperti di bulan Agustus, 100 judul pun bisa keluar (untuk disewakan),” cerita Iyan.

Untuk biaya sewa, Iyan mematok harga Rp2 juta-Rp5 juta, tergantung jarak lokasi pemutaran film serta kelengkapan alat yang dibutuhkan. 

Penggemar film klasik Harry Hariawan mengatakan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, peminat layar tancap memang tengah meningkat.

“Kalau dibilang meredup, memang benar. Tapi beberapa waktu terakhir lagi meningkat karena lagi musim yang vintage-vintage. Banyak orang yang mulai mencari tahu dan penasaran cara menonton film ala orang zaman dulu,” ujar Harry yang juga merupakan bagian dari Kineforum, dalam wawancara terpisah dengan TFR.

Dulu, orang mencari layar tancap karena tak ada pilihan lain untuk menikmati sinema. Tapi saat ini, layar tancap justru hadir bagi mereka yang ingin merasakan sensasi menyaksikan film yang lebih “merakyat” di ruang terbuka.

“Layar tancap ini sekarang lebih ke menjual experience-nya, bukan sebagai tontonan reguler. Beberapa tahun ini trennya memang lagi naik. Sama saja seperti musik, meskipun sudah ada platform Fdigital, balik lagi akhirnya orang mengoleksi vinyl,” ucapnya.

Iyan mengungkapkan hal senada, “Perbedaannya memang jauh (dengan bioskop). Kalau kita nonton di area terbuka, di layar tancap, kalau ada adegan lucu kita bisa tertawa bareng dan bersorak-sorak. Jadi lebih bebas (untuk berekspresi).”

Selain karena alasan hobi, inilah mengapa Iyan bersikeras untuk terus mempertahankan usaha layar tancapnya. 

Bersama PLTI, laki-laki yang akrab dipanggil Bang Iyan itu pun aktif menggelar kegiatan layar tancap demi melestarikan eksistensi sinema analog Tanah Air. Salah satu kegiatan yang aktif diselenggarakan ialah Festival Layar Tancap, di mana para anggota PLTI berkumpul dan menayangkan film secara bersamaan pada lebih dari 10 layar tancap.

“Sampai kapan pun saya akan terus pertahankan usaha ini, karena orang yang menyaksikan layar tancap itu punya tujuan beda-beda. Ada yang ingin bernostalgia masa lalunya, ada yang memang ingin nonton film-film jadul,” tuturnya.

Tawarkan sensasi yang belum tergantikan

Bagi pecinta film klasik seperti Iyan dan Harry, pengalaman menyaksikan sinema dengan rol film seluloid tak bisa digantikan oleh sinema modern.

Walaupun teknologi telah memungkinkan para penikmat film untuk menyaksikan karya seni visual dua dimensi dalam genggaman,  mereka masih setia dengan film analog.

Di samping risiko angin kencang dan hujan lebat yang kerap kali merobohkan hingga merobekkan layar, keduanya berpendapat bahwa segala hal yang berhubungan dengan film seluloid adalah seni. 

“Istilahnya ini (film analog) yang originalnya, ada seninya. Suara mesin ketika film diputar, seninya di situ. Ada kelainan sendiri dibanding yang modern. Mesinnya bisa kita putar, mesinnya punya suara khas, itu seninya,” kata Iyan.

Sementara itu, menurut Harry, “Sensasi nonton film dari rol 35 mm itu nggak tergantikan. Istilahnya kalau sekarang dengan digital siapa pun bisa nonton, tinggal mencet saja dan mudah sekali. Kalau 35 mm itu bisa dibilang ada sensasi tersendiri, lebih rumit karena alatnya besar, filmnya ditampilkan dari rol. Boleh dikatakan layar tancap ini sinema rakyat. Ada juga experience suara rol diputar yang menimbulkan perasaan tersendiri. Rasanya beda, ketika diproyeksikan itu lebih tajam.”

Ketika memutar film menggunakan proyektor tua, satu rol film hanya dapat menayangkan sekitar 17 sampai 20 menit dari durasi total satu film, sehingga untuk satu film penuh, ada tiga sampai empat rol film yang harus diputar. Itulah mengapa dibutuhkan ketelatenan dalam merawat tiap rol film.

Lebih jauh, Iyan dan Harry berharap layar tancap dapat terus dilestarikan dan dikenal oleh generasi yang akan datang.

Pengarsipan rol film seluloid hingga kolaborasi dengan berbagai pihak dalam ekosistem film sangat esensial untuk mempertahankan bentuk sekaligus budaya menonton dengan cara yang merakyat ini.

“Dibutuhkan teamwork dari komunitas, pemerintah, pihak-pihak seperti pengarsip film, pekerja film. Pekerja restorasi film di sini juga punya peran penting, karena mereka yang bisa membantu membuat film rol (untuk layar tancap) ke kondisi prima seperti keadaan aslinya,” tutup Harry.




Artikel terkait


Berita terkini