Kebebasan berkesenian: Sejauh mana batasan seniman berkarya?

Ditulis oleh Ardela Nabila | Read in English

Pada 2005, perupa Agus Suwage menuai kontroversi lantaran menampilkan konten ketelanjangan dalam karyanya yang dibuat bersama Davy Linggar. Adalah “Pinkswing Park” (2005) yang kala itu panas diperbincangkan ketika dipamerkan di CP Biennale 2005 di Jakarta.

Instalasi ikonik tersebut menampilkan sebuah becak berwarna merah muda di sebuah taman yang dikelilingi tembok dengan gambar digital dua pemain sinetron Indonesia, Anjasmara dan Izabel Jahja, tanpa balutan busana.

Pinkswing Park” (2005) oleh Agus Suwage | Sumber: Singapore Art Museum

Namun, bagian intim pada tubuh keduanya ditutup dengan lingkaran berwarna putih. Walau tidak terang-terangan menampilkan ketelanjangan, karya tersebut masih dianggap ofensif. Front Pembela Islam (FPI) bahkan mengancam akan menggugat sang perupa, fotografer, kurator, sampai kedua model yang terlibat dalam karya tersebut apabila tidak segera diturunkan.

Pada pertengahan 2021 juga ramai perburuan seniman mural “Jokowi: 404 Not Found” lantaran dianggap dapat mengancam ketenteraman daerah atau negara. Berbagai karya mural kritis turut dihapus karena alasan yang sama.

Mural atau vandalisme yang sebenarnya memiliki nilai artistik dianggap sebagai tindakan perusakan yang disengaja. Itu hanya dua dari banyaknya kasus pelanggaran hak kebebasan berkesenian yang dialami seniman Tanah Air.

Berdasarkan “Studi Pustaka Kebebasan Berkesenian di Indonesia 2010-2020” yang dilakukan oleh organisasi nirlaba Koalisi Seni, terdapat 57 kasus pelanggaran yang terdokumentasikan dalam satu dekade terakhir.

Kemudian, situs terbaru kebebasanberkesenian.id yang diluncurkan Koalisi Seni pada Mei 2023 menyebut bahwa terdapat 49 kasus pelanggaran pada 2021, 33 kasus pada 2022, dan 10 kasus sepanjang 2023.

Menurut data yang sama, pelanggaran kebebasan berkesenian yang terjadi di Indonesia ternyata banyak dilakukan oleh pihak kepolisian (110 laporan), organisasi kemasyarakatan (44 laporan), dan pejabat pemerintah lokal (35 laporan).

Kasus dan data tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, sejauh apa dan sampai mana batasan yang harus menjadi perhatian seniman di Indonesia dalam berkarya?

Batasan dalam berkesenian akan selalu ada

Di samping banyaknya pelanggaran yang telah disebutkan di atas dan kencangnya advokasi tentang kebebasan berkesenian, nyatanya akan selalu ada batas yang harus disadari dan diperhatikan oleh seniman dalam berkarya.

Ini sama halnya dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dibatasi dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Menurut akademisi sekaligus anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Shuri Mariasih Gietty Tambunan, batasan dalam berkesenian diperlukan agar tidak berbenturan dengan hak-hak lainnya.

Untuk diketahui, konsep kebebasan berkesenian pertama kali dikenalkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2005.

Sebagaimana dijelaskan dalam “Laporan Global Konvensi 2005”, konsep ini mengacu pada kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya tanpa sensor pemerintah, campur tangan politik, hingga tekanan dari aktor non-negara.

“Menurut saya, kebebasan bukan juga berarti tidak ada batasan sama sekali. Karena kalau kita mengartikannya seperti itu, bisa sangat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melambungkan posisinya sebagai mayoritas. Jadi akan salah apabila kebebasan berekspresi seni dimanfaatkan sebagai alat untuk tidak memanusiakan manusia,” ujar Gietty dalam konferensi pers peluncuran situs Kebebasan Berkesenian.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur yang menekankan bahwa seniman pun perlu memahami sejauh mana batasan yang dimaksud.

Pasalnya, sejumlah regulasi di Indonesia, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), masih sering kali menyandung pelaku seni dalam berkarya.

“Selama UU itu (UU ITE) ada, mau nggak mau, kita pasti kena (kalau melanggar). Jadi dibutuhkan kolaborasi dan keberanian, tapi juga pemahaman di titik mana yang ekstrem itu harus dihindari. Itu kuncinya sebenarnya,” tegasnya.

Transparansi, kunci utama dalam memberantas pelanggaran berkesenian

Di samping pemahaman tentang batasan dalam berkesenian, diperlukan pula kolaborasi berbagai pihak berwenang untuk membuat kebijakan yang tak lagi membatasi pekerja seni dalam berkarya. Transparansi sangat diperlukan dalam hal ini.

Gietty mengimbau para pembuat kebijakan untuk mempertegas dan memperbaiki kebijakannya. Ini tentunya dapat memperjelas batas abu-abu antara apa yang boleh dan tidak boleh dilewati, namun tetap mengacu pada landasan hukum yang berlaku.

“Solusinya mungkin harus ada sistem di mana pelaku seni dapat meminta secara transparan dan terbuka mengapa ini dilarang, yang bisa diakses secara umum. Harus ada yang transparan terkait apa yang boleh dan tidak, itu harus lebih dipertegas,” Gietty menekankan.

Ia menambahkan, “Akan selalu ada faktor x. Di Indonesia ini, kan, selalu faktor x itu yang ada di bawah karpet dan nggak pernah disebutkan. Jadi memang harus ada sistem yang memaksa otoritas apa yang dilarang dan mengapa dilarang, kemudian mengacu pada aturan apa? Jadi memang harus ada transparansi.”

Lebih jauh, Gietty menyarankan agar seniman turut mendapatkan hak untuk mengajukan banding apabila dianggap melanggar hukum ataupun norma. Artinya, selain transparansi, pihak berwenang harus memberikan solusi terhadap apa yang dipermasalahkannya.

“Lalu akses untuk mengajukan banding. Kalau dilarang, apa yang harus kami lakukan agar tidak dilarang? Jadi apa yang bisa dilakukan oleh pelaku seni agar karyanya dapat didistribusikan, karena ini, kan, hak juga,” imbuhnya.

Kebebasan berkesenian: Hak semua orang

Berbicara tentang kebebasan berkesenian, sebenarnya konsep ini tak hanya berlaku bagi para pelaku seni saja.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam situsnya menyebutkan bahwa kebebasan berkesenian tak hanya berlaku bagi seniman, tetapi juga para para penikmatnya. Sebab, konsep ini juga mencakup hak untuk menikmati seni.

Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay mengatakan, agar kebebasan berkesenian dapat menjadi suatu konsep yang utuh, maka diperlukan pemenuhan hak dasar bagi kedua pihak, yaitu seniman dan penikmatnya.

“Jadi dia harus dijamin hak perlindungannya secara komprehensif, hak-hak dasar yang melingkupinya, baru seni itu bisa dinikmati secara bebas, baik sebagai seniman maupun sebagai penikmat karya seni,” terang Hafez dalam kesempatan yang sama.

Adapun kebebasan berkesenian berakar dari kebebasan berekspresi yang tertuang di dalam berbagai aturan. Keutuhan konsep ini diperlukan demi menciptakan ekosistem seni yang maju.

Hafez mengatakan, “Akarnya adalah kebebasan berekspresi yang ada di konvensi internasional, ada di UUD 1945 juga. Ini adalah yang pertama yang menurut UNESCO merupakan fondasinya. Tanpa ini, maka keseniannya nggak akan maju.”

Secara rinci, UNESCO membagi hak kebebasan berkesenian menjadi enam komponen utama yang saling melengkapi satu sama lain, yaitu:

  • Hak untuk berkarya tanpa sensor atau intimidasi.

  • Hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya.

  • Hak atas kebebasan berpindah tempat.

  • Hak atas kebebasan berserikat.

  • Hak atas perlindungan hak sosial dan ekonomi.

  • Hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Dengan digalakkannya advokasi mengenai kebebasan berkesenian, diharapkan ke depannya baik seniman dan penikmat seni dapat memahami haknya, mitigasi potensi pelanggaran, hingga langkah yang perlu ditempuh apabila menjadi korban.




Artikel terkait


Berita terkini