Besar risiko ketimbang apresiasi: kisah para lulusan jurnalistik yang taubat jadi jurnalis

Ditulis oleh Elma Adisya | Read in English

Ketika beberapa temannya bingung ingin memilih jurusan kuliah apa, Anna*, sudah mantap memilih jurusan jurnalistik di sebuah universitas swasta di Tangerang pada 2014 silam. Seperti kebanyakan mahasiswa baru jurusan jurnalistik, Anna bercita-cita ingin bekerja sebagai wartawan karena berekspektasi bisa jalan-jalan gratis hingga membangun relasi dengan banyak orang. 

Pada 2017, ia mendapat kesempatan magang di salah satu media ekonomi ternama di Jakarta. Saat itu barulah ia sadar bahwa menjadi reporter sungguh berat, apalagi ketika ia merasakan bahwa reporter tidak memiliki jam kerja alias hampir 24/7 hari.  

“Mungkin karena dulu masih idealis ala mahasiswa, jadi gue menikmati kesusahan yang gue lalui. Tapi, akhirnya gue memutuskan untuk menyerah karena bagi gue sudah nggak worth it,” ujar Anna dalam percakapan bersama TFR secara daring.

*bukan nama sebenarnya

Mengobati ekspektasi kuliah jurnalistik

Banyak lulusan jurnalistik dari berbagai universitas Indonesia yang bercita-cita bekerja di media impian mereka. Namun, kenyataannya, ekspektasi saat masa perkuliahan sangat berbeda dari keadaan di lapangan. Hal ini membuat sebagian dari mereka mundur teratur dari industri ini. Untuk mengobati ekspektasi-ekspektasi ini, dosen ilmu komunikasi dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, mengatakan bahwa pihak program studi terus memperbarui kurikulum agar tetap sesuai dengan situasi di lapangan. 

“Selain itu, di kelas saya, saya selalu bilang ke mahasiswa saya untuk terus update dengan perkembangan di sekitar mereka. Itu selalu kita bahas di kelas. Jadi, mereka juga siap saat turun ke lapangan,” ujar Ignatius yang akrab dipanggil Pak Ighar, kepada TFR. 

Dari pengalamannya mengajar dari tahun pertama UMN berdiri hingga kini, Pak Ighar mengatakan bahwa memang ada tren penurunan dalam peminatan jurnalistik. Hal ini mulai terjadi pada 2016, dan semakin menurun saat pandemi Covid-19.

“Memang belum diketahui pasti alasan angka penurunan minat ke jurusan jurnalistik ini. Pada 2017, mahasiswa yang masuk ada 170 orang, 2018 naik sedikit menjadi 190 orang. Lalu 2019 turun jadi 150 dan 2020 hanya ada 80an,” tambahnya.

Tak semua mendapat hal sama

Bertemu dengan orang baru, bisa liputan ke luar kota, dan idealisme mahasiswa menjadi alasan Anna untuk lanjut menjadi reporter sungguhan. Namun, ada realita lain yang tak pernah dibahas di dalam kelas, salah satunya pelecehan dan sikap misoginis dan seksis di newsroom yang diterima reporter perempuan.  

“Di satu titik, gue baru sadar bahwa profesi ini nggak aman buat perempuan, apalagi gue kerja di media ekonomi yang memang didominasi oleh reporter laki-laki,” katanya. 

Anna merasa bahwa pada beberapa kesempatan, sebagai seorang reporter apalagi perempuan, rekan senior laki-laki sering “menggunakan” Anna sebagai tameng saat mereka terdesak mencari narasumber laki-laki. Pada satu kesempatan, redaktur menyuruhnya menghubungi seorang narasumber laki-laki yang sulit ditembus.

“Jujur, saat itu gue takut, soalnya narasumbernya bapak-bapak. Hal-hal yang seperti ini nggak hanya sekali-dua kali gue rasakan,” tambahnya. 

Salah satu yang kejadian paling membekas selama ia menjadi reporter adalah ketika meliput kasus bar Alexis yang naik pada 2017 lalu. Saat itu, semua koleganya, termasuk kolega senior, tidak ada yang bisa mendapatkan wawancara dengan pihak Alexis. Lagi-lagi, Anna dijadikan tameng oleh atasannya karena pihak yang mereka hubungi adalah seorang laki-laki.

“Waktu itu sudah satu minggu kita coba tembus ke Alexis untuk wawancara, dan nggak bisa juga. Akhirnya atasan gue menyuruh gue lagi yang menghubungi. Terus tembus dong. Gue liputan ke Alexis sendirian, mana tempatnya remang-remang, nggak nyaman. Serem banget.”

Akan tetapi, alih-alih mendapat apresiasi yang profesional, rekan-rekannya malah mengapresiasi Anna dengan nada melecehkan dan setengah merendahkan. 

“‘Anna bisa tembus, melobi kayak gimana lo’. Jadi mereka berpikirnya yang aneh-aneh. Walaupun nggak secara langsung mereka ngomongnya, tapi nadanya ke arah situ,” protes Anna.  

Selain sikap seksis seperti itu, ketika Anna bercerita pada TFR, ia baru sadar pernah mengalami pelecehan di tempat kerja oleh atasannya. 

“Dulu gue nggak sadar itu masuk ke pelecehan. Pernah satu atasan gue mengajak nemenin dia makan malam-malam, ngajakinnya tengah malam. Kan, gue sangat nggak nyaman dan agak takut juga ya,” tambahnya.

Besar risiko ketimbang apresiasi

Itu baru satu dari sekian banyak cerita yang membuat banyak individu, termasuk Anna, mundur dari profesi jurnalis. Tak hanya jam kerja yang berantakan dan situasi yang membuatnya rentan menjadi korban pelecehan, selama delapan bulan Anna bekerja menjadi reporter baru, ia merasa pekerjaan yang ia hasilkan mendapat apresiasi yang sangat minim dari atasannya.

“Namanya juga kita fresh graduate, bukannya ditunjukkan di mana salah kita atau dikasih masukkan positif, ini langsung dibentak begitu saja. Gimana kita nggak mental break dance,” tuturnya. 

Cerita serupa datang dari Melan* (27), seorang lulusan jurnalistik yang akhirnya menyerah dan keluar dari media. Berbeda dari Anna yang bekerja di media besar ternama, Melan mencoba peruntungannya di sebuah media rintisan yang fokus di dunia fesyen. Kantornya terletak di Jakarta Selatan. Awalnya, Melan merasa lingkungan dan isu yang diangkat oleh media ini membuatnya nyaman dan tidak terlalu rumit. Masalahnya adalah gaji di media rintisan sungguh miris. 

*bukan nama sebenarnya

“Waktu itu gue masih fresh graduate, tahun 2017. Lingkungannya enak, tapi yang gue nggak tahan itu, gue cuma digaji Rp700.000. Gue cuma tahan 6-7 bulanan di sana,” kata Melan. 

Tidak hanya dari sisi materi, apresiasi dan penghargaan atas karya yang ia buat menurutnya sangat minim. Atasannya bahkan tidak percaya dengan pekerjaan yang ia buat. 

Gue kecewa banget kalau karya gue nggak dihargai. Ini nggak hanya terjadi di media ini saja. Waktu gue magang di media lain pun gue mengalami hal yang sama, bahkan lebih parah lagi. Dari situ gue yakin, ini bukan profesi yang gue inginkan,” ujar Melan. 

Minim apresiasi dan gaji yang kecil sebetulnya bukan lagi menjadi rahasia umum, apalagi di kalangan mahasiswa jurnalistik. Dosen seringkali melemparkan kalimat seperti “kalau kamu mau jadi jurnalis, jangan mengharap kaya, ini panggilan jiwa” sebagai semacam anekdot tiap kelas dimulai. 

Aspek kesejahteraan juga setiap tahun menjadi sorotan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pada 2018, AJI Indonesia menetapkan upah layak jurnalis pemula sebesar Rp7.963.949. Berdasarkan survey yang diadakan oleh AJI pada 2018, sebagian besar media mengupah jurnalisnya sekitar Rp4 juta. Beberapa media mengupah jurnalis fresh graduate di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp3,5 juta dengan jam kerja lebih dari 8 jam dan tanpa uang lembur. 

Kondisi semakin memburuk saat pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Gelombang PHK dan gaji yang tidak turun terjadi bertubi-tubi pada banyak jurnalis di berbagai daerah selama dua tahun belakangan. Tahun lalu, AJI kembali melakukan survei dengan lebih dari 100 responden, dan sebanyak 93,8% responden mengaku belum mendapatkan upah yang layak, bahkan di bawah upah minimum provinsi DKI Jakarta atau Rp4.416.186.

Mereka yang tetap bertahan

Meski banyak lulusan jurnalis yang satu-persatu menyerah dari impiannya menjadi jurnalis, ada sebagian yang tetap bertahan dalam profesi ini, salah satunya Johanes Hutabarat (28) atau sering disapa Jobar. Ia tetap bertahan dengan tantangan-tantangan yang ia hadapi selama lima tahun menjadi wartawan. Sejak di bangku kuliah, ia sudah mantap terjun ke dunia jurnalistik dan bercita-cita mengembangkan karirnya menjadi in-depth reporter. 

“Awal-awal gue kerja di Kumparan tahun 2017-an, memang saat itu jauh dari apa yang gue bayangkan. Mau resign tapi nggak sampai hati, dan gue bukan risk taker,” ujarnya.

Pada 2018, kesempatan emas datang dan ia pun bergabung dengan tim in-depth Kumparan. Selama 2018-2020, Jo mengatakan bahwa dia banyak sekali belajar hal-hal baru yang sebelumnya tidak ia dapatkan saat menjadi wartawan harian biasa. 

“Di sana gue kembali belajar menulis artikel yang menarik, mewawancara narasumber secara mendalam, menggali angle lebih baik. Pokoknya gue belajar banget,” tambahnya. 

Hanya saja, perjalannya di media itu itu terhenti saat ia menjadi salah satu staf yang terkena gelombang PHK akibat pandemi. Hal ini membuatnya kembali berpikir apakah ia mau lanjut atau tidak. Akan tetapi, walaupun keluar dari media, Jo bingung mau ke mana. Selain itu, kondisinya yang belum memiliki tanggungan membuatnya tetap ingin bertahan di industri ini.  

Gue memahami bahwa setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda, dan banyak teman gue yang sandwich generation, ini yang membuat mereka nggak bisa lanjut,” jelasnya.

Beruntungnya, banyak teman-teman Jo yang memberikannya jalan untuk tetap bertahan di profesinya. Dari 2020 hingga akhir 2021, Jo banyak menulis lepas di beberapa media asing dan media lokal sembari bekerja paruh waktu di hakasasi.id. 

“Kondisi gue memungkinkan gue untuk tetap bertahan di media, dan puji Tuhan, jalan yang dikasih ada saja, sampai akhirnya sekarang gue di Tirto.”


Artikel terkait


Berita terkini