Pergeseran cara monetisasi dan kondisi "mengenaskan" media “zaman now”

Ditulis oleh Maria Ermilinda Hayon | Read in English

Pesatnya perkembangan teknologi digital tampaknya seperti pedang bermata dua. Satu sisi bisa menumbuhkembangkan banyak media baru, sementara sisi lainnya bisa membunuh eksistensi media yang sudah ada. 

Tentu tak ada media yang ingin eksistensinya hilang–meski kenyataannya sudah banyak media-media lama yang jatuh berguguran. Upaya mempertahankan eksistensi ini pada akhirnya akan memengaruhi persaingan konten dan persaingan bisnis antar-media.

Secara garis besar, media memiliki dua sumber pendapatan untuk bertahan, yakni monetisasi produk atau konten yang dibeli atau diakses oleh audiensnya dan pemasukan iklan.

Monetisasi sangat penting bagi media untuk memenuhi kebutuhan operasional. Namun, saat ini tantangan besar yang dihadapi media adalah adanya pergeseran cara monetisasi karena pasar yang berubah. Pergeseran ini terjadi baik dari sisi penyampaian konten maupun pemasukan iklan. 

Monetisasi dari sisi pemasukan iklan 

Saat periklanan digital belum sekuat dan sekencang sekarang, pemilik jenama akan mencari media massa konvensional untuk mendapatkan slot iklan, baik berupa kolom di koran atau tabloid maupun durasi di televisi. 

Saat itu, media massa konvensional meraup keuntungan dari penjualan slot iklan di samping penjualan produk medianya.

Waktu terus berputar, dan saat dunia beralih ke digital, muncullah cara-cara beriklan baru. Salah satu cara beriklan yang naik daun adalah melalui jasa influencer, yang membuat persaingan mendapatkan jenama menjadi semakin ketat. 

Influencer adalah istilah yang sudah tak asing lagi di dunia ekonomi digital. Influencer adalah seseorang yang memiliki jumlah pengikut banyak di media sosialnya. 

Karena lebih dekat dengan pengikutnya, keterikatan pun terbangun dan membuat influencer memiliki pengaruh besar pada masyarakat di media sosial hingga ke dunia nyata. Influencer tak harus seorang tokoh publik, dan biaya beriklannya pun sangat bervariasi.

Kehadiran influencer yang menawarkan beberapa keunggulan seakan menjadikan beriklan di media massa sebagai alternatif alias pilihan kedua bagi para pengiklan.

Tentu media harus menghadapi tantangan berat. Tergerus digital, iklan disedot media sosial dan influencer, dan informasi juga kian bersifat gratis.

Diversifikasi usaha

Menurut pandangan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, pendapatan slot iklan bagi media sebenarnya masih ada, hanya saja dengan digitalisasi, sifatnya sudah harus multi-channel

“Jadi menggabungkan iklan di media arus utama dan juga media online termasuk media sosial. Media yang hanya satu media saja sulit bertahan, seperti media cetak, majalah, dan lainnya. Jadi, mau tidak mau harus aktif memanfaatkan digital. Atau diversifikasi usaha. Bikin acara acara seminar, pemberian award, dan lainnya,” jelas Heru yang juga pengamat teknologi itu saat dihubungi The Finery Report.

Maka, tak heran jika media di zaman ini memiliki usaha sampingan lain. Hal ini juga sebagai jalan monetisasi media masa kini. Misalnya, beberapa media masuk ke bidang properti, membuat agensi, atau membuat studio sendiri di luar operasional media untuk menyokong keuangan mereka.

Ya, membangun agensi atau studio baru memang bisa menjadi bagian dari langkah diversifikasi usaha yang bisa dilakukan media, baik media besar maupun homeless media.

Bisa juga sebaliknya, media-media digital baru atau homeless media—merujuk pada sejumlah media yang bermukim dan mengembangkan bisnisnya di tiap platform media sosial raksasa seperti Facebook, Instagram, YouTube, atau Tiktok—sengaja dibuat untuk diversifikasi usaha demi memperkuat eksistensi dan/atau promosi bisnis lain yang sudah dimiliki sebelumnya.

Lantas, bagaimana nasib para jurnalis?

“Kalau perusahaan media mendapat tambahan pendapatan tentu seyogyanya menetes juga ke jurnalis,” ujar Heru.

Benar. Demikian seharusnya. Meski pada kenyataannya tak dimungkiri ada jurnalis yang akhirnya memiliki peran ganda karena diminta bekerja multi-channel (misalnya, jurnalis cetak sekaligus digital, atau jurnalis radio sekaligus admin media sosial). Namun sayangnya tetap—dan hanya—digaji untuk bekerja dia satu kanal media saja.

Di sisi lain, saat ini Dewan Pers bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang memperjuangkan regulasi publisher right

Publisher right atau hak cipta penerbit memungkinkan raksasa digital untuk harus berbagi pendapatan atau membayar hak penerbitan atas informasi yang dimanfaatkan mesin pencari, media sosial, dan lainnya untuk menghargai hak cipta penerbitan.

“Tidak mengatasi (dominasi platform digital, red.). Tapi ada sharing pendapatan. Semoga ini membuat jurnalistik selalu bersemangat dan diharapkan bisa menyelamatkan para pekerja dan keberlangsungan media,” kata Heru.

Monetisasi dari sisi konten

Dalam konteks digital, ekosistem industri media kini didominasi dari hulu ke hilir oleh Google dan Facebook. Media seakan dipaksa mengikuti aturan main Google dan Facebook. Sayangnya, kondisi ini seakan membuat citra besar media dan kualitas jurnalismenya menjadi bobrok di mata masyarakat. 

Tak dimungkiri, media pada umumnya saling berlomba-lomba menarik perhatian dengan membuat konten dengan kata kunci yang tepat agar “terbaca” dan “dipajang” Google di halaman pertamanya. Mungkin bisa dibilang pekerjaan media digital saat ini kebanyakan adalah “melayani” mesin.

Makanya tak jarang banyak berita dibuat dengan judul clickbait dan memiliki isi berita yang dangkal, bahkan kadang tidak berkaitan antara judul dengan isinya. Hal ini terjadi karena media akan mendapat uang dengan berbasis kunjungan atau klik, sehingga dikembangkanlah judul atau isi yang hanya untuk mengumpan saja. Akibatnya kualitas berita dijadikan nomor dua.

Sejatinya, konten yang dekat dan erat dengan khalayak akan meningkatkan kunjungan dan engagement suatu media. Apalagi jika ada berita viral, media yang tercepat dengan padanan kata kunci tepat bisa mendapat peluang besar untuk dibuka dan dibaca khalayak. Ujungnya, uang mengalir dalam tiap sentuhan jari. 

Dilema memang melanda media. Bingung memilih antara tetap idealis tapi uang yang mengalir sedikit dan mungkin mati, atau uang mengalir dan tetap eksis dengan bermain mesin tapi mengorbankan nilai dan kualitas jurnalistik. 

Dengan dilema dan banyaknya perubahan ini, apakah masih banyak anak muda yang ingin terjun ke media menjadi jurnalis? (*)


Artikel terkait


Berita terkini