Melampaui impresi, pengaruh interior terhadap kesejahteraan dan penyembuhan

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Selama hidup seorang manusia, 70% dari umur seseorang pada masyarakat modern dihabiskan dalam ruangan (Kim, 1998). Dalam satu hari, kita menghabiskan mayoritas waktu kita di dalam ruang untuk beraktivitas, mulai dari bekerja hingga tidur dan makan. Fakta ini menunjukkan bahwa interior ruangan untuk mendukung kesejahteraan fisik maupun psikologis adalah hal yang begitu penting.

Dalam wawancara dengan TFR, Kharista Astrini Sakya, desainer interior dan dosen Kelompok Keahlian Manusia dan Ruang Interior FSRD ITB, menjelaskan pentingnya pertimbangan interior untuk menunjang aktivitas pengguna agar semakin efektif, efisien, dan produktif. Kita dapat melihat pengaruhnya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari meningkatkan kualitas komunikasi hingga menciptakan kesan kebebasan dan meningkatkan pengaruh penyembuhan. 

Desain interior adalah upaya mencari solusi untuk memecahkan masalah dari sisi manusia itu sendiri sebagai penggunanya, dengan menyesuaikan dengan karakteristik penggunanya agar sesuai dengan kebutuhan. Pertimbangan karakteristik ini termasuk jenis kelamin, tingkat pendidikan, latar kebudayaan, usia, kelas sosial ekonomi, serta keadaan fisik dan psikologis.

Berdasarkan penelitian dalam bidang ilmu saraf (neurosains), dilansir dari tulisan dalam Forest Homes, elemen desain interior mampu membangkitkan respons emosional positif atau negatif pada pengguna ruang. Temuan ini membuka pintu untuk merancang ruang dengan tujuan mendorong kesehatan, kreativitas, kesejahteraan, dan kedamaian.

Dalam balai furnitur internasional di Milan, John Hopkins University School of Medicine's Brain Science Institute mengembangkan dan memamerkan proyek bernama "Space and Being". Pengunjung proyek ini dikenakan gelang yang mengukur respon psikologisnya ketika melalui tiga ruang yang berbeda. Data yang dihasilkan membuktikan bagaimana desain memberi pengaruh terhadap kondisi  biologis dan kesejahteraan manusia.

Pertimbangan interior bagi kesehatan fisik dan mental

Organ tubuh manusia yang kompleks dan canggih mampu memproduksi beragam hormon, salah satunya adalah melatonin yang membantu tubuh mengetahui kapan waktu tidur dan bangun. Hormon ini memiliki irama sirkadian yang berkoordinasi untuk menciptakan hubungan optimal antara bermacam organ dan sistem fisiologis dan lingkungan atas waktu-waktu tertentu. Ritme sirkadian adalah perubahan fisik, mental, dan perilaku yang mengikuti siklus 24 jam. 

Dalam interior, ritme sirkadian dapat diatur dengan teknologi cahaya dinamis melalui lampu dalam ruang yang menyesuaikan dengan cahaya alami pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Akan tetapi, cahaya hanyalah satu dari berbagai elemen interior yang memengaruhi kesejahteraan kita.

Pada dasarnya, terdapat dua elemen dasar yang dapat memengaruhi tingkah laku pengguna interior, yaitu stressor dan stress. Stressor adalah elemen lingkungan yang menjadi stimulus, seperti kebisingan, suhu, dan kepadatan. Sementara, stress (tekanan atau ketegangan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan atas efek lingkungan terhadap diri manusia. Dalam menanggapi respon tersebut, manusia berupaya untuk mengerti, memahami, dan menilai lingkungan. (Kharista)

Sumber stress lingkungan dalam interior ruangan datang dari beragam aspek, seperti:

  • Cahaya dan warna

Kualitas penerangan yang baik adalah yang mampu menjaga tingkat kelembaban ideal, sehingga mencegah munculnya bakteri dan menjaga furnitur dan elemen bangunan lain dari kerusakan akibat kelembaban (Karyanta et al., 2015)

Sedangkan warna dapat mengurangi kecemasan seseorang, seperti warna hijau yang merangsang pelepasan serotonin sehingga menurunkan stress atau cemas individu.

  • Ventilasi

Udara alami dapat meningkatkan konsentrasi kita dan meningkatkan kesehatan pernapasan. Sementara, penggunaan penghawaan buatan yang berlebihan dapat meningkatkan sick building syndrome

Udara segar dari luar ruangan juga dapat memberi dampak positif bahkan bagi penyembuhan pasien di rumah sakit. Ventilasi dapat memperbaiki kualitas udara, yaitu suhu dan kelembaban ruangan. 

  • Suhu

Semakin tinggi suhu, semakin tinggi juga tekanan darah, detak jantung, dan konduktansi kulit manusia. Suhu yang cukup panas dapat menurunkan kinerja jika berlangsung lama. Sebaliknya, suhu udara terlalu dingin bisa menyebabkan hipotermia.

  • Suara dan akustik (kebisingan)

Suara yang menyenangkan dan menenangkan dapat mengurangi tekanan darah dan detak jantung sehingga menimbulkan suasana yang memengaruhi sistem saraf.

  • Tata ruang dan privasi

Hal ini termasuk kepadatan atau jumlah manusia dalam ruang, privasi penggunanya, ruang personal, dan ukuran. 

Penyempitan ruang individual dalam rumah akan menimbulkan berbagai macam permasalahan psikologis yang serius, salah satunya stress. Ukuran ruang yang terlalu besar atau terlalu kecil akan memengaruhi psikologis dan tingkah laku pemakainya, sedangkan kurangnya privasi berpengaruh besar terhadap kenyamanan.

  • Visual

Pemandangan alam, cahaya matahari, karya seni, dan warna-warna tertentu dapat memberikan efek relaksasi terhadap mata. Alam memberi efek restoratif yang besar bagi kesehatan, seperti menurunkan tekanan darah, memberikan kontribusi bagi keadaan emosi yang positif, menurunkan kadar hormon stress, dan meningkatkan energi.

Kesadaran dan penerapan pertimbangan interior di Indonesia

Menurut Kharista, pandemi yang melanda mulai 2020 memberi pengaruh terhadap kesadaran kebanyakan orang tentang pentingnya kenyamanan dalam ruang privat maupun publik. Kepekaan untuk memastikan kebersihan dan sterilisasi membuat banyaknya area sterilisasi khusus di bagian foyer rumah. Kebijakan bekerja dari rumah (WFH) juga menyadarkan publik akan pentingnya menjaga konsentrasi dan mengontrol stress ketika bekerja.

Kesadaran akan pentingnya pertimbangan interior dalam rumah tinggal dapat dilihat dari pernyataan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 2012, berbasis pada kriteria minimal rumah sehat. Kriteria tersebut diukur dari akses air minum, akses jamban sehat, lantai, ventilasi, dan pencahayaan. Pencapaian rumah sehat di Indonesia berdasarkan catatan Departemen Kesehatan RI adalah 68,69%.

Data tersebut menunjukkan bahwa sudah ada penerapan yang cukup baik. Akan tetapi, kriteria tersebut sebenarnya juga bergantung pada ketersediaan lahan. Pencahayaan alami dan sirkulasi udara yang baik sulit dicapai dalam kawasan padat penduduk, di mana rumah-rumah saling berdempetan. Pencapaian rumah sehat pun masih menghadapi isu keterbatasan lahan. 

Kharista menambahkan bahwa di ruang publik, penerapan interior untuk mendukung penyembuhan pasien kerap menghadapi masalah yang serupa dengan ruang privat, yaitu keterbatasan lahan. Bukannya menjadi tempat untuk penyembuhan, tetapi malah meningkatkan stress.

Budaya Indonesia memiliki beberapa paham tradisional yang membuktikan kesadaran dari pertimbangan-pertimbangan elemen interior dan arsitektur yang mendukung aktivitas penggunanya, seperti di Bali, Batak Toba, Jawa dan Baduy. Bali menerapkan Asta Kosala Kosali, berbasis landasan filosofis atas konsep tata ruang tradisional Bali. Di Batak Toba, wilayah tinggal terdiri dari banua tunggal (Banua Toru, Banua Tonga, dan Banua Ginjang) yang berkaitan dengan pedoman hidup masyarakat Batak Toba. Rumah joglo Jawa menerapkan tiga bagian di dalamnya, yaitu pendhapa, pringgitan, dan dalem yang memiliki makna dan perhitungan tertentu. (Kharista)

Di luar Indonesia, kita dapat melihat paham Hygge dari Denmark. Hygge mengartikan harmoni dengan ruang, bertujuan untuk mencapai hubungan emosional dengan lingkungan sekitarnya. Ada pula Vastu Shastra dari India dan Feng Shui dari Tiongkok yang semuanya bertujuan untuk mencapai kebutuhan penggunanya secara mental, fisik, dan emosional.  

Interior untuk penyembuhan

Terdapat dua paham dalam ilmu interior yang berkaitan dengan penyembuhan fisik dan mental, yakni desain universal dan healing environment

Desain universal berkaitan dengan aksesibilitas pada bangunan untuk pengguna disabilitas. Di Indonesia, prinsip desain universal sudah diterapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017, yaitu : 

  • Kesetaraan penggunaan ruang; 

  • Keselamatan dan keamanan bagi semua; 

  • Kemudahan akses tanpa hambatan;

  • Kemudahan akses informasi;

  • Kemandirian penggunaan ruang; 

  • Efisiensi upaya pengguna; dan 

  • Kesesuaian ukuran dan ruang secara ergonomis. 

Sementara, healing environment sudah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu saat masyarakat Yunani merancang bangunan untuk pasien yang di sekitarnya dipenuhi unsur alam, musik, dan seni untuk mengembalikan harmoni dan mendukung penyembuhan. Pada abad ke-19, Florence Nightingale mengembangkan konsep awal healing environment dengan teori keperawatan yang menyerukan perawat untuk memanipulasi lingkungan menjadi lingkungan terapi (Nightingale, F. 1860).Nightingale menguraikan secara rinci persyaratan bagi ruang pasien untuk meminimalkan penderitaan sakit dan mengoptimalkan kapasitas pasien untuk pulih, yaitu terdiri dari ketenangan dan kehangatan. (Kharista)

Penyembuhan pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor lingkungan yang memberi pengaruh sebesar 40% dalam proses penyembuhan. Faktor lainnya adalah faktor medis (10%), faktor genetik (20%), dan faktor lain (30%). (Kaplan, 1993)

Penjelasan ini membuktikan bahwa desain interior memengaruhi perilaku fisik dan mental dari penggunanya, dan menjadi keharusan bagi seorang desainer interior untuk mendengarkan kebutuhan penggunanya. Desain interior tidak hanya mempertimbangkan fungsi, utilitas, dan estetis sebuah ruang, tapi juga memikirkan hal yang lebih jauh, yaitu kesehatan fisik dan mental penggunanya.


Artikel terkait


Berita