Bagaimana pengalaman dan algoritma memengaruhi selera musik

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Setiap tubuh individu, dengan kekhasan latar belakang dan pemikirannya, memiliki pilihan unik dalam musik. Bahkan, selera musik antar-teman saja bisa jauh berbeda. Lantas, bagaimana selera musik seseorang bisa terbangun? 

Ternyata, tubuh kita menjalankan proses kompleks tiap sebuah musik terdengar. Tatanan kompleks suara musik ditangkap dalam bentuk getaran gelombang suara oleh telinga, kemudian diterjemahkan di otak. Berdasarkan tulisan Daniel Levitin "This is Your Brain on Music: The Science of a Human Obsession", tak hanya korteks auditori saja yang mengolah suara di otak. 

Setidaknya sepuluh bagian otak, termasuk korteks sensorik, nukleus akumbens, dan amigdala, terangsang dan memproses musik. Masing-masing bagian otak berperan penting membangun pengalaman kita dalam menikmati musik. 

Musik pun telah menjadi bagian penting dalam peradaban manusia, terutama dalam berkomunikasi. Penulis "Why You Like It: The Science and Culture of Musical Taste" (2013) Nolan Gasser mengungkap bahwa sebelum kita memiliki bahasa lisan, manusia prasejarah berkomunikasi dengan lantunan suara musikal, dikenal sebagai “Neanderthal bernyanyi”. Instrumen musik tertua telah ada sejak 60.000 SM, yakni suling Divje Babe yang ditemukan di sebuah gua di Slovenia. 

Tiap padanan nada menghasilkan karakter yang unik satu sama lain. Mendasar pada teori matematika musik Yunani, Gasser menambahkan bahwa tiap interval primer musik menghasilkan respon fisikal. Teori yang dimaksud Gasser adalah rasio oktaf 2:1, rasio kelima sempurna 3:2, dan rasio keempat sempurna 4:3.

Menurutnya, tatanan nada tersebut bersumber dari suara terkuat yang terdengar di alam. Ia pun berkembang menjadi suara mayor yang membahagiakan dan minor yang menghanyutkan. Sehingga, penilaian musik menurutnya merupakan penilaian kolektif yang alamiah.

Lebih dari kesadaran kolektif, terdapat beberapa faktor yang disinyalir memengaruhi selera musik seseorang. Faktor geografis, masa formatif semasa kecil, politik identitas, hingga teknologi turut berperan penting dalam membentuk selera musik seseorang.

Beda wilayah, beda budaya, beda selera

Menurut asisten profesor otak dan ilmu kognitif Massachusetts Institute of Technology, Josh McDermott, jenis harmoni akord konsonan telah mendominasi musik Barat. Akhirnya, lahir penilaian kolektif bahwa nada konsonan dengan karakter campuran not dan kord klasik C dan G memberikan rasa nyaman dan bahagia. Sedangkan, suara disonan memberikan rasa tegang dan takut. 

Bersama profesor Brandeis University Ricardo Godoy, McDermott melakukan eksperimen terhadap masyarakat bagian lain di dunia, yakni Bolivia. Penelitian itu menemukan bahwa masyarakat Bolivia mengkategorikan baik nada konsonan maupun disonan sebagai suara yang “menyenangkan”.

"Jadi saya tahu preferensi setidaknya bisa dimodulasi oleh pengalaman. Namun, mengejutkan untuk melihat tingkat variasi lintas budaya," ujar McDermott. 

Sandra Trehub dari University of Toronto-Mississauga berargumen bahwa penilaian McDermott masih kurang referensi. Meskipun begitu, temuan tersebut membuktikan bahwa lingkup geografis yang memengaruhi perbedaan budaya berperan penting bagi selera musik seseorang.

Musik semasa kecil memberikan kenyamanan, musik semasa remaja menunjukkan sikap

Menurut Gasser, selama enam bulan pertama atau lebih hidup seorang bayi, mereka telah mampu menelaah sintaks dari gaya musik apa pun. Bayi pun terbukti peka terhadap perubahan musik yang diputar di sekitarnya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Trehub yang telah mempelajari bayi dan musik, yang menyampaikan bahwa bayi cenderung menyukai musik dan suara yang dikenal. 

Jenis musik yang dipaparkan semasa pertumbuhan seorang anak pun menurut Gasser akan berkembang menjadi musik aman bagi mereka. Meski ketika tumbuh dewasa, terutama akibat dorongan remaja untuk “membangkang”, kita akan mulai memformulasikan selera musik kita sendiri.

Sama seperti periode kritis (formative years) yang menentukan kemampuan anak memahami bahasa, periode tersebut krusial dalam membangun selera musik seseorang., terutama mulai usia 14 tahun dan memuncak pada usia dewasa muda 24 tahun. Selama interval waktu tersebut, identitas dan kelompok sosial seseorang mulai menguat, dan preferensi estetiknya mulai ditantang. 

Direktur Laboratory for Music Perception, Daniel Levitin, mengungkapkan, "14 adalah semacam usia ajaib untuk perkembangan selera musik. Hormon pertumbuhan pubertas membuat semua yang kita alami, termasuk musik, tampak sangat penting. Kita baru saja mencapai titik dalam perkembangan kognitif kita ketika kita mengembangkan selera kita sendiri. Dan selera musik menjadi lencana identitas."

Musik sebagai cerminan pola pikir dan persona yang dituju

Masing-masing genre musik mulai dari keroncong, pop, klasik, jazz, R&B, hingga punk mampu mencerminkan diri pendengarnya. Peter Rentfrow dan Samuel Gosling dari University of Texas pada 2003 menyatakan, penggemar suatu genre musik jatuh ke dalam satu dimensi preferensi musik yang unik.

Penelitian Rentfrow dan Gosling membagi preferensi musik manusia ke empat dimensi berbeda. Pertama, jenis musik reflektif dan kompleks meliputi jazz, klasik, dan folk. Selanjutnya adalah musik intens dan memberontak seperti rock, punk, dan alternatif. Lalu musik optimis dan konvensional, yakni pop dan lagu tema. Terakhir adalah musik enerjik dan berirama, di antaranya hip-hop, funk, soul, dan elektronik. 

Masing-masing dimensi tersebut diklaim sebagai cerminan kadar toleransi dan ideologi politik pendengarnya. Misalnya, pendengar musik optimis dan konvensional cenderung ekstrovert dan ceria, tetapi tingkat stabilitas emosionalnya rendah dan kemampuan verbalnya kurang berkembang. Sementara, penggemar musik reflektif dan kompleks cenderung cerdas, toleran, dan memiliki pandangan sosial liberal.

Penelitian lainnya pada 2015 yang dilakukan David M. Greenberg menyatakan bahwa selera musik merefleksikan pola pikir seseorang. Individu yang berempati tinggi dikatakan lebih menyukai musik lembut dan reflektif, seperti folk, country, dan R&B. Sedangkan, pemikir sistematik menyukai musik kompleks dan intens dengan sonik yang lebih tinggi, seperti Beastie Boys atau Miles Davis.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, manusia berkembang dan mulai menyadari pentingnya membangun persona sebagai cerminan akurat kepribadian dan nilai-nilai yang dipegangnya. Studi pada 2007 yang dilakukan Tomas Chamorro-Premuzic menemukan kecenderungan seseorang untuk membedakan musik yang sebenarnya didengarkan dengan musik yang dikatakan sebagai kesukaannya. "Itu karena orang sadar bahwa menyukai musik tertentu terkait dengan nilai dan kepribadian tertentu," jelas Chamorro-Premuzic.

Lebih jauh, penelitian Willis (1978) menemukan preferensi musik seseorang berasal dari latar belakang kelas, seperti preferensi musik rock ‘n’ roll dan rock progresif yang menurutnya digemari oleh pekerja kelas menengah, pegiat sepeda motor, dan hippie pada awal 1970an. 

Tetapi, penelitian Frith (1981) menantang pembacaan berbasis kelas seperti Willis. Analisanya menemukan bahwa preferensi musik terbangun dari pilihan estetis dan penilaian kolektif terhadap gagasan budaya dan nilai intrinsik musik tertentu. 

Suapan algoritma yang menguatkan selera

Perkembangan teknologi telah memengaruhi perilaku dan pemikiran kita, termasuk selera musik. Algoritma dari platform digital pemutar lagu memperkuat preferensi musik kita, sekaligus memperluasnya di saat yang bersamaan.

Gasser turut menyampaikan bahwa platform streaming, dalam hal ini Pandora, membangun “DNA” musik melalui pilihan putaran. Hal serupa dilakukan oleh Spotify yang memberikan rekomendasi harian berupa Daily Mix, Discover Weekly, Daily Drive, hingga Release Radar yang membantu pengguna memutar lagu kesukaan dengan kejutan lagu-lagu baru dari berbagai artis.

Selera terbangun atas akumulasi pengalaman dan pemikiran kompleks nan subjektif manusia. Bersamaan dengannya, kesadaran kolektif yang mungkin tak disadari secara langsung turut mengambil peran. Meski penjelasan ini mungkin baru mencakup segelintir bahasan terkait asal selera musik seseorang, setidaknya ungkapan klise “daftar putar musik seseorang mencerminkan kepribadian orang tersebut” ternyata benar adanya.


Artikel terkait


Berita terkini