Dari Yunani ke Indonesia: sejarah musikal

Read in English

Ketika menemukan kata "musikal", beberapa dari kita mungkin berpikir tentang Disney yang (walaupun bermasalah) merupakan favorit sepanjang masa, sementara beberapa lainnya mungkin akan berpikir tentang "The Sound of Music" atau "Les Misérables", dan tentu wajar bila kita berpikir tentang film India. Asosiasi ini semuanya tepat.

John Kenrick, dalam bukunya “Musical Theatre: A History” (2010), menjelaskan bahwa musikal adalah bentuk penceritaan dengan menggunakan “lagu dan sandiwara”, yang kemudian juga mencakup tarian dan dialog. Singkatnya, teater musikal harus memiliki musik dan lirik (lagu), buku/Libretto (kisah penghubung yang diungkapkan dalam naskah atau dialog), koreografi (tarian), pementasan (semua gerakan panggung), dan produksi fisik (set, kostum, dan aspek teknis).

Jika semua berjalan dengan baik dalam produksinya, kombinasi ini akan membangkitkan "respons intelektual serta emosional."

Sonny Sumarsono, seorang perancang cahaya senior dan ahli teater, mendefinisikan teater musikal sebagai “suatu bentuk pertunjukan yang diekspresikan melalui musik, nyanyian, dan akting dengan bonus tontonan yang luar biasa”.

Kapan musikal lahir?

Kenrick menulis bahwa musikal telah ada dalam dua milenium terakhir, dimulai pada abad ke-5 SM di Athena, Yunani. Saat itu adalah masa di mana kuil-kuil megah di kota itu bermunculan untuk menghormati para dewa, termasuk Dionisos, pelindung anggur, teater, dan kegembiraan.

Masyarakat Yunani sudah lama memiliki tradisi memuja Dionisos dengan dithyramb, pertunjukan paduan suara yang menceritakan kembali kisah-kisah mitologis. Ini diyakini sebagai salah satu prototipe paling awal untuk teater musikal modern.

Foto: Teater DIonysus di akropolis kota Athena oleh Jc Benato dari Shutterstock

Ini kemudian berkembang menjadi seni pertunjukan yang mencakup musik dan tari yang ditampilkan di amfiteater terbuka, menghadirkan genre utamanya: tragedi, komedi, dan satir. Belakangan, teater Romawi mulai memasukkan musik dan tarian ke dalam pertunjukan seni mereka. Sekitar masa yang sama, pertunjukan teater boneka yang menggabungkan unsur-unsur serupa juga mulai muncul di Cina.

Pada abad pertengahan, gereja-gereja di Eropa mulai mengadopsi teater musikal dalam pelayanan mereka, begitu pula badut dalam pertunjukan mereka. Opera baru meraih kepopuleran pada tahun 1700-an, terutama di Inggris, Perancis, dan Jerman. Hingga sekarang, negara-negara tersebut masih memiliki reputasi tinggi dalam industri teater musikal, meskipun istilah “teater musikal” sangat identik dengan Broadway Amerika.

Kapan musikal mulai di Indonesia?

Di Indonesia, sebagai bentuk pertunjukan teater, teater musikal masih dalam masa pertumbuhan dalam hal perkembangan di kancah lokal. Pakar teater Indonesia mencatat bahwa teater musikal baru muncul dan mulai bangkit dalam satu dekade terakhir.

Namun, pertunjukan seni yang bertumpu pada empat pilar teater musikal telah hadir di Indonesia sejak tahun 1970-an. Sonny mengatakan kepada TFR bahwa media yang memperkenalkan konsep tersebut adalah Aktuil, majalah musik asal Bandung yang dipimpin oleh Remy Sylado, seorang penulis sekaligus penulis naskah drama senior.

“Pada tahun 1960-an, Remy Sylado membuat produksi berjudul ‘Orexas’,” kata Sonny. “Dia menulis naskahnya sendiri dan mengadakan pertunjukan di Bandung,” jelasnya. “Orexas” adalah album musikal yang memasukkan musikalisasi puisi-puisinya sebagai bagian dari gerakan puisi Mbeling-nya: sebuah gerakan sastra yang digagasnya dengan harapan dapat membuat puisi lebih mudah diakses dan inklusif dalam pembuatannya.

Penyanyi Harry Roesli melanjutkan dengan “Ken Arok: Rock Opera”, sebuah album rock musikal yang dibawakan pada tahun 1977. Didi Petet mengambil bagian dalam produksi ini. Ini adalah era ketika operet, bentuk opera ringan, serta grup vokal dengan elemen lokal mulai muncul dan meraih popularitas di kalangan siswa sekolah menengah Indonesia. Pertunjukan semacam ini mulai hadir dalam acara-acara peringatan sekolah.

Foto: Album Ken Arok dari Harry Roesli

Setelah Guruh Soekarnoputra menyelesaikan studinya di Belanda dan kembali ke Indonesia, pada tahun 1978 ia membuat produksi mirip kabaret yang menurut Sonny sebanding dengan Takarazuka Revue asal Jepang atau Lido milik Perancis. Guruh membuat produksi tersebut dengan rombongan yang dia bentuk, Swara Mahardika. Dalam pertunjukan kabaret yang diproduserinya, ia menjadikan beberapa lagu pendek, seperti “Ali Topan Anak Jalanan”, sebagai adegan.

Pada awal tahun 2000-an, Tumakaka bersaudara lulus dari Kolese Kanisius, sebuah sekolah dengan kelas musik yang sangat bagus, da mendapatkan beasiswa ke Juilliard. Di sana, mereka juga berhasil membuat sebuah lagu Broadway. “Ketika mereka kembali, mereka membuat Tim Jakarta Broadway,” kenang Sonny, “Mereka membuat 2-3 pertunjukan Broadway, lalu bubar sampai sekarang.”

Pada 2010, Joko Anwar menyutradarai teater musikal “ONROP!”, sebuah komedi satir tentang kekuatan cinta. Pada tahun yang sama, Mira Lesmana memproduseri “Laskar Pelangi: Drama Musikal”. Tujuh tahun kemudian, film musik kecintaan anak-anak Indonesia, “Petualangan Sherina” hadir kembali dalam bentuk teater musikal oleh Gerakan Inspirasi Jakarta atau Jakarta Movin, sekelompok anak muda yang tertarik untuk belajar memproduksi sebuah lakon.

Perkembangan terkini

Judul-judul di atas akhirnya menjadi beberapa pertunjukan teater musikal paling populer dan sukses dalam beberapa tahun terakhir. Sekilas, ini tampak hampir seperti kebangkitan musikal di Indonesia. Namun, betapapun suksesnya nama dan pertunjukan itu, kenyataannya sangat jauh berbeda. Teater musikal masih perlu membangun pasarnya bahkan pada saat ini, mengingat sebagian besar produksi musik teater di Indonesia gagal tidak hanya untuk menghasilkan keuntungan, tetapi bahkan untuk mencapai titik impas.

Ratna Riantiarno, seorang aktivis, aktor, dan pendiri Teater Koma, setuju dengan gagasan ini. Ia menjelaskan, meski ada sejumlah produksi teater musikal yang sukses, biasanya mereka tidak memiliki kru yang konsisten, melainkan melalui audisi. Meski “ONROP!” dan “Laskar Pelangi: Drama Musikal” sukses, orang-orang yang menghasilkan karya-karya tersebut tidak bisa bersatu karena mereka semua memiliki pekerjaan harian untuk menunjang kehidupan mereka.

“Dari segi penonton, (teater musikal) belum memiliki penonton yang pasti, orang-orang di belakang produksi juga datang dan pergi,” jelasnya. “Jadi, saya belum bisa menganggap teater musikal sebagai industri yang konsisten.” Ia menambahkan bahwa orang tua Indonesia sejak dulu sampai sekarang masih akan melarang anak-anaknya bekerja di teater karena “tidak ada uang di situ”.

Kenrick membuat daftar kriteria lingkungan di mana teater dapat berkembang:

  • Populasi yang besar dan cukup makmur untuk mendukung budaya teater yang aktif.

  • Sebuah komunitas artistik yang berkembang yang memelihara generasi bakat kreatif dan pertunjukan turun-temurun.

  • Rasa optimisme bersama terhadap komunitas dan masa depannya.

  • Kebebasan dari sensor pemerintah yang luas dan/atau penindasan politik.

Meninjau kriteria tersebut dan melihat kenyataan dalam kancah teater Indonesia, terlihat jelas mengapa teater musikal Indonesia sangat lambat berkembang dan bangkit. Dalam dinamika sosial lokal, apresiasi terhadap karya seni masih dianggap sebagai keistimewaan dan aksesnya dianggap sebagai kemewahan. Oleh karena itu, masih panjang dan menantang jalan yang harus dilalui seniman dan komunitas seni Indonesia untuk membuka jalan bagi teater musikal untuk berkembang di nusantara.

Foto: Musikal NURBAYA oleh Indonesia Kaya

Broadway: Mekah musikal

Kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia masih kurang mengapresiasi dan mengakui seni pertunjukan, yang kemudian berujung pada situasi saat ini, meskipun negara ini memiliki bakat yang lebih dari cukup. Inilah yang memotivasi Indonesia Kaya untuk memprakarsai dan mulai menggunakan jaringannya untuk mendidik dan memperkenalkan seni pertunjukan kepada khalayak yang lebih luas.

Billy Gamaliel membenarkan anggapan ini dan menambahkan bahwa Indonesia Kaya menemukan kesenjangan antara orang-orang di balik seni pertunjukan dan generasi muda saat ini. “Kami melihat bahwa bentuk teater yang paling diminati oleh generasi muda adalah teater musikal, dan jika kita berbicara tentang teater musikal, tentu kita akan merujuk ke Broadway, Mekahnya teater musikal,” ujarnya.

Oleh karena itu, Indonesia Kaya menciptakan program Indonesia Menuju Broadway (IMB) tidak hanya untuk memperkenalkan teater musikal berstandar global, tetapi juga untuk mendorong generasi muda untuk menyalurkan minatnya serta mengedukasi khalayak yang lebih luas tentang musikal. Melalui program ini, Indonesia Kaya ingin membuat teater musikal tingkat Broadway lebih mudah dijangkau dan mendapat perhatian dan penghargaan yang lebih besar.

Billy menambahkan bahwa fokus IMB bukan untuk membawa musikal Broadway ke Indonesia, tetapi untuk memperkenalkan standar yang akan diterapkan di kancah teater musikal lokal. “Tujuannya untuk mendongkrak pentas teater musikal kita sendiri agar sejajar dengan pertunjukan teater berskala internasional,” pungkasnya.


Artikel terkait


Berita