Bagaimana penyintas kekerasan seksual mendapatkan ruang aman?

Ditulis oleh Maria Ermilinda Hayon and Tentry Yudvi | Read in English

Saat DPR mengesahkan Undang-Undang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 12 April lalu, semua perempuan bergembira. Setelah 10 tahun, Indonesia akhirnya punya undang-undang yang adil untuk korban kekerasan seksual. 

Isu kekerasan seksual memang sudah menjadi topik yang mendarah daging sejak zaman penjajahan. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual serta dianggap tidak berdaya dan kemampuannya sering direndahkan membuat banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Jumlah korban kekerasan seksual pun semakin banyak setiap tahun. Ini juga selaras dengan data yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beberapa waktu lalu.

Kasus kekerasan seksual pada perempuan meningkat dari setidaknya 8.864 kasus kpada 2019 menjadi 10.368 kasus pada 2021.

Tak hanya perempuan, anak pun banyak yang menjadi korban predator seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat jumlah anak korban kekerasan seksual meningkat 25,07% dari 6.454 pada 2019 menjadi 8.730 pada 2021.

UU TPKS bisa mengadili para pelaku, tetapi belum tentu menjamin adanya ruang aman untuk korban kekerasan seksual. Sebabnya, pengetahuan dasar mengenai penanganan kekerasan seksual di masyarakat belum terinformasikan dengan baik.

Sering kali korban justru tidak mendapatkan ruang aman, seperti sering dicemooh, dipojokkan, ataupun dirundung atas peristiwa yang menimpanya.

Oleh sebab itu, sudah saatnya kita semua turut bertanggung jawab menyediakan ruang aman untuk penyintas kekerasan seksual. Sudah saatnya pula penyintas kekerasan seksual mencari bantuan yang tepat agar kasusnya terselesaikan dengan baik.

Bagaimana caranya? Berikut rangkuman penanganan kekerasan seksual yang bisa membantu penyintas dalam mendapatkan dan menyediakan ruang aman yang tepat. 

Penanganan untuk Korban Kekerasan Seksual

Tidak ada seorang pun yang berharap menjadi korban kekerasan seksual. Mengalaminya adalah sebuah musibah yang bisa menimbulkan trauma psikologis. Tak hanya luka fisik, kekerasan seksual juga sangat mungkin menimbulkan luka batin.

Mirisnya, kasus kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Banyaknya berita kekerasan seksual yang kita dengar lewat media massa atau media sosial mungkin belum seberapa. Umumnya kekerasan seksual rentan dialami oleh perempuan dan anak.

Kekerasan seksual seringkali tidak diduga oleh korban. Akibatnya, tak sedikit korban yang menjadi terpaku dalam peristiwa traumatis itu hingga tidak bisa memberikan respon perlawanan.

Tentu kita tidak bisa menyalahkan korban jika ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tidak juga menangis. Siapa yang siap dengan kejadian seperti itu?

1. Amankan barang bukti

Tidak mudah memang berpikir dan bertindak secara ideal saat mengalami peristiwa traumatis. Namun, ketika kita menjadi korban, saat sudah mulai bisa sedikit memproses kejadian, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengamankan barang bukti.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, bukti-bukti yang dikumpulkan bisa berupa pakaian atau aksesori yang ada pada tubuh ketika mengalami kekerasan seksual, kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik.

“Jika kekerasan seksual yang dialami seperti pemerkosaan, usahakan untuk tidak mandi atau membasuh organ kelamin, karena sperma, air ludah, rambut, kuku, atau jaringan kulit yang tertinggal bisa difoto. Kalaupun belum memutuskan untuk melaporkan, korban bisa terlebih dahulu meminta untuk dilakukan visum dan dicatat rekam medisnya,” ujar perempuan yang akrab disapa Ami itu.

Jika kekerasan seksual yang dialami berbentuk lain, seperti kekerasan siber, lakukan pengamanan barang bukti dengan menyimpan tangkapan layar, menyalin URL, melaporkan ke komunitas aplikasi tempat kekerasan terjadi, serta menghentikan komunikasi dengan pelaku.

2. Cari dukungan orang terdekat

Dalam konteks psikologi, korban harus benar-benar “memiliki energi” untuk berani bercerita. Hal ini bisa ditunjang dengan pemahaman bahwa kejadian yang dialami bukanlah salah korban.

“Dengan menyadari hal itu terlebih dulu dan menjadikannya terinternalisasi, maka korban akan memiliki kekuatan bahwa ini bukan salah dirinya, tapi salah pelaku. Sehingga kemudian korban jadi lebih kuat,” ujar Ami.

Korban bisa mencari dukungan dari orang terdekat yang ia percaya dan dirasa nyaman untuk bercerita, seperti orangtua atau sahabat karib. Setidaknya korban memiliki teman dan perlindungan yang memberi penguatan.

3. Wajib cari lembaga layanan

Banyak lembaga yang bisa dimintai pertolongan oleh korban.

Ada Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) daerah, maupun Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Sayangnya, beberapa korban tidak mengetahui jika di daerahnya ada lembaga layanan. Mereka bisa melakukan pengaduan ke Komnas Perempuan untuk kemudian diarahkan.

“Sesuai dengan mandat Komnas Perempuan, kami menerima pengaduan, lalu kami akan membantu korban untuk mencarikan lembaga rujukan yang sesuai dengan kebutuhan korban dan juga dekat dengan domisili korban,” ujar Dara, salah satu petugas UPR. 

UPR menerima pengaduan secara digital dengan mengunduh formulir pengaduan di laman komnasperempuan.go.id, melalui telepon di 021-3903963, email ke pengaduan@komnasperempuan.go.id, media sosial, atau datang langsung ke kantor Komnas Perempuan.

“Setelah pengaduan masuk, kami akan menghubungi korban dan menanyakan kronologis kejadian serta apa saja kebutuhan korban. Dan pastinya kami akan meminta data-data informasi diri yang detail dari korban untuk kemudian memberikan rujukan. Kami biasanya merujuk korban jika korban butuh pendampingan hukum, mediasi, konseling psikologis, rumah aman, atau konsultasi digital security,” tambah Dara.

Pengaduan kasus kekerasan seksual ke Komnas Perempuan tidak dipungut biaya. Akan tetapi, saat kasus dirujuk ke lembaga mitra Komnas Perempuan, ada kebijakan dari masing-masing lembaga soal pengenaan biaya. Bagaimana dengan bantuan biaya visum?

“Dalam konteks visum, pola pembiayaannya masih parsial. Ada yang masuk ke kepolisian, ada yang masuk rumah sakit, ada yang bisa diakses KPPA melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan P2TP2A. Tapi, ada juga sejumlah daerah yang mengalokasikan bahwa visum bisa di-reimburse. Visum yang sudah diganti oleh APBD itu misalnya di DKI Jakarta, karena semua Puskesmas sudah bisa memberikan bantuan,” sambung Ami.

Jika korban menemui hambatan setelah proses rujukan, akan ada pemantauan dan penyikapan dari Komnas Perempuan. Bentuknya dengan memberikan surat rekomendasi, pendampingan ahli, memberikan keterangan tertulis ke sistem peradilan pidana, atau melakukan rapat koordinasi lintas lembaga jika kasus kekerasan seksual sangat kompleks.

“Pemantauannya beragam tergantung hambatannya di mana. Jadi, kadang untuk satu kasus itu bisa 2 sampai 3 tahun pantauan terus untuk kasus-kasus yang kompleks. Kalau misalnya korban di rujukan pertama tidak nyaman atau merasa tidak terbantu, bisa kembali ke Komnas dan akan kita carikan lembaga rujukan lain,” jelas Ami.

Pemulihan korban kekerasan seksual

Melewati kejadian traumatis dan meminta pertolongan melalui lembaga layanan pastinya bertujuan untuk mendapat keadilan dan memulihkan diri. Bicara tentang pemulihan bagi korban kekerasan seksual, sudah tentu perlu mencari bantuan profesional dari psikolog, psikiater, atau konselor. 

Lamanya proses pemulihan bisa berbeda-beda pada setiap korban. Menurut Direktur Yayasan Pulih Yosephine Dian Indraswari, proses pemulihan tergantung pada penghayatan korban satu dan yang lainnya terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dialami. 

Meski mengalami peristiwa yang sama, kerentanan yang dimiliki setiap korban berbeda, sehingga resiliensinya pun berbeda. Oleh karena itu, tidak bisa dipastikan rentang waktu pemulihan korban kekerasan seksual.

“Jadi tergantung dari kondisi penyintas. Meski saya melihat jika penyintas sudah punya dukungan sejak awal itu kerusakannya tidak separah jika dia buntu saat mencari bantuan. Kita bisa melihat pada kasusnya Novia Widyasari yang akhirnya mengakhiri hidupnya karena dia sudah berusaha mencari bantuan tapi buntu. Beberapa korban kekerasan seksual yang saya dampingi ketika dia mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya itu kemungkinan dia untuk bisa resiliensi itu bisa lebih cepat,” ungkap Dian.

Meski demikian, pemulihan tidak berarti 100% kembali pada kondisi normal. Ibaratnya, seperti luka pada tangan meninggalkan bekas, begitu pula luka psikologis.

Korban juga bisa terpantik kembali oleh hal-hal yang mengingatkan mereka pada pengalaman traumatis yang mereka alami. Jika hal itu terjadi, korban bisa kembali mendapat perawatan profesional dari psikolog, psikiater, atau konselor.

Langkah-langkah pemulihan pun berbeda-beda pada setiap korban. Menurut Dian, ada beberapa pendekatan atau teknik konseling dan akan dipakai berbeda-beda tergantung dari kasus dan psikolog-nya.

Namun kembali lagi, yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya mencari dukungan dari orang terdekat agar dampak dari kekerasan seksual bisa diminimalkan, sehingga korban bisa pulih lebih cepat. 

Jika kita menjadi orang terdekat korban kekerasan seksual, bagaimana kita bisa memberikan dukungan padanya?

Memberikan Ruang Aman untuk Korban

Lagi dan lagi, pemulihan untuk korban kekerasan seksual bukan semata tugas pemerintah, lembaga, ataupun psikolog. Kita sebagai keluarga, teman, rekan kerja, ataupun pasangan juga perlu memberikan ruang aman untuk mereka.

Adanya support system akan membantu menguatkan kondisi psikologis korban dan membuat mereka merasa aman untuk bercerita. Akan tetapi, memberikan ruang aman bukanlah pekerjaan mudah bagi kita yang bukan tenaga profesional, bukan?

Namun, ini semua bisa dilakukan. Menurut Dian, langkah pertama untuk memberikan ruang aman adalah kepercayaan. Ya, pertama-tama, kita perlu memberikan kepercayaan terhadap korban meskipun tak bisa dimungkiri bahwa ada rasa ragu.

Penting untuk memberikan kepercayaan terlebih dahulu terhadap korban tanpa menghakimi. Dengan begitu, kita bisa mendukung mereka untuk melaporkan kejadian yang  mereka alami. “Korban perlu merasa kalau dirinya dipercaya. Karena, sering kali justru banyak yang menyalahkan korban. Atau sering kali kita kepo dengan peristiwanya, tapi itu lebih baik disimpan dulu. Biarlah korban bercerita. Perlu untuk menguatkan apa yang dia sampaikan,” ujarnya.

Tak hanya itu, menurut Dian, kita juga perlu memerhatikan kalimat yang akan disampaikan kepada korban. Hindari kalimat-kalimat menjatuhkan dan menyalahkan korban. Sebab, kekerasan seksual bukan salah korban, melainkan pelaku.

Kalimat-kalimat yang lebih baik dihindari di antaranya:

  • Pakaianmu sih, terlalu seksi ….

  • Apakah itu benar terjadi?

  • Ah, cuma perasan kamu saja kali dia begitu ….

  • Sudahlah, ini kan sudah terjadi, yang lalu biarlah berlalu ….

  • Ini coba Tuhan, jadi harus bisa bersabar ….

  • Sabar, ya ….

  • Mungkin ini karma ….

  • Kenapa sih, kamu ke situ sendirian nggak ngajak aku ….

Kalimat-kalimat di atas memang sering diterima korban kekerasan seksual. Inilah yang justru akan memperburuk kondisi psikologis korban. Menurut Dian, korban kekerasan seksual sudah otomatis dalam bawah sadarnya pasti menyalahkan dirinya sendiri. Tak perlu lagi disalah-salahkan oleh lingkungan.

“Jadi, penting untuk percaya dan mendengarkan cerita korban ini. Mereka itu pasti merasa bersalah dan menyalahkan dirinya. Kalau terus dipojokkan, ya, itu akan berat untuk korban. Daripada mengeluarkan kalimat seperti itu, lebih baik ‘saya mengerti, ini pasti tidak mudah untuk kamu lalui, ya,’” jelas Dian.

Kita juga perlu mengungkapkan dukungan terhadap korban. Misalnya, dengan berucap, “Iya, aku dukung kamu untuk melewati ini. Aku percaya dengan kamu sepenuhnya”. Kalimat sederhana itu saja sudah cukup membuat korban merasa didukung dan dipercaya.

Apa yang terjadi bila kita tidak bisa memberikan ruang aman itu?

Tentunya, ini akan berdampak negatif ke kondisi psikologis korban. Sebab, menurut Dian, korban bisa saja mengalami depresi berat sehingga berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya. Ini terjadi pada kasus Novia Widyasari yang ditemukan bunuh diri di dekat makam ayahnya di Mojekerto, Jawa Tengah, pada Desember 2021.

“Ada juga yang sampai menjedot-jedotkan kepala ketika mengalami peristiwa tersebut. Dia bilang, ‘saya tahu saya salah, kok, mau saja saya digitukan’. Itu kan sangat traumatis ya. Belum lagi, tidak secara langsung korban itu bisa memaknai apa yang menimpa dirinya. Pasti ada rasa penyesalan, rasa jijik dengan diri sendiri,” jelasnya.

“Kalau korban kekerasan seksual tidak mendapatkan dukungan itu, dia bisa jadi juga menyakiti dirinya sendiri. Atau, ada juga korban-korban yang melampiaskan ke luar dengan orang lain dan menimbulkan sikap agresif. Namun, setiap kondisi ini tentunya bergantung dengan pengalaman korban dalam hidupnya. Sekali lagi, itu tidak bisa disamaratakan. Bergantung dengan situasi serta kondisi penyintas kekerasan seksual itu sendiri,” ujar Dian.

Oleh sebab itu, penting sekali untuk kita memberikan ruang aman untuk korban kekerasan seksual. Begitu sulit untuk mereka memperjuangkan kemerdekaan tubuhnya kembali.


Artikel terkait


Berita terkini