Perdebatan jenama Indonesia di Paris: apakah boleh menggunakan istilah "Paris Fashion Week"?

Read in English

Paris Fashion Week (PFW) memberi peluang besar bagi para pelaku usaha di dunia fesyen. Berbagai ide kreatif dipertunjukkan dengan harapan memperluas jangkauan pasar mereka. Salah satunya adalah dengan mengadakan pergelaran di saat ajang PFW berlangsung. Tentunya tidak ada yang salah dengan usaha untuk mengembangkan bisnis.

Di awal bulan Maret, jenama Indonesia yang mengklaim menjadi bagian dari PFW menuai kritik setelah ditegur oleh figur publik dan perancang busana. Klaim para jenama dinyatakan sebagai pembohongan publik karena para jenama tersebut tidak terasosiasi dengan PFW.

Beberapa jenama dan fasilitator kemudian mengeluarkan klarifikasi bahwa mereka mengadakan pergelaran di saat PFW berlangsung. Dalam kasus Gekrafs, tema yang diusung adalah “Gekrafs Paris Fashion Show at Paris Fashion Week”. Gekrafs juga memberitahu TFR bahwa mereka diperbolehkan menggunakan PFW selama mencantumkan mereka mengikuti acara “off schedule”.

Istilah off schedule yang digunakan artinya pergelaran yang tidak terafiliasi atau bermitra dengan PFW. Pertanyaannya, apakah pihak yang tidak terafiliasi dengan Paris Fashion Week boleh menggunakan istilah Paris Fashion Week?

Ketika kita membuka laman fhcm.paris, kita akan menemukan simbol ® setelah kata Paris Fashion Week. Simbol itu merupakan singkatan dari kata "registered", yang artinya merek tersebut telah secara resmi terdaftar pada lembaga yang berwenang.

Merek Paris Fashion Week terdaftar di Kantor Paten dan Merek Dagang Amerika Serikat sebagai merek internasional pada kelas 16 untuk Paper Products, 35 untuk Advertising and Business Management, dan 41 untuk Education and Entertainment Services.

Foto: Logo Paris Fashion Week

Apa artinya memiliki sebuah merek yang telah terdaftar?

Memiliki merek yang terdaftar berarti pemegang merek memiliki hak eksklusif dan kontrol penuh terhadap mereknya untuk menggunakan merek tersebut dan memberi izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak ini juga mencegah merek tersebut dari kemungkinan adanya pihak lain yang ingin menggunakan merek yang menyerupai atau sama dengan merek miliknya untuk barang dan jasa sejenis karena dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya kebingungan pada masyarakat.

Bolehkah kita menggunakan merek terdaftar milik orang lain?

UU Merek dan Indikasi Geografis No.20/2016 melarang setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang memiliki persamaan secara keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek terdaftar untuk barang dan jasa sejenis yang diperdagangkan (Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2)). Sejenis di sini berarti berada dalam kelas yang sama. UU MIG mengakui 45 kelas. Pelanggaran akan hal ini dapat menimbulkan sanksi pidana maupun perdata.

UU MIG dibentuk berdasarkan kesepakatan TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang mengatur regulasi hak kekayaan intelektual (HKI) bagi negara-negara anggota WTO, sehingga ketentuan HKI yang berlaku di Indonesia kemungkinan besar memiliki persamaan dengan negara-negara anggota WTO lainnya.

UU MIG bahkan memberikan proteksi lebih bagi merek terkenal, yakni tidak memperbolehkan pihak lain menggunakan merek yang menyerupai/sama untuk barang dan jasa yang tidak sejenis dengan syarat tertentu.

Simbol lain

Selain simbol ®, terdapat beberapa simbol lain yang juga sering digunakan dalam rumpun hak kekayaan intelektual.

© : simbol © merupakan lambang dari “copyright” atau yang biasa kita kenal dengan hak cipta. Simbol ini digunakan untuk mengidentifikasi bahwa sebuah produk barang atau jasa telah mendaftarkan hak ciptanya kepada lembaga yang berwenang. Jenis hak cipta yang dimaksudkan bermacam-macam, termasuk gambar, foto, dan lukisan.

™: simbol ™ merupakan singkatan dari “trademark” atau merek dagang. Penggunaan simbol ™ ditujukan bagi merek-merek yang belum melakukan pendaftaran pada pihak yang berwenang, tetapi ingin menunjukkan eksistensi merek tersebut kepada publik. Sama seperti merek terdaftar, simbol ™ juga mempertunjukkan nama, gambar, simbol, atau aspek lainnya, seperti jingle yang digunakan suatu merek.

Merek dan bentuk-bentuk pelanggaran yang mengintai

Pelanggaran merek diartikan sebagai perbuatan dengan tanpa hak menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan milik pihak lain untuk barang sejenis.

Bentuk pelanggaran merek terus berkembang hingga saat ini, namun dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yakni pembajakan merek, peniruan merek, dan peniruan label dan kemasan dari suatu produk.

Terlepas dari jenis pelanggarannya, penggunaan merek terdaftar milik seseorang tanpa izin berpotensi menimbulkan gugatan hak atas merek, seperti dalam kasus Hermès vs Mason Rothschild. Hermès menuntut artis digitaltersebut atas dugaan pelanggaran hak atas merek karena menggunakan kata Birkin pada merek dagang MetaBirkin (milik Mason) yang merupakan bagian dari merek dagang milik Hermès.

Foto: MetaBirkin

Contoh kasus lain yang terjadi antara D2 Holdings dengan MRC 11 Distribution Company, pihak di balik serial Netflix “House of Cards”. D2 Holdings selaku pemilik merek “House of Cards” sejak tahun 2009 mengajukan gugatan atas penggunaan mereknya tersebut.

Sebelumnya, MRC telah mengajukan permohonan merek pada kantor paten dan merek US, namun terus mendapat penolakan akibat adanya merek yang sama yang telah terdaftar sebelumnya. Pengacara D2 Holdings, William C. Saturley, yang dikutip dalam CionCaip menjelaskan adanya dugaan bahwa MRC telah menjual merek tersebut kepada pihak lain tanpa izin. Atas dasar tersebutlah gugatan ini diajukan.

Di Indonesia, berbagai kasus pelanggaran merek telah terjadi, mulai dari sengketa kata “strong” antara dua perusahaan pasta gigi terbesar di Indonesia dan penggunaan tanpa izin merek Tugu Selamat Datang oleh pengelola malGrand Indonesia hingga sengketa merek dagang Geprek Bensu.

Foto: Geprek Bensu (kiri) and I Am Geprek Bensu (kanan). Berkolaborasi dengan Yanti Adeni, Geprek Bensu klaim menjadi bagian dari Paris Fashion Week

Sengketa Geprek Bensu terjadi antara Ruben Onsu selaku pemilik merek Geprek Bensu melawan merek I Am Geprek Bensu milik tiga sekawan Yangcent, Kurniawan, dan Stefani Livinus. Gugatan ini bermula ketika Ruben menggugat PT Ayam Geprek Benny Sujono dengan alasan sebagai pendaftar pertama dan pemilik dari bisnis Geprek Bensu. Setelah melalui proses panjang, pengadilan akhirnya menolak kasasi Ruben dan menetapkan PT Ayam Geprek milik tiga sekawan tersebut sebagai pendaftar pertama dan pemilik sah dari merek I Am Geprek Bensu.

Contoh kasus di atas mengajarkan kita untuk tidak menggunakan merek dagang atau jasa terdaftar milik pihak lain untuk tujuan ekonomis karena berpotensi menimbulkan sengketa merek, apalagi jika merek tersebut merupakan merek terkenal.

Larangan penggunaan merek di sini termasuk juga larangan untuk tidak menggunakan nama tanpa mengikutsertakan logo, seperti menggunakan kata Paris Fashion Week atau PFW tanpa logo yang sedang ramai diperbincangkan. Ini karena nama dan logo sama-sama menjadi bagian yang membangun sebuah merek yang menjadi penanda unik milik seseorang atau badan usaha tertentu. Prinsipnya, dilarang melakukan perbuatan yang dapat mengganggu citra merek tersebut.


Artikel terkait


Berita