Metaverse, merek, dan perdebatan di dalamnya

Read in English

Perhatian publik saat ini secara dominan tertuju pada metaverse, sebuah platform yang cukup sulit untuk diberikan penjelasan harfiahnya. Mark Zuckerberg mengartikan metaverse sebagai dunia virtual di mana masyarakat dapat bersosialisasi, bekerja, dan bermain. Ia percaya bahwa metaverse akan menjadi masa depan dari teknologi yang ada saat ini.

Sebenarnya, citra metaverse dapat kita lihat dalam berbagai game daring yang menggunakan realitas berimbuh di mana para pemain berinteraksi menggunakan avatar atau karakter tertentu. Di sini, persona daring memegang peranan penting, sehingga sudah menjadi hal lumrah bagi para pemain untuk membeli pakaian atau aksesoris lainnya untuk menunjang penampilan mereka. Kira-kira seperti itulah gambaran metaverse ke depannya.

Saat ini, perkembangan metaverse baru menyentuh dunia fesyen digital, di mana para penggunanya akan berburu barang berupa pakaian, topi, aksesoris, dan lain-lain untuk mendandani avatar mereka. Berbagai merek ternama sudah terjun ke dalam dunia virtual ini, salah satunya Gucci yang pada Juni lalu meluncurkan koleksi terbatas taman virtual di Roblox.

Tidak tanggung-tanggung, tas Gucci Dionysus dijual seharga 350,000 robux (mata uang Roblox) atau dalam dunia nyata setara dengan $4.115. Beberapa merek lainnya, seperti Nike, juga sudah memasarkan produk mereka di metaverse.

Metaverse dinilai mampu mendatangkan keuntungan besar-besaran bagi para perusahaan yang berpartisipasi di dalamnya, namun hal ini tampaknya tidak sepenuhnya berlaku untuk Hermès, produsen barang mewah asal Perancis. Ini menjadi sebuah masalah baru dalam dunia metaverse, karena tidak jarang sebuah produk dipasarkan bukan oleh si empunya merek. 

Artis digital asal Los Angeles, Mason Rothschild, membuat 100 desain tas yang menyerupai produk Hermès yang terkenal, Birkin Bag, dan memasarkannya dengan nama MetaBirkin. Mason berhasil memperoleh keuntungan sebesar 8 ETH atau sekitar $450.000.

Image: Metabirkins

Foto: Metabirkins

Perbuatan Mason dinilai Hermès sebagai tindakan yang mencoreng merek dagang Birkin karena untuk memasarkan produknya, ia hanya menambahkan awalan kata Meta yang pada dasarnya merujuk pada dunia virtual metaverse pada merek dagang Birkin yang terkenal. Hermès kemudian mengajukan gugatan terhadap Mason di Pengadilan Federal kota New York atas tuduhan pelanggaran hak atas merek, dilusi merek, dan cybersquatting

Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini mampu menanggulangi kasus pelanggaran merek yang terjadi di metaverse?

Perlindungan hak atas merek dalam metaverse 

Agung Sujatmiko dalam jurnalnya yang berjudul “Aspek Yuridis Lisensi Merek dan Persaingan Usaha” menyebutkan bahwa pemilik merek memiliki hak yang bersifat eksklusif dan memonopoli, yang berarti hanya pemilik merek yang dapat menggunakan hak tersebut dan memberi izin kepada pihak lain yang ingin menggunakannya. Hal ini ditujukan untuk melindungi pemilik merek dari bentuk-bentuk persaingan usaha yang tidak sehat. 

Pelanggaran merek dapat terjadi jika seseorang dalam memasarkan produknya menggunakan merek terdaftar milik orang lain yang memiliki kesamaan dengan merek tersebut untuk barang yang sejenis. Ketentuan ini berlaku juga dalam metaverse karena dapat mendatangkan kebingungan bagi konsumen tentang apakah barang tersebut telah dilisensi atau dijual oleh pemilik aslinya. 

Namun, untuk menjawab pertanyaan apakah ketentuan-ketentuan terkait merek saat ini dapat menjangkau dunia Metaverse, diperlukan diskusi lebih lanjut. Pasalnya, jika dilakukan penafsiran berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini, untuk sementara dapat kita simpulkan bahwa jawabannya adalah “ya”.

Namun, diperlukan penjelasan lebih jauh apakah penggunaan merek dagang pada produk virtual sama dengan penggunaan merek dagang pada barang nyata yang dilindungi oleh UU Merek, seperti yang dituliskan dalam Lexology. Gugatan yang dilakukan Hermès menjadi pionir yang akan memberikan pandangan baru akan hal ini.

Meskipun begitu, hukum Indonesia memberikan perlindungan terhadap merek terkenal yang dirugikan akibat tindakan pendomplengan merek (memanfaatkan reputasi merek terkenal dengan membuat merek baru yang menyerupai merek terkenal tersebut).

Pasal 83 UU Merek No.20/2016 mengizinkan pemilik merek terkenal untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan merek tersebut. Hal ini berlaku juga di negara-negara sistem common law, di mana merek terkenal dapat, dengan penetapan hakim, untuk (1) meminta penghentian perbuatan tergugat dan/atau ganti rugi materiil, dan (2) ganti rugi immateriil akibat kerugian reputasinya.

Selanjutnya, poin menarik yang perlu diperhatikan untuk melakukan upaya penegakan hukum pada dunia virtual metaverse adalah terkait teritorial dan pihak mana yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Ronaldi Reisman, co-founder RSPS, menjelaskan kepada TFR bahwa, “Hukum secara umum bersifat teritorial yang artinya hukum negara Indonesia hanya dapat berlaku di Indonesia. Upaya hukum berdasarkan hukum Indonesia pun hanya dapat diterapkan di Indonesia.”

Selain cakupan hukum yang mampu menjangkau metaverse, hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah siapa yang akan akan digugat, “Hal ini cukup sulit karena terjadi di metaverse,” jelas Ronaldi. 

Lebih lanjut, Rolandi menjelaskan, “Dalam hal terjadi tindak pidana digital, hal yang dapat dilakukan adalah untuk meminta pertanggungjawaban pada server/host/operatornya.” Akan tetapi, agar dapat dimintai pertanggungjawaban, perlu diketahui apakah entitas tersebut terdaftar di Indonesia atau tidak.

“Jika terjadi pelanggaran dalam metaverse, maka marketplace yang memasarkan produk tersebut yang dapat dimintai pertanggungjawaban,” tuturnya. 

Dalam kasus ini, Ronaldi menjelaskan bahwa, “Terdapat dua pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertama, merchant atau pihak yang memasarkan produk itu sendiri ke dalam metaverse dan mengajukan gugatan ke negara tempat merchant tersebut terdaftar. Kedua adalah mengajukan upaya hukum terhadap operator marketplace yang memberikan akses atas pemasaran produk tersebut.”

Penjelasan tersebut sejalan dengan langkah yang dilakukan Hermès, yakni mengajukan gugatan terhadap Mason di pengadilan kota New York dengan alasan Mason memasarkan produknya kepada masyarakat di kota New York dan juga mengajukan permintaan penghapusan kekayaan intelektual kepada OpenSea agar konten Mason dihapus dari platform tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan

Pemilik merek yang akan terjun ke dalam dunia metaverse sebaiknya medaftarkan merek terlebih dulu, seperti yang dilakukan Nike yang mendaftarkan merek dagangnya ke kantor paten dan merek dagang Amerika Serikat.


Artikel terkait


Berita terkini