Merek, brand, dan membangun brand identity: Waspadai risiko hukum

Written by Angga Priancha and Olive Nabila | Read in English

Istilah merek dagang dan brand digunakan sebagai istilah yang dapat ditukar-tukar pada diskusi sehari-hari. Merek dagang mengacu pada tanda atau nama yang digunakan oleh penyedia layanan untuk mengidentifikasi produk atau layanan mereka. Meskipun dianggap serupa, kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula, baik secara hukum maupun konseptual.

Ketidakmampuan untuk membedakan arti dari kedua istilah tersebut dapat menyebabkan risiko bisnis, terutama dalam hal identitas dan pembangunan merek dagang. Namun, kesalahpahaman mengenai kedua konsep tersebut masih sering ditemukan di kalangan praktisi industri. Kesalahpahaman biasanya berasal dari persepsi yang berbeda dari mereka yang ada di bidang pemasaran dan periklanan dengan mereka yang berkecimpung di bidang hukum.

Istilah brand lebih dekat digunakan oleh para pemasar dalam memasarkan produknya. Sementara, istilah merek dagang lebih dekat dengan bidang hukum, khususnya dalam melindungi kekayaan intelektual. Meskipun penerapan kedua konsep tersebut akan saling melengkapi dalam menciptakan brand identity yang kuat dan kekayaan intelektual yang bernilai dalam bentuk merek dagang, kedua istilah tersebut tidak boleh dianggap sama.

Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang konsep merek dagang dan brand dengan tujuan untuk menjembatani pemahaman antara mereka yang memiliki pola pikir hukum dengan mereka yang memiliki pola pikir pemasaran dan pembangun identitas.

Pertama-tama, apa itu merek dagang?

Merek sering dikenal sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari rezim hak kekayaan intelektual. Merek dagang adalah rezim hukum yang memberikan kepemilikan atas kreasi intelektual manusia yang telah difiksasi ke dalam medium yang nyata.

Secara khusus, Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek dan IG) memberikan perlindungan hak merek kepada orang yang telah membuat merek. Hak merek memberikan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak merek. Hak eksklusif berarti pemegangnya diperbolehkan untuk mencegah pihak lain menggunakan merek yang sama di pasar alias Hak monopoli.

Jadi, apa itu merek? Jika kita melihat definisinya dari pasal 1(1) UU Merek dan IG Indonesia, merek adalah tanda yang mampu membedakan satu produk dengan produk lainnya. Tanda tersebut dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut.

Pada dasarnya, tanda adalah sesuatu yang dapat kita gunakan untuk membedakan dan mengidentifikasi satu produk atau lainnya. Sesuatu yang dapat mengakomodasi alasan awal mengapa kita memiliki UU Merek, yaitu efektivitas pasar.

Merek dimaksudkan agar konsumen dapat dengan mudah dan cepat membedakan asal sebuah produk, yang diyakini dapat mempercepat waktu transaksi. Semakin mudah konsumen mengidentifikasi suatu produk, semakin cepat mereka akan memutuskan apa yang mereka inginkan dan melakukan transaksi. Merek yang memiliki kehadiran yang kuat di pasar akan mempercepat konsumen untuk mengidentifikasi produk, yang merupakan sesuatu yang diinginkan oleh para konsultan hukum merek dan pemasar; produk dengan identitas yang kuat dan mudah dikenali di pasar.

Namun, merek memiliki cakupan yang sangat sempit dibandingkan dengan brand. Karena hak merek merupakan hak yang diberikan oleh negara dan memberi kuasa untuk memonopoli penggunaan merek terdaftar, merek harus didaftarkan dalam ruang lingkup yang terbatas dan ringkas. Ini karena ruang lingkup monopoli yang luas akan membawa dampak negatif bagi pasar.

Batasan merek ditetapkan ketika seseorang mendaftarkan merek ke otoritas kekayaan intelektual negara. Perancangan pendaftaran merek adalah proses yang rumit karena apa yang kita klaim dalam pendaftaran adalah apa yang kita dapatkan, apa adanya.

Misalnya, seseorang yang mengklaim merek dagangnya dalam logo hitam putih akan mendapatkan perlindungan sebagai klaimnya. Dia hanya akan mendapatkan perlindungan logonya dalam warna hitam putih, sedangkan pewarnaan lain dalam bentuk apa pun tidak akan dianggap dilindungi sebagai merek.

Kegagalan dalam menggunakan klaim akan berisiko melanggar hak merek orang lain yang dapat menyebabkan tuntutan hukum dan biaya hukum. Oleh karena itu, konsultan hukum merek harus merancang pendaftaran merek dengan cara yang menangkap semua kualitas tanda yang terdaftar, baik itu warna, bentuk, atau ejaan, dengan rinci.

Pembatasan yang diberlakukan pada hak merek ini dapat dilihat sebagai masalah dari sudut pandang pemasar, mengingat mereka menyukai kelenturan dalam membangun brand identity mereka. Jadi, apa itu brand? Apa bedanya dengan merek?

Menerapkan merek dagang ke dalam merek

Oxford Dictionary of Marketing mendefinisikan “brand” sebagai “Kombinasi atribut yang memberi perusahaan, organisasi, produk, konsep layanan, atau bahkan individu, identitas dan nilai khas yang relatif terhadap pesaingnya, pendukungnya, pemangku kepentingannya, dan pelanggannya.” Kombinasi atribut ini dapat berupa nama, logo, merek, dan citra merek yang relevan di mata dan pikiran yang melihatnya.

Definisi brand mengisyaratkan bahwa brand dan merek bekerja secara komplementer karena keduanya berusaha membuat perbedaan yang menguntungkan produk perusahaan dari pesaingnya. Meski begitu, merek memiliki cakupan yang lebih luas daripada merek karena mencakup semua aspek yang membangun identitas perusahaan, produk, atau layanan.

David Winarta, pendiri Okular Studio, mendefinisikan brand sebagai kesan, sekumpulan kesan mengenai produk dan jasa, seperti identitas visual, strategi komunikasi, pemasaran produk, hingga janji-janjinya.

Sebagai analogi, merek adalah nama sah seseorang yang tertera pada KTP atau akta kelahirannya. Ia akan dikenal secara resmi dengan nama yang tertera pada dokumen resminya sebagaimana adanya. Di sisi lain, brand adalah ciri-cirinya yang tidak tercantum dalam namanya yang menentukan identitasnya. brand bisa berupa nama panggilan yang berbeda, ciri perilaku, atau hal-hal lain yang dapat dilihat orang lain sebagai identitas uniknya.

Sama halnya dengan membangun sebuah brand, David menjelaskan bahwa ada proses yang mendalam dalam membangun sebuah brand identity. “Dalam proses membangun brand identity, terutama dalam memilih nama dan membentuk logo, kami selalu melakukan riset mendalam untuk lebih memahami logo-logo dan merek-merek yang ada.” Selain mempelajari perkembangan dalam menciptakan brand identity, David juga menyatakan bahwa, “Kami melakukan penelitian untuk menghindari menduplikasi brand lain.”

Hubungan antara brand dan konsumen dianggap oleh Oxford Dictionary of Marketing sebagai hubungan emosional alih-alih hubungan rasional. Interaksi dinamis antara brand dan pasar-lah yang kemudian berubah menjadi identitas merek.

Pengembangan brand membutuhkan waktu yang berbeda dari satu agensi ke agensi lainnya. David menggunakan "brand archetype" (sebuah program) yang bertujuan untuk menginvestasikan karakter ke dalam brand untuk membantunya melihat bagaimana brand tersebut menampilkan dirinya kepada audiens.

Interaksi tersebut mencoba untuk menyampaikan nilai dan visi brand pada berbagai topik, dengan harapan nilai dan visi brand akan beresonansi dengan target konsumen, sehingga membentuk pasar yang berkelanjutan untuk brand tersebut. Dinamika dan proses membangun brand identity ini dapat menimbulkan masalah kekakuan dari konsep merek secara hukum.

Tidak seperti merek yang memiliki batasan konkret, brand memiliki ruang lingkup yang lunak dan dinamis. Misalnya, ketika membangun brand identity, pemasar cenderung mengikuti tren di kalangan konsumen dan mencoba berinteraksi dengan "hal yang populer saat ini", yang terus berubah untuk menjaga agar mereka tetap relevan dengan zaman dan tren.

Namun, mereka mungkin tidak menyadari bahwa ketika mereka mengubah merek mereka yang terdaftar dapat menyebabkan konsekuensi hukum. Salah satu kasus terbaru adalah Futura dan The North Face. Penamaan suatu produk juga dapat menimbulkan ancaman hukum jika merupakan tanda terdaftar.

Kasus lain untuk referensi lebih lanjut adalah perseteruan yang berlangsung selama 13 tahun antara World Wildlife Funds dan Word Wrestling Federation. Keduanya menggunakan akronim “WWF”. Perseturuan itu dimulai pada tahun 1989 ketika World Wildlife Funds mengklaim bahwa CEO World Wrestling Federation Vince McMahon menggunakan akronim "WWF" tanpa izin mereka.

Pada tahun 1994, kedua belah pihak mencapai kesepakatan bahwa World Wrestling Federation akan berhenti menggunakan akronim "WWF" pada siaran langsung mereka. Namun, mereka diperbolehkan untuk menggunakan istilah "World Wrestling Federation" pada logo dan produk-produk yang mereka perdagangkan.

Pada tahun 2001, perusahaan gulat tersebut melanggar perjanjian 1994 dengan menggunakan akronim "WWF" dalam pertunjukan langsungnya. Akibatnya, mereka harus mengubah nama dan citranya menjadi World Wrestling Entertainment (WWE).

Untuk menghindari kejadian serupa, David menjelaskan, "Saat mengerjakan proyek branding, memiliki konsultan hukum tentu akan membantu." Menurutnya, akan lebih baik bagi sebuah instansi kecil hingga menengah untuk melakukan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan hukum.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemasar adalah bagaimanapun cara mereka akan mengiklankan brand tersebut, yang biasanya dikenali dengan mereknya, mereka harus memperhatikan merek terdaftar yang mereka miliki. Mereka tidak dapat mengubah merek terlalu jauh dari tanda yang telah mereka daftarkan. Hal ini karena kegagalan mengikuti koridor merek terdaftar dapat memunculkan isu pelanggaran merek pihak lain, atau membuat merek mereka tidak dilindungi karena menggunakan tanda yang tidak terdaftar sebagai merek mereka.

Meskipun serupa dan saling melengkapi di pasar, baik istilah merek maupun brand memiliki ruang lingkup dan makna yang berbeda.

Merek adalah inti dari branding dan brand identity. Hal ini karena terlepas dari betapapun cemerlangnya ide dalam membangun brand identity, sebuah merek tidak dapat dilindungi atau bahkan dapat memiliki risiko hukum jika tidak mengikuti koridor peraturan merek terdaftar.


Artikel terkait


Berita