Apakah Sepatu Campess termasuk parodi?

Read in English

WhatsApp Image 2020-09-13 at 17.19.37.jpeg

Kalau ada merek asal Indonesia yang popularitasnya menyamai Supreme, ialah Sepatu Compass. Compass didirikan pada tahun 1998, lalu dirombak ulang pada tahun 2018 oleh Aji Handoko yang saat itu baru saja didapuk sebagai pimpinan kreatif.

Pada Juni 2020, muncul Sepatu Campess, versi bootleg Sepatu Compass. Campess melabeli dirinya sebagai penyelamat bagi orang-orang yang merasa dikecewakan oleh Compass karena sepatu Compass selalu habis terjual dalam 20 menit.

Campess juga menyebut dirinya sebagai parodi Compass. Parodi adalah kegiatan meniru karya lain yang menekankan pada unsur pembedanya, yakni kejenakaan. Parodi biasanya menggambarkan realita sosial yang terjadi di tengah masyarakat, yang dibalut dengan unsur kejenakaan. Seiring berjalannya waktu, kini parodi diaplikasikan juga ke dalam produk pakaian.

Hal ini memunculkan dua pertanyaan: Apakah parodi merek adalah tindakan legal, dan apakah Sepatu Campess termasuk parodi?

Apakah parodi merek legal?
Parodi merek sudah menjadi sebuah hal yang lumrah di kalangan masyarakat kita. Tengok saja merek pakaian KAMENGSKI yang mengubah merek terdaftar dengan cara menambahkan unsur kejenakaan lalu menjual produk tersebut. Namun, apakah tindakan ini legal di Indonesia?

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Malaysia, India, dan negara-negara Uni Eropa, memperbolehkan parodi sebagai bentuk kritik dan humor selama parodi tersebut tidak sepenuhnya menghilangkan esensi dari logo asli. Parodi harus mengingatkan publik kepada logo asli.

Ada batasan dalam melakukan parodi terhadap suatu merek, yakni pembuat parodi wajib menjaga citra yang telah dibangun oleh merek asli. Merek adalah hal yang sangat penting dalam kegiatan perdagangan karena merek adalah wajah suatu produk. Merek adalah wujud informasi pertama yang diterima konsumen.

Oleh karena itu, selama parodi tidak merusak citra merek asli, maka tidak jadi masalah.

Di Indonesia, aturan mengenai parodi dapat kita temukan melalui penafsiran Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada permilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu – biasanya sepuluh tahun - dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di laman webnya menyebutkan bahwa “satu hal yang perlu dipahami adalah pendaftaran Merek untuk memperoleh Hak Merek bukan berarti izin untuk menggunakan merek itu sendiri.”

Siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang/jasa yang sama.

Hanya saja, dengan merek terdaftar, si pemilik merek terdaftar punya hak melarang siapapun untuk menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar miliknya tadi, tentunya untuk kelas dan jenis barang/jasa yang sama.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa parodi yang merugikan citra suatu merek tidak diperkenankan atas merek yang sudah didaftarkan. Pemegang hak merek berhak untuk melarang siapapun menggunakan merek miliknya dalam kelas barang/jasa yang sama.

Apa konsekuensi bagi pembuat parodi yang merusak citra sebuah merek?

Pasal 83 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan:
Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
a.  gugatan ganti rugi; dan/atau
b.  penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.

Pasal ini memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa izin dan yang produknya memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.

Kalau kita telaah unsur-unsurnya, maka pasal ini dapat diterapkan untuk tindakan parodi terhadap suatu merek untuk barang dan/atau jasa sejenis.

Parodi yang dilakukan oleh KAMENGSKI tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek karena tidak melibatkan barang dan/atau jasa sejenis serta menggunakan merek sendiri, yaitu KAMENGSKI.

Tindak parodi yang dilarang oleh UU Merek dan Indikasi Geografis adalah parodi yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan melakukan perubahan berupa penambahan unsur kejenakaan pada produk barang dan/atau jasa sejenis menggunakan merek yang serupa atau identik dengan merek yang telah didaftarkan.

Sebagai contoh, sebuah merek pakaian (sebut saja A) diparodikan oleh pihak ketiga yang melangsungkan kegiatan usaha dalam bidang yang sama, yakni industri pakaian. Pihak ketiga tersebut dalam kegiatan usahanya menggunakan merek yang sama dan/atau identik dengan merek yang diparodikan.

Hal inilah yang dilarang karena dapat menimbulkan kebingungan di antara konsumen terkait asal usul barang tersebut, baik sebelum, pada saat, atau sesudah pembelian. Parodi dengan metode seperti ini termasuk ke dalam pelanggaran merek. Pelanggaran merek sendiri menekankan pada akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tertentu, yakni kemungkinan kebingungan (likelihood of confusion).

Apakah Sepatu Campess termasuk parodi?
Logo dan nama Campess tidak memiliki perbedaan yang signifikan degan Compass untuk bisa dikategorikan sebagai parodi. Sepatu Campess memiliki logo, desain, dan struktur yang serupa dengan sepatu Compass. Hal ini sudah melanggar Pasal 5 UU Merek dan Indikasi Geografis, kecuali Compass telah mengizinkan Campess untuk menggunakan mereknya, yang sepertinya mustahil kalau kita lihat dari kejadian baru-baru ini, di mana pemilik Compass mendaftarkan merek Campess ke HKI.

Walaupun pendiri Campess mendaftarkan mereknya, pendaftaran tersebut kemungkinan besar akan ditolak karena logo, warna, serta font Campess sangat mirip dengan Compass. Pasal 21 UU Merek dan Indikasi Geografis menyatakan bahwa permohonan pendaftaran ditolak apabila merek tersebut memiliki kemiripan dengan merek terdaftar pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.

Seperti yang disebut dalam undang-undang, “siapapun berhak memakai merek apapun - didaftar ataupun tidak - sepanjang tidak sama dengan merek terdaftar milik orang lain di kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang sama.”

Campess dengan kemiripan mereknya juga mendompleng popularitas dan tren Compass karena keduanya menjual produk yang sama dengan desain serupa. Hal ini bisa merusak citra merek asli karena Campess berpotensi menarik konsumen dari Compass sekaligus meraup keuntungan dari merek Compass tanpa izin.