Disabilitas dan representasi di industri kreatif, di mana kita?

Read in English

disability representation (web)-07.png

Industri kreatif adalah rumah bagi begitu banyak kelompok orang-orang berbakat. Dari seniman hingga musisi, industri ini seringkali dilihat sebagai panutan dalam hal inklusivitas dan keberagaman. Namun, apakah benar begitu adanya? Bisa jadi, tapi kita tidak bisa mengatakan hal yang sama kepada komunitas penyandang disabilitas.

Komunitas penyandang disabilitas telah sejak lama dipandang dengan konotasi negatif. Secara sadar atau tidak sadar, industri ini cenderung kurang merepresentasikan atau bahkan sampai salah merepresentasikan komunitas tersebut dan tidak memenuhi kebutuhannya.

Dalam survei yang dilakukan oleh Attitude is Everything (AiE), 70% responden mengakui menyembunyikan disabilitas mereka karena takut kehilangan kesempatan kerja dan merusak hubungan mereka dengan promotor. Survei terhadap hampir 100 musisi dengan disabilitas pendengaran dan disabilitas lainnya di Inggris mengungkapkan bahwa tempat konser seringkali gagal menyediakan akses dan fasilitas yang layak.

Sebuah kajian oleh Ruderman Family Foundation mengungkapkan bahwa dalam 31 acara paling populer di Amerika Serikat yang memiliki karakter penyandang disabilitas, hanya ada empat aktor penyandang disabilitas.

Kembali ke Indonesia, seorang siswa seni penyandang disleksia mengakui bahwa dia juga menyembunyikan disabilitasnya, “Saya maunya tidak memberitahu mereka bahwa saya memiliki disleksia, karena saya tidak ingin menjadi beban bagi mereka nantinya dan saya juga tidak ingin mereka membanding-bandingkan.”

Seni sudah sejak lama dianggap sebagai cara populer bagi pelaku kreatif dengan disabilitas untuk bersuara. Dalam seni, tidak ada tantangan konstruksi sosial atau ideologi yang membatasi ekspresi diri. Karenanya, mengarungi berbagai emosi yang rumit menjadi lebih mudah. Ditambah lagi, ada beragam medium yang bisa dipilih.

Contohnya, seseorang yang kesulitan untuk mengungkapkan gagasannya melalui kata-kata bisa memilih melukis atau menggambar untuk menyampaikan pesannya. “Ketika diberi kesempatan untuk menciptakan sebuah karya seni, individu dengan disabilitas perkembangan diajak untuk membangkitkan jiwa kreatif mereka. Setelah melihat karya yang sudah selesai, ia mungkin akan menemukan rasa bangga atau lega. Momentum itu dapat menepis bayangan kelam yang diciptakan oleh disabilitas,” menurut makalah yang dibuat oleh Lacie L. West.

Ketika komunitas penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan untuk bersinar dalam seni, mereka membuktikan bahwa disabilitas bukan sebuah halangan. Lihat saja Stevie Wonder, musisi dengan disabilitas penglihatan yang melahirkan berbagai mahakarya musik seperti ‘Isn’t She Lovely’ dan ‘Sir Duke,’ atau Lauren Potter, aktris penyandang Down syndrome yang memerankan Becky Johnson dalam serial TV hit ‘Glee.’



Bahkan di Indonesia, disabilitas direpresentasikan dalam film yang mendapat pujian dari berbagai kritikus -film Indonesia pertama yang ditayangkan di Sundance- ‘What They Don’t Talk About When They Talk About Love.’ Karakter-karakter dalam film tersebut juga diperankan oleh para aktor penyandang disabilitas, yang menjadikan representasinya tepat sasaran.

Meski begitu, representasi negatif terhadap komunitas penyandang disabilitas di media arus utama masih lebih banyak dari representasi positif, dan kita masih jauh dari tujuan dalam hal mengakui disabilitas, terutama dalam industri kreatif. Ini bisa jadi disebabkan oleh sistem pendidikan yang ketinggalan zaman serta stigma dan stereotip yang terus menerus kita lekatkan kepada penyandang disabilitas.

Foto: Xiao Pin Pin

Foto: Xiao Pin Pin

“Tidak juga, karena banyak sistem masih belum mendukung kami,” ucap musisi dengan disabilitas penglihatan Xiao Pin Pin (@xiaopinpinmusic) ketika ditanya mengenai representasi dalam industri kreatif.

Ketika seorang siswa dengan disleksia ditanya apakah sekolah mampu membantu kesulitannya, dia mengatakan, “Tidak, susah. Saya merasa kesulitan dalam mengikuti kuliah dan pelajaran.” Dia menambahkan, “Terapi hanya efektif sampai taraf tertentu, dan biayanya mahal.”

Seorang perwakilan dari organisasi nirlaba yang fokus pada anak dengan autisme di Indonesia, Yayasan MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia), mengatakan bahwa, “Bahkan untuk mendiagnosa autisme pada anak, mereka akan memasukkan Anda ke daftar tunggu yang lamanya 6-12 bulan.”

Stereotip sosial juga menciptakan sebuah gelembung kecil yang mempromosikan sekularisme dan pemisahan antara penyandang disabilitas dan bukan penyandang disabilitas. Kondisi ini menyentuh titik di mana masyarakat meremehkan kemampuan anak-anak ini.

“Industri kreatif tidak sepenuhnya menerima, karena awalnya tentu saja orang dengan disabilitas akan diremehkan. Meski begitu, kita harus terus berjuang untuk dapat diterima dan mendapatkan dukungan,” ucap Xiao Pin Pin.

“’Oh, anak dengan autisme bisa?’ - menempuh pendidikan sarjana, magang di luar negeri secara mandiri, memiliki kafe dan menjadi barista, menjual tanaman hidroponik, menerbitkan tiga buku, menciptakan dan menjual hasil karya seni bernilai jutaan - ya, mereka bisa! Bahkan mereka bisa melakukannya dengan baik! Seringkali lebih baik dari kita,” ucap seorang perwakilan dari Yayasan MPATI.

Didirikan pada tahun 2004, Yayasan MPATI adalah organisasi nirlaba yang bertindak sebagai perantara antara autisme dan dunia luar - mereka membantu menciptakan peluang bagi anak-anak dengan autisme di seluruh Indonesia untuk berhubungan dengan lingkungan sekitar.

Salah satu acaranya yang paling terkemuka adalah expo tahunan yang diadakan sejak 2018, di mana mereka menampilkan karya kreatif ciptaan komunitas autis. Di tahun 2019, acara ini telah mengundang lebih dari 100 stan dan mencatat hampir 5.000 pengunjung.

Namun, dengan pandemi yang terjadi sekarang, gelombang tantangan baru muncul. Saat ini, kebanyakan acara harus ditunda atau pindah ke ranah daring. Transisi dari luring ke daring lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

“Transisi ke belajar di rumah tidak mudah. Zoom adalah hal yang agak baru bagi kami, karena kami selama ini lebih mengandalkan fitur-fitur Instagram, seperti IG Live atau postingan untuk mempromosikan karya dan kadang lokakarya kami. Para orangtua juga kesulitan dalam menyesuaikan diri pada terhentinya terapi fisik secara tiba-tiba, jadi kami berusaha semampu kami untuk memberikan bimbingan dengan menyediakan latihan yang bisa dilakukan anak-anak mereka di rumah,” jelas Yayasan MPATI.

“Saya bekerja dari rumah, tapi banyak klien saya yang juga menunda acara mereka,” ujar Xiao Pin Pin.

Meski begitu, ketika ditanya mengenai representasi penyandang disabilitas dalam industri kreatif, terlepas dari segala rintangan yang ada, tanggapan Yayasan MPATI penuh dengan harapan. “Saya percaya kita melangkah maju. Sudah semakin banyak perusahaan dari industri kreatif yang menghubungi kami untuk berkolaborasi. Mereka membantu membuat lokakarya untuk membekali anak-anak dengan berbagai hal yang diperlukan untuk bisa sukses.”

“Saya merasa publik sudah menjadi lebih terbuka terhadap disabilitas, yang merupakan awal yang baik.”