Pembaruan Omnibus Law: Pengupahan

Read in English

omnibus-law-(web).png

Pemerintah terus merevisi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang telah disahkan DPR pada bulan Oktober tahun 2020. Pengesahan undang-undang tersebut menimbulkan kontroversi di seluruh negeri; organisasi mahasiswa dan pemuda serta serikat buruh turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.

Pada 17 Februari, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengumumkan 45 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden sebagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Peraturan pemerintah adalah perpanjangan undang-undang. Singkatnya, undang-undang adalah kendaraan, dan peraturan pemerintah adalah bahan bakarnya.

Salah satu peraturan pemerintah tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2021 mengenai Pengupahan, akan memengaruhi pekerja. Berikut beberapa poinnya:

Upah per jam karyawan paruh waktu

Ketika berbicara mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, upah per jam menjadi topik panas tersendiri. Banyak diskusi mengenai kemungkinan bahwa undang-undang tersebut akan memengaruhi keseluruhan sistem pengupahan dengan mengatur upah per jam.

Pasal 16 PP No.36/2021 menetapkan bahwa upah per jam diperuntukkan hanya bagi karyawan paruh waktu. Pasal tersebut juga menentukan formula bagi pengusaha dan karyawan untuk menghitung upah per jam, yaitu upah bulanan dibagi 126.

Baik pengusaha maupun karyawan diperbolehkan untuk membuat kesepakatan sendiri, namun upah tidak boleh lebih rendah dari perhitungan menggunakan formula tersebut. Kedua belah pihak juga bisa merevisi formula tersebut jika terdapat perubahan signifikan pada rata-rata jam kerja.

Upah minimum

Salah satu perubahan yang paling nyata yang bisa kita lihat dalam peraturan baru ini adalah faktor-faktor yang menentukan upah minimum. PP No.78/2015 tentang Pengupahan menyatakan bahwa standar hidup layak bagi karyawan menjadi faktor yang menentukan upah minimum.

Pasal 25 PP No.36/2021 menentukan bahwa upah minimum ditentukan oleh kondisi ekonomi dan kondisi ketenagakerjaan. Kondisi ekonomi merujuk pada perkembangan ekonomi dan inflasi, sementara kondisi ketenagakerjaan merujuk pada paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

Pasal 24 Ayat (1) menyatakan bahwa upah minimum berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) menyatakan bahwa upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan skala upah.

Juga perlu diperhatikan bahwa menunda penyesuaian upah minimum tahunan tidak lagi diperbolehkan, kecuali untuk usaha kecil dan mikro, yang menggunakan metode yang berbeda untuk menentukan upah minimum. Pasal 90 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan memperbolehkan penangguhan penyesuaian upah minimum bagi pengusaha yang tidak mampu membayarkan upah minimum. Namun. kebijakan ini dihapuskan di Undang-Undang Cipta Kerja.

Pasal 61 PP No.36/2021 mengatur situasi di mana sebuah perusahaan gagal membayar pekerjanya tepat waktu. Ketika sebuah perusahaan gagal membayar pekerjanya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, perusahaan tersebut harus membayar denda sebesar 5% dari upah pekerjanya, setiap hari, dimulai dari hari keempat hingga hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar. Sesudah hari kedelapan, jika upah masih belum dibayarkan, perusahaan dikenakan denda tambahan sebesar 1% dari upah pekerja untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan satu bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan.

Struktur dan skala upah

Struktur dan skala upah adalah pedoman perusahaan untuk menentukan upah untuk pekerjanya sesuai dengan posisi mereka. Sesuai dengan Pasal 21 PP No.36/2021, pedoman tersebut harus didesain sesuai dengan kemampuan dan produktivitas perusahaan. Struktur dan skala upah wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja secara perorangan.

Upah minimum untuk usaha kecil dan mikro

Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya tentang bagaimana pemilik usaha kecil dan mikro menentukan upah pekerja mereka. Pasal 36 PP No.36/2021 menyatakan bahwa upah minimum pekerja pada usaha mikro dan usaha kecil paling sedikit sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi atau paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Namun, pada akhirnya, upah tersebut ditentukan melalui kesepakatan antara pemilik usaha dan pekerja.


Artikel terkait


Berita