Apakah streaming mengurangi nilai musik? - Bagian 2. Berbagai cara untuk mendukung musisi

Read in English

music streaming pt2 (web)-01.png

Di bagian 1, kita membahas devaluasi musik dari sudut pandang ekonomi. Namun, ‘nilai’ adalah kata yang obyektif dan ambigu. Di bagian 2, kita akan membahas nilai dari sudut pandang sentimental.

Kita bisa berpendapat bahwa streaming adalah penyebab ‘kejatuhan’ industri musik, atau sesuatu yang mendorong persepsi negatif terhadap musik dan nilai musik. Namun, kalau kita menelaah isu ini lebih dalam, menuduh industri streaming sebagai satu-satunya faktor sepertinya tidak adil. Kita harus melihat gambaran utuhnya, termasuk dengan menilik kembali perkembangan distribusi musik dan peran masing-masing penemuan di setiap era.

1877 - Penemuan fonograf, salah satu cara pertama untuk memberi musik rekaman sebuah wujud nyata.

1928 - Rekaman siaran radio hadir.

1935 - Musik rekaman berbentuk pita magnetik.

1948 - Columbia memperkenalkan unbreakable record atau format desain ulang dari vinyl klasik. Pada tahun 1949, vinyl bisa ‘diputar’ pada kecepatan yang berbeda, mulai dari 33 ⅓ rpm hingga 78 rpm.

1963 - Kaset menjadi pilihan populer untuk mendengarkan musik melalui stereo yang ditemukan pada tahun 1957. 

1980 - Musik dibuat portabel dengan ditemukannya Walkman.

1999 - Pembagian file ke sesama pengguna pertama kali diperkenalkan melalui Napster – teknologi yang kini menjadi tulang punggung Spotify.

2003 - Untuk memerangi pembajakan musik, Apple meluncurkan iTunes Store agar musisi bisa terus merilis musik serta mendapatkan nilai ekonomi darinya dan konsumen bisa menikmati musik tersebut di mana saja dengan nyaman.

2004 – Permintaan terhadap pembagian file ke sesama pengguna dan pengunduhan musik terus tumbuh, dan diarahkan dengan perubahan ini.

2008 – Spotify dan platform streaming digital lainnya muncul.


Garis waktu ini menunjukkan bagaimana penyampaian musik terus berevolusi menjadi lebih praktis dan, yang lebih penting lagi, portabel.

Streaming adalah produk sampingan dari budaya musik yang berkembang negatif. Sejak pertama kali ditemukan bahwa musik bisa direkam ke dalam sebuah medium, pandangan masyarakat terhadap nilai musik otomatis berubah. Kini, masyarakat melihat nilai musik melalui lensa yang memprioritaskan kepraktisan dan efisiensi, bukan pengalaman emosional atau kedalamannya.

“Sekarang, siapa pun bisa mendengarkan musik di mana pun dan kapan pun. Mereka bisa mengonsumsi karya kesukaan mereka dengan mudah melalui platform streaming digital pilihan mereka sendiri,” ucap musisi Indonesia Ben Sihombing (@bensihombing).

Namun, ketika kita memprioritaskan efisiensi pada sesuatu yang membutuhkan waktu untuk dikonsumsi dan diproses, hasilnya adalah obyek tersebut menjadi terpinggirkan. Seperti disebutkan dalam artikel pertama, fokus utamanya tidak lagi pada musik. Musik diperlakukan sebagai elemen sekunder atau sekadar menemani kita dalam situasi tertentu.

“Akibat kemajuan pesat dalam hal teknis ini, kita belajar bahwa produknya bukan lagi musik, tetapi artisnya, atau nama mereka,” tutur penyanyi dan penulis lagu Pamungkas (@pamungkas).

Pamungkas berargumen bahwa streaming dan era kemajuan teknologi telah membuat dunia musik menjadi lebih inklusif. Platform streaming digital adalah perpustakaan musik yang bisa ditelusuri tanpa batas oleh konsumen. Bagi artis, platform streaming digital merupakan tambang emas bagi kreativitas - tapi bukan hanya itu.

“Artis memiliki ruang yang lebih besar untuk mengekspresikan kepribadian mereka dalam karya mereka. Streaming menghapus gagasan bahwa musik harus eksklusif, karena sekarang semua orang bisa mengunggah musik,” ujar Pamungkas. Ini adalah sudut pandang yang menarik mengenai digitalisasi distribusi musik. Platform seperti Soundcloud dan Spotify memungkinkan artis untuk memublikasikan rekaman mereka secara independen tanpa harus menjadi bagian dari suatu label musik.

“Tidak ada lagi tenggat waktu atau pedoman yang harus dipatuhi ketika musisi ingin mengeluarkan sesuatu, dan tidak ada konsep yang harus diikuti secara ketat. Sepenuhnya terserah kita.” Pamungkas tidak salah. Dia sendiri telah memanfaatkan kebebasan yang muncul dari distribusi di era digital.

Contohnya, album terbarunya, Solipsism, adalah album penuh berisi 11 lagu dalam bahasa Inggris - sebuah sentimen yang jarang ada pada artis Indonesia, mengingat permintaan terhadap musik di Indonesia berpusat pada lagu dalam bahasa Indonesia.

Taylor Swift, yang meskipun bukan artis independen, mampu memanfaatkan kepraktisan distribusi musik daring ketika dia memutuskan untuk mengeluarkan albumnya, ‘Folklore,’ secara mendadak, tanpa jadwal promosi atau wawancara apa pun sebelum peluncuran.

Seiring dengan tumbuhnya permintaan terhadap platform streaming digital setiap tahunnya, permintaan terhadap artis independen pun semakin meningkat. Sektor artis independen menyumbang $643 juta terhadap pendapatan industri musik pada tahun 2018, dan diperkirakan mencapai $1.6 miliar pada tahun 2019 menurut Forbes. Hal ini kemudian mengungkap sisi lain budaya musik yang mempertanyakan peran yang dimainkan oleh label musik.

“Sekarang, hubungan antara label dan artis tidak lagi berdasarkan hierarki, namun berakar pada saling memiliki kuasa atas satu sama lain dan berdampingan,” ucap Pamungkas.

Meskipun era streaming menambah nilai sentimental musik serta menerapkan budaya baru di mana artis menjadi lebih independen, model bisnis ini memiliki banyak kekurangan yang tidak bisa diabaikan.

“Dapat dikatakan bahwa sebagian besar musisi Indonesia mendapat penghasilan dari skenario offline, seperti pertunjukan atau melalui brand endorsement,” ucap Ben.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, selain streaming, penampilan di resepsi pernikahan dan penjualan suvenir saat konser adalah sumber pendapatan yang cukup besar bagi musisi. Namun, sejak pandemi, artis harus mencari cara lain untuk terus menghasilkan uang dari karya mereka.

Dalam beberapa tahun belakangan, dan khususnya selama pandemi, jumlah artis yang menerima tawaran untuk mempromosikan berbagai merek terus meningkat. Selena Gomez, contohnya, pada 2017 ditunjuk sebagai duta merek Puma yang baru. Kesepakatan tersebut diperkirakan bernilai $30 juta.

Tokopedia menggaet grup K-Pop BTS sebagai duta mereknya. Sementara itu, para anggota BLACKPINK sibuk mempromosikan berbagai merek mewah, seperti Lisa Manoban yang digandeng Celine.

Beberapa musisi, seperti Rihanna, Beyoncè, dan Selena Gomez, memanfaatkan ketenaran mereka dengan membangun bisnis. Fenty Beauty milik Rihanna dilaporkan bernilai $3 miliar. Pada tahun 2019, Forbes memasukkan Rihanna ke dalam daftar wanita terkaya di dunia yang membangun bisnisnya dari nol dengan kekayaan bersih sebesar $600 juta.

Meskipun streaming bukanlah solusi untuk semuanya, teknologi ini memberi kenyamanan kepada pendengar untuk menelusuri katalog musik dan menemukan artis baru. Streaming juga memberi artis kesempatan untuk menjelajahi kreativitas musik mereka dengan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan reproduksi album fisik.

Namun, streaming juga menimbulkan tantangan bagi musisi. Di era streaming di mana perpustakan musik yang tak terbatas hanya sejauh satu ketukan, musisi harus berusaha sekreatif mungkin dalam menciptakan serta memasarkan karya mereka.


Artikel terkait