Apakah streaming mengurangi nilai musik? - Bagian 1

Read in English

music streaming (web)-08.png

Baca bagian 2 - Berbagai cara untuk mendukung musisi

Taylor Swift menjadi sorotan ketika dia memutuskan untuk menarik seluruh diskografinya dari Spotify pada tahun 2014. “Pembajakan, pembagian file, dan streaming telah menyeret penjualan album berbayar secara drastis, dan setiap seniman mengatasi pukulan ini dengan cara masing-masing,” tulis Swift dalam sebuah artikel di Wall Street Journal. Pernyataan ini tidak salah; Taylor Swift sendiri adalah salah satu korban dari rendahnya bayaran yang diberikan layanan streaming.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah TIME pada tahun 2014, pimpinan label Swift yang sebelumnya, Scott Borchetta dari Big Machine Records, menyatakan bahwa Swift hanya memperoleh $494.044 dari keseluruhan diskografinya yang di-stream di seantero negeri di platform itu selama 12 bulan.

Jumlah itu tidak sedikit, tapi untuk artis sekelas Swift, jumlah itu membuat orang bertanya-tanya. Sebagai konteks, Swift berhasil menjual 1,287 juta album pop debutnya ‘1989’ dalam satu minggu pertama. Tiap album kira-kira berharga $12, maka Swift seharusnya mendapatkan sekitar $15 juta dari minggu pertama penjualan albumnya.

Artis lain yang merasakan dampak streaming adalah Aloe Blacc. ‘Wake Me Up’ milik Avicii, yang ditulis bersama Blacc dan juga ikut dinyanyikannya, adalah salah satu lagu yang paling banyak di-stream dalam sejarah Spotify pada tahun 2013. Namun, setelah dipotong royalty serta bagian untuk pencipta dan penerbit lagu, Blacc hanya mendapatkan kurang dari $4.000 untuk royalti domestik dari kurang lebih 168 juta stream pada tahun 2013.

Namun begitu, meski dengan sistem pembayaran yang buruk, kita tidak bisa mengabaikan masalah terbesar yang ada di depan mata. Kehadiran platform streaming interaktif di dalam industri musik bukan hal sepele. Hingga Februari 2020, Spotify telah memiliki 248 juta pengguna aktif bulanan dan 36% pangsa pasar streaming musik global. Pada tahun 2019, platform saingannya, Apple Music, memiliki kira-kira 68 juta pengguna aktif.

Di Amerika sendiri, streaming interaktif menyumbang 80% pendapatan yang diraih oleh industri musik selama paruh pertama tahun 2019, atau setara dengan $4,3 miliar. Di Indonesia, pendapatan dari jasa streaming diproyeksikan mencapai $148 juta pada tahun 2020.

Jelas bahwa dampak yang dibawa oleh industri streaming musik interaktif tidak kecil. Tetapi bahkan industri bernilai miliaran dolar memiliki kekurangan - salah satu yang paling jelas adalah fakta bahwa industri ini berjalan dengan menggunakan model bisnis yang sangat tidak sempurna, dan konsekuensinya adalah penghasilan para musisi.

Tidak ada ‘tarif per stream’ yang tetap karena streaming adalah masalah yang memiliki banyak sisi. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan antara lain lokasi geografis, berapa banyak orang yang mendengarkan sebuah lagu atau album, dan bahkan tipe platform di mana lagu atau album tersebut di-stream.

“Kalau kalian melihat angka yang dinyatakan di Spotify, kalian mendapatkan Rp 50 untuk setiap 80 stream. Besaran ini berbeda di tiap negara. Tapi, sistem pembayarannya tidak sesederhana kelihatannya, ada lebih banyak faktor yang diikutsertakan,” ujar penyanyi Indonesia Ben Sihombing.

Untuk layanan yang menawarkan langganan gratis seperti Spotify atau Soundcloud, angka ini bisa berkurang secara proporsional dengan semakin banyaknya jumlah pendaftar non-premium baru (khususnya yang tidak membayar) – hal ini akan dibahas di bagian kedua artikel ini. Hal ini juga dikemukakan oleh Taylor Swift dalam surat terbuka untuk Apple Music (sebuah surat yang diunggah sebagai post Tumblr, namun tidak lama kemudian dihapus).

“Saya yakin kalian tahu bahwa Apple Music akan menawarkan masa percobaan gratis selama tiga bulan bagi siapa pun yang mendaftar untuk menggunakannya. Saya tidak yakin apakah kalian tahu bahwa Apple Music tidak akan membayar para penulis lagu, produser, atau artis selama tiga bulan tersebut. Saya merasa hal ini mengejutkan, mengecewakan, dan sangat tidak seperti perusahaan yang sejarahnya progresif dan murah hati.”

Image: Tidal

Image: Tidal

Namun, di platform streaming lainnya, Tidal, persentase dan pembayaran artis bisa dianggap lebih murah hati. Hal ini ditunjukkan dalam grafik di bawah ini.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Ben Sihombing sebelumnya, sistem pembayaran platform streaming tidak sesederhana itu. Bayaran untuk pemegang hak cipta yang digambarkan dalam grafik di atas belum termasuk pajak serta potongan untuk penulis lagu, produser, penerbit lagu, dan bahkan agregat.

Mengurangi nilai ekonomi musik sudah merupakan isu besar tersendiri, namun akibat turunannya juga sama merusaknya. Hal tersebut menciptakan budaya menihilkan dan mengabaikan kerja keras di balik proses kreatif. Satu-satunya cara untuk memberi suatu obyek sebuah nilai standar yang dapat diterima secara universal adalah dengan memberikannya nilai nominal. 

Namun, untuk sesuatu yang seabstrak musik atau bahkan seni yang nilainya sangat bergantung pada pengalaman atau manfaat yang dirasakan konsumen, apa yang harus dibayar konsumen? Era digital dan streaming interaktif menghilangkan wacana ini.

Musisi Adam Neely berargumen: apakah cara kita mengonsumsi musik memengaruhi persepsi kita terhadap nilai musik tersebut? Sampai batas tertentu, argumen ini masuk akal. Sama seperti barang-barang bernilai ekonomi lainnya, cara kita menetapkan harga untuk musik secara langsung proporsional dengan biaya produksi dan manfaat yang ditawarkan bagi konsumen.

Neely memberi contoh ketika kita membeli tas dengan gambar lukisan Vincent van Gogh. “Kita membayar untuk tasnya, bukan karya seninya.” Pada intinya, masyarakat memberi nilai kepada sebuah obyek, bukan pengalaman seni.

Mungkin rendahnya nilai nominal musik juga berakar dari kenyataaan bahwa musik mudah diakses. Kelangkaan adalah salah satu faktor yang bisa membantu penetapan nilai ekonomi sebuah benda. Menduplikasi file digital adalah pekerjaan mudah. Maka dari itu, distribusi digital seringkali menihilkan perasaan ‘terbatas.’

Hal ini kemudian memengaruhi persepsi kita terhadap musik. Karena musik pada dasarnya tidak terbatas dan mudah diakses, kita bisa menikmati dan mendengarkannya di manapun dan kapan pun. Platform seperti Apple Music atau Spotify bahkan memiliki playlist yang telah dikurasi untuk aktivitas harian. Contohnya, kompilasi musik chill lo-fi untuk belajar, atau playlist hits terbaik untuk berolahraga.

Namun, aktivitas harian tersebut mengalihkan fokus dari musik itu sendiri, yang membuat peran musik dalam situasi tersebut menjadi kurang penting.

Kesimpulannya, streaming mungkin bukan model bisnis terbaik bagi artis untuk mendapatkan penghargaan yang layak untuk karyanya, namun seperti yang dikatakan Neely, “Mereka yang melawan takdir, melawan arus sejarah, dan menolak untuk beradaptasi, akhirnya kalah dalam pertempuran,” - sebuah sentimen yang juga dirasakan oleh Taylor Swift, yang memutuskan untuk mengembalikan katalognya di Spotify pada tahun 2017 berkat para penggemarnya setelah penjualan album ‘1989’ melebihi 10 juta kopi di seluruh dunia.

Sulit untuk menentukan bagaimana industri musik akan berjalan dari sekarang ke depannya, karena bahkan nama-nama terbesar di industri musik, seperti Taylor Swift, pada akhirnya tunduk pada besarnya jumlah pengikut dan permintaan Spotify.


Artikel terkait