Mengembangkan merek berkelanjutan - Bagian 3. Ekonomi

Read in English

sustainable brand (economical - web).png

Baca bagian 1 - Definisi (sebenarnya) merek keberlanjutan

Baca bagian 2 - Tidak ada keberlanjutan tanpa kesejahteraan

Alih-alih memperketat anggaran atau memberhentikan karyawan seperti yang dilakukan pelaku usah retail lainnya untuk merespons pandemi COVID-19, perusahaan Amerika Serikat Patagonia menggandakan upaya aktivisme lingkungan dan terus membayar karyawannya meski mereka menutup toko fisik dan daringnya pada bulan Maret.

Patagonia, yang didirikan oleh Yvon Chouinard pada tahun 1973, telah berhasil menerapkan semua aspek keberlanjutan - lingkungan, sosial, dan ekonomi – dalam bisnisnya. Chouinard masuk dalam daftar miliuner versi Forbes dengan kekayaan bersih senilai $1 miliar. Yang lebih mencengangkan lagi, Patagonia mendorong pelanggan untuk tidak membeli terlalu banyak produk dan mengirim produk yang rusak untuk diperbaiki.

Patagonia berhasil melalui berbagai rintangan. Semakin gencar mereka mendukung upaya pelestarian bumi, semakin banyak pendapatan yang mereka raih sebagai imbalannya. Memang, Patagonia menjual produk berkualitas tinggi dengan harga yang mahal.

Menerapkan strategi Patagonia di Indonesia membutuhkan banyak usaha dalam mendidik pasar. Menurut salah satu pendiri Tri Hita Karana (THK), Phoebe Carolyn, ada dua pilihan yang bisa diambil oleh sebuah merek jika ingin menerapkan upaya keberlanjutan, “Antara memilih kenyamanan tetapi lebih mahal, atau rumit namun lebih terjangkau.”

THK memilih yang kedua. Phoebe dan timnya membuat kemasan sendiri dari koran bekas. Dia bisa mengambil langkah yang lebih mudah dengan memilih kemasan ramah lingkungan yang harganya lebih mahal tapi tidak merepotkan. Tetapi, THK mengincar keuntungan di tahun depan. Para pendiri THK juga mengorbankan gaji mereka dan mengalokasikannya untuk karyawan. Strategi ini adalah hal yang umum bagi merek rintisan.

Merek pakaian siap pakai Kuro (@kuro__official) memiliki strategi sendiri. Guna menekan jumlah produk sisa, Kuro membagi pilihan menjadi dua kategori, koleksi musiman dan timeless. “Produk-produk timeless dirancang untuk bisa tahan lama. Kami mencoba membangun persediaan rescued fabric. Untuk produk-produk musiman, kami seringkali menggunakan sistem pre-order untuk menekan kelebihan produksi,” ujar Direktur Desain Kuro, Douglas Koh.

Rescued fabric menurut Kuro adalah kain sisa produksi garmen dalam kondisi baik dalam jumlah kecil.

Mengenai harga, Douglas mengakui bahwa Kuro harus menyesuaikan harga dengan daya beli pelanggan di tengah pandemi meskipun bahan ramah lingkungan lebih mahal dibandingkan bahan lainnya, seperti polyester.

Kesejahteraan tidak diragukan lagi merupakan pendorong utama keberlanjutan. Pada tahun 2019, rata-rata pendapatan rumah tangga tahunan di Indonesia adalah Rp59,1 juta ($4.075), yang membuat orang Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Produk berkelanjutan biasanya juga memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan produk yang ‘tidak berkelanjutan.’ Oleh karena itu, hidup tanpa limbah terlihat lebih seperti gaya hidup aspiratif, bukan sebuah tujuan.

Kemasan sachet, misalnya. Sachet sekali pakai menghasilkan triliunan sampah plastik setiap tahun. Tapi, untuk toko-toko kecil atau warung, produk dalam kemasan sachet lebih mudah diakses bagi warga setempat. Ditambah lagi, membeli barang dalam kemasan sachet dengan harga grosir lebih terjangkau bagi mereka.

Melihat situasi saat ini, ada tiga kemungkinan bagi brand fesyen:

  1. Menggunakan bahan ramah lingkungan dan memberi kompensasi yang layak bagi semua orang dalam tim, tetapi menjual dengan harga tinggi.

  2. Menggunakan bahan ramah lingkungan dan menjual dengan harga terjangkau, tapi tidak memberikan insentif yang adil bagi anggota tim.

  3. Memberikan kompensasi yang layak bagi anggota tim dan menjual dengan harga terjangkau, tapi tidak menggunakan bahan ramah lingkungan.

Sebuah perusahaan kemungkinan besar akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan sesama pelaku industri jika memilih opsi A.

"Dengan slow fashion pastinya kita mengalami slower growth karena distribution channel kita juga harus sangat pilih-pilih," kata Shari Semesta dari Imaji Studio (@imaji.studio), merek yang mengedepankan slow fashion dengan meluncurkan koleksi dua kali dalam satu tahun. Imaji Studio lebih memilih untuk mengikuti acara pop-up ketimbang menjual produknya di toko konsinyasi untuk mempertahankan margin.

Shari dan timnya mengambil proyek-proyek kolaborasi untuk pemasaran dan mengeluarkan produk yang lebih mudah diperoleh, seperti kaos. Imaji Studio juga mengolah limbah kain hasil produksi menjadi produk baru, seperti masker.

"Kunci supaya bisnis tetap jalan walau idealis adalah untuk beradaptasi dengan kebutuhan market. Kalau kita stuck di idealis kita saja dan tidak mau mencoba opsi-opsi lain untuk membuat produk-produk baru, itu yang akan jadi halangan untuk bisnis.”

Direktur kreatif Bluesville (@bluesville) , Direz, menjelaskan kepada TFR bahwa meningkatkan keuntungan sembari menjaga lingkungan dan memberikan kompensasi yang adil bagi karyawan bisa saja dilakukan, tapi dengan melepaskan ambisi untuk meraih pertumbuhan yang konstan dan cepat.

“Perusahaan lain memacu pertumbuhan dengan meningkatkan produksi, tapi kalau kita memikirkan keberlanjutan, pertumbuhan adalah suatu hal yang jahat,” tutur Direz. Bluesville mengeluarkan koleksi baru dua kali dalam satu tahun dan menawarkan made-to-order (MTO) atau pre-order bagi beberapa barang untuk mengurangi limbah.

“Yang kita sadari dari awal adalah ketika kita memproduksi sebuah item, sama saja kita memproduksi sebuah sampah. Dengan MTO, maka produksi hanya akan terjadi jika ada demand yang jelas, dan nantinya memang item yang diproduksi akan dipakai.”

Bluesville juga mempekerjakan pengrajin batik tetap. “Tidak banyak brand yang membayarkan gaji bulanan bagi pengrajin mereka. Biasanya, pengrajin batik atau pewarna dibayar per proyek, per bahan, atau per pewarnaan.” Kualitas, nilai, dan tenaga kerja menjadi dasar bagi harga produk Bluesville.

Model ini jelas berhasil, karena Bluesville sudah berusia lebih dari delapan tahun. Bluesville telah berhasil menerapkan praktik keberlanjutan meski tidak secara gamblang menyebut dirinya sebagai merek berkelanjutan.

“Bagi kami saat ini, mengurangi polusi sudah menjadi kebutuhan bagi setiap perusahaan, dan sebenarnya hal ini tidak menambah biaya. Sebaliknya, ini adalah investasi masa depan,” tambah Direz.

Hal lain yang harus diperhatikan para perancang busana baru adalah melakukan inovasi dalam sebuah kategori saja, bukan meluncurkan pakaian siap pakai yang sudah membanjiri pasar. Patagonia fokus pada produk untuk aktivitas luar ruangan berkualitas tinggi. Membayar lebih mahal untuk pakaian dan produk berkualitas tinggi sembari melakukan aktivitas luar ruangan yang dinamis dan kompleks, seperti mendaki, panjat tebing, atau selancar, adalah hal yang masuk akal.

Yang paling penting, keberlanjutan harus ditanamkan dalam pola pikir para pendiri perusahaan sejak awal, atau seperti yang dituturkan Phoebe, “Keberlanjutan bukanlah sebuah divisi dalam perusahaan. Keberlanjutan adalah budaya perusahaan.”


Artikel terkait