Costume play: Gairah dan mata pencaharian

Read in English

public.png

Secara etimologis, istilah cosplay yang kita ketahui sekarang adalah lakuran bahasa Jepang dari kata bahasa Inggris costume dan play. Istilah itu sendiri diciptakan oleh Nobuyuki Takahashi, seorang sutradara, setelah dia melihat seorang penggemar mengenakan kostum karakter di Worldcon di L.A. pada tahun 1987. Nobuyuki kemudian menulis artikel mengenai hal tersebut. Istilah ini bisa dianggap baru, tapi tidak dengan aktivitasnya.

Pesta topeng sudah menjadi fitur utama musim Karnaval di Eropa sejak abad ke-15. Kita bisa melihat jejaknya di Venesia, di mana acara-acara berkostum menjadi salah satu acara terkenal kota itu sejak abad ke-16. Tren tersebut berlanjut sampai abad ke-19, di mana pedoman pesta kostum dari periode tersebut bisa ditemukan. Pada saat itu, pedomannya sudah mulai merujuk pada karakter fiksi, seperti The Three Musketeers.

Namun, cosplay sekarang sudah lebih dari sekadar “bermain.” Bagi beberapa orang, cosplay menjadi profesi karena mereka mendapat sebagian dari nafkah mereka dengan ber-cosplay. Enako, salah satu cosplayer top Jepang, bisa mendapatkan lebih dari $100.000 per hari hanya dari penjualan merchandise saja di tahun 2018. Hal ini merupakan buah dari kepopulerannya serta meningkatnya potensi pendapatan dan basis penggemarnya. 

Kasus Enako menyiratkan bahwa meskipun tampaknya niche, cosplay merupakan industri yang lebih besar dibandingkan apa yang terlihat. Namun, meski bisa menjadi mata pencaharian, cosplay selalu melibatkan gairah dalam pembuatannya. Setidaknya, cosplay bukan sesuatu yang kedengarannya bisa kita lakukan secara profesional bila tidak menempati tempat khusus di dalam hati kita.

Foto: Pinky Lu Xun ber-cosplay karakter Naotora Li dari Samurai Warriors

Foto: Pinky Lu Xun ber-cosplay karakter Naotora Li dari Samurai Warriors

Pinky Lu Xun (@pinkyluxun) adalah salah satu pelopor cosplay di Indonesia sejak tahun 1998, saat ia aktif sebagai gamer. Pada awalnya, Pinky terjun ikut hanya untuk senang-senang. “Buat saya kedengarannya seru bahwa kita bisa berdandan seperti karakter game kesukaan kita dan bersikap seperti mereka,” ingatnya, “tapi seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa proses pembuatan kostum adalah hal yang paling saya sukai mengenai cosplay.” Pinky mengakui bahwa tantangan yang ada dalam pembuatan kostum mengasyikkan baginya karena dia bisa menjelajahi metode apa pun menggunakan bahan yang ada untuk mewujudkan garmen fiksi menjadi kenyataan.

Di sisi lain, ada Yukitora Keiji (@yukitora_keiji) yang tidak terlalu tertarik pada budaya game, anime, atau manga ketika dia pertama kali mulai cosplay. Pada awalnya, Yukitora mengakui bahwa cosplay dalam hal tertentu lebih rumit dibandingkan apa yang biasa dia lakukan sebelumnya, yang termasuk tapi tidak terbatas pada modelling, menyanyi, dan menari. “Cosplay menuntut kita untuk membuat kostum sendiri, bermain peran… seperti satu paket,” ucapnya. Tetap saja, dia menganggapnya menarik.

Tentu saja ada berbagai cara bagi seorang cosplayer untuk mendapatkan kostum mereka. Di Indonesia, tak lama setelah cosplay populer, toko-toko hobi mulai menjual kostum yang diproduksi dengan berbagai kualitas. Bahkan ada kelompok yang menawarkan pembuatan kostum menggunakan sistem P.O. Ada juga kostum impor siap pakai dari judul-judul populer yang dibuat di Cina. Ketika kita melihat jaket crop Survey Corps Attack on Titan atau jaket oranye Naruto, kemungkinan besar beberapa di antaranya adalah barang impor.

Namun, jenis kostum yang bisa kita dapatkan di tempat-tempat ini dibuat cukup seragam. Di sinilah keterampilan menjadi hal yang penting dalam menjadi seorang cosplayer. “Orang-orang yang cosplay sebagai hobi lazim memakai produk siap pakai ini, tapi orang-orang yang cosplay untuk berkompetisi akan dinilai atas pengerjaan kostum yang mereka kenakan," jelas Yukitora.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam kompetisi internasional, cosplayer kerap ditanya tentang proses pembuatan kostum yang mereka kenakan. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan harus menyediakan video yang memperlihatkan proses pembuatan kostum.

Pinky memiliki opini yang sama. Baginya, cosplay adalah hobi yang pada satu titik menjadi pekerjaan sampingan karena pekerjaan utamanya adalah arsitek. Tetapi, pekerjaan tetap pekerjaan, dan Pinky selalu mengerjakan pekerjaannya secara profesional. “Saya akan menggunakan bahan terbaik untuk kostum kami, tampil sebaik mungkin, datang tepat waktu, memperhatikan keakuratan kostum yang kami kenakan, bertindak sesuai dengan karakter yang kami wakili, dan lain-lain.”

Sebagai sebuah profesi, ada banyak hal lain selain menjadi cosplayer. Setelah berpartisipasi dan memenangkan kompetisi, cosplayer menjadi terkenal di industri ini dan basis penggemar mereka akan tumbuh. Acara yang berhubungan dengan cosplay akan mulai mengundang mereka, yang diharapkan juga akan membawa para penggemar mereka, sebagai bintang tamu. Seiring dengan berkembangnya reputasi dan kredibilitas mereka, semakin terbuka pula kesempatan bagi mereka untuk diundang sebagai juri kompetisi.

Kita dapat melihat bahwa meskipun tidak kentara, tampaknya ada jalur dalam menjadikan cosplay sebagai karir. Namun, Yukitora menambahkan bahwa saat ini mengikuti kompetisi bukanlah satu-satunya jalur untuk menjadi cosplayer profesional.

“Di era digital ini, orang-orang menjadi sangat pandai memanipulasi latar belakang foto mereka ketika cosplay sehingga mereka bisa menghasilkan visual yang lebih menarik,” jelasnya, “mungkin itulah yang bisa kita anggap sebagai cosplayer/influencer.

Selain itu, ada hal lain yang bisa dilakukan cosplayer untuk mendapatkan penghasilan. Dulu, Pinky dan Yukitora sering mendapat kontrak untuk menjadi brand ambassador untuk game dan komik. Yukitora menjelaskan bahwa beberapa perusahaan game memilih cosplayer resmi sebagai duta merek mereka sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka. Tentu saja, sama seperti merek lain ketika mereka memilih KOL mereka, perusahaan-perusahaan ini akan memprioritaskan cosplayer top dengan basis penggemar yang besar.


Artikel terkait


Berita