Enam dekade perjalanan karya Titiek Puspa

Read in English

Titiek Puspa.png

“Saya mendeklarasikan diri saya menjadi seniman itu mulai tahun 1954, karena saya ambil yang terhitung nasional. Kalau yang masih di daerah saya ‘kan baru jadi Bintang Pelajar dan menang lomba saja,” tutur Titiek Puspa, atau ‘Eyang Titiek’ sebagaimana TFR memanggil beliau. “Sudah berapa tahun tuh artinya?” tanya Eyang Titiek. “Sudah 66 tahun,” jawab kami. “Ya ampun, kekenyangan nggak sih?” timpalnya sambil tertawa.

Eyang Titiek di usia 20an tahun

Eyang Titiek di usia 20an. Foto dari Titiek Puspa

Seperti yang disampaikan oleh beliau, 66 tahun hanya mencakup karirnya sebagai seniman nasional. Kiprahnya sebagai penyanyi tentunya sudah berlangsung lebih lama lagi, apalagi beliau sudah mengikuti berbagai lomba menyanyi di daerah semenjak masih duduk di bangku sekolah. The Finery Report mendapat kehormatan untuk mewawancarai Eyang Titiek dan mengenal lebih jauh perjalanan karyanya selama lebih dari enam dekade. Begitu banyak pelajaran hidup yang kami dapat walau hanya mendapat kesempatan untuk mengobrol selama satu jam dengan beliau. Eyang Titiek adalah sosok yang hangat, suka bercanda, dan memiliki filosofi hidup yang menarik.

Titiek Puspa yang kini berusia 83 tahun lahir pada 1 November 1937 dengan nama asli Sudarwati. Nama beliau sempat diganti sampai tiga kali karena sempat sakit-sakitan semasa kecil. “Orang Jawa kalau anaknya sakit-sakitan pasti diganti namanya. Dari Sudarwati, terus karena sakit jadi Kadarwati, masih sakit lagi jadi diganti dengan Sumarti. Itu pun masih sakit, dan begitu saya ganti nama jadi Titiek Puspa malah kena kanker dan sakit jantung,” tuturnya sambil tergelak. Ya, Eyang Titiek sempat berjuang melawan penyakit kanker dan jantung di masa senjanya. Namun, semua dihadapinya dengan keikhlasan dan humor. Humor inilah yang begitu kental terasa dalam perbincangan kami dengan Eyang Titiek.

Banyak topik yang dibahas, mulai dari figur perempuan sebagai inspirasi karyanya, bagaimana cara menghadapi haters, sampai rahasia awet muda beliau (ayo semua merapat!). Berikut cuplikan obrolan kami dengan Eyang Titiek Puspa yang seru untuk disimak.

Tentang hobi baru di masa pandemi

“Saya dibelikan buku gambar mewarnai dan pensil warna. Saya menggambar dan saya kagum sendiri. Menara Eiffel yang di Perancis kubuat pink. Shocking pink. Itu tuh jadinya lucu, bagus banget,” tutur Eyang Titiek. Hobi baru ini juga merupakan penghilang stres bagi beliau, padahal selama ini Eyang Titiek merasa dirinya tidak berbakat menggambar maupun mewarnai. “Hobi ini seperti membuat saya ingin bangun pagi karena mau menggambar. Pikiran kita jadi nggak mandek,” lanjutnya.

Tentang proses menulis lagu

“Saya memang suka menulis, kalau ketemu yang bagus ya jadi lagu, kalau tidak ya sudah. Itu sampai berbuku-buku, cuma ada yang saya ingat, ada yang saya lupa, ada yang saya tulis lalu saya tinggal jadi lupa,” ujarnya sambil tertawa.

Tentang lagu “Kupu Kupu Malam”

“Lagu ini Eyang tulis karena dia perempuan. Perempuan yang sudah kehabisan jalan, akhirnya bergerak ke jalan itu. Semuanya untuk menghidupi anak-anaknya.” Lagu ini terinspirasi oleh sebuah kisah nyata seorang kupu-kupu malam atau pekerja seks komersial yang mendatanginya selepas Eyang Titiek menyanyi di sebuah acara di luar kota.

Sekembalinya ke hotel, tiba-tiba ada seorang perempuan yang mengetuk pintu kamar Eyang Titiek dan meminta waktu untuk mengobrol. Ternyata perempuan tersebut adalah seorang ibu tunggal yang terpaksa menjadi kupu-kupu malam karena terlilit hutang setelah suaminya pergi meninggalkan dirinya dan anak-anaknya.

Dalam pertemuan tersebut, perempuan tersebut bercerita betapa tersiksanya dirinya menjalani profesi tersebut dan harapannya akan kehidupan yang lebih baik. Pengalaman ini menginspirasi Eyang Titiek untuk menulis lagu ‘Kupu Kupu Malam’ dan langsung merekamnya ketika kembali ke Jakarta.

Siapa sangka, tidak sampai sebulan sejak pertemuan itu, perempuan yang sama kembali menemui Eyang Titiek di Jakarta untuk memperkenalkan suami barunya dan memberi kabar bahwa kehidupannya kini sudah lebih baik. “Waktu ketemu untuk kedua kalinya, lagu itu sudah saya rekam. Jadi liriknya masih ‘apa yang terjadi terjadilah,’ bukan ‘saya sudah bahagia,’” tutur Eyang Titiek.

Tentang cita-cita masa kecil

“Saya dulu sekolah di SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak Kanak), karena adikku banyak dan saya melihat ibu mengurus anak-anaknya yang 12 orang tuh sampai duduk di lantai dan berkata ‘Aduh kenapa sih pada nakal?’ Sampai kakinya digosok-gosok, sambil menangis. Jadi saya pikir saya mau menolong ibu-ibu, walaupun hanya beberapa jam tapi anak-anak mereka bisa saya hibur.”

Pada akhirnya, perjalanan Eyang Titiek untuk menjadi guru terhenti di tengah jalan, karena dilarang untuk ikut ujian oleh ayahnya yang mengatakan bahwa anak perempuan tempatnya di rumah dan justru menyuruh Eyang Titiek menikah.

Tentang media sosial dan teknologi

Baru-baru ini Eyang Titiek mulai menjamah dunia digital dengan kehadiran kanal YouTube dan akun Instagram miliknya, walaupun beliau mengaku kurang paham cara menggunakannya: “Saya ‘kan nggak ngerti tadinya yang seperti itu. Itu karena cucu saya yang bilang ‘Eyang, mbok bikin media sosial kayak teman-temannya Eyang, aku yang ngerjain.’” Kendati mengaku kurang menguasai teknologi yang kerap digunakan, Eyang Titiek sering menggunakan perangkat lunak seperti Zoom untuk berbicara di depan berbagai komunitas, terutama untuk penggalangan dana via daring selama pandemi.

Tentang kiat menghadapi haters

“Kalau dulu tuh orang masih ada sedikit sopan santun, jadi kalau bicara nggak ceplas ceplos seperti orang-orang sekarang. Ya memang banyak yang bagus, tapi ada yang ‘semau gue.’”

Menurut beliau, cara menghadapi komentar negatif hanya ada dua: jika komentarnya benar perbaiki, namun jika komentarnya tidak benar lupakan saja. “Forget it,“ tuturnya singkat. “Kalau toh mau dijawab, jawab saja yang pendek seperti ‘sebetulnya Anda salah tangkap,’” tambahnya.

Tentang interaksi dengan penggemar yang terunik

Di masa mudanya, Eyang Titiek terkenal dengan penampilannya yang elok dan lekuk tubuh yang menawan. Sangat menawan, sampai-sampai banyak yang mengira beliau menggunakan busa di bagian belakang tubuhnya untuk membentuk ‘pantat palsu.’

“Saya kan dulu kalau ke pesta pernikahan suka menggunakan kain. Pernah pantat saya ditusuk menggunakan peniti sampai saya teriak,” cerita Eyang Titiek. Pelakunya ternyata sekelompok anak-anak yang kemudian berujar “Wah ada darahnya! Beneran ini beneran!”

Tentang rahasia awet muda

Rahasia awet muda Eyang Titiek cukup unik: tidur telentang. Kebiasaan ini bermula ketika beliau berusia 35 tahun dan Eyang Titiek merasa wajahnya tampak mulai ‘turun.’ “Ya sudah, sejak itu saya mulai tidur telentang. Kadang pakai bantal yang tipis, kadang tidak pakai bantal. ‘Kan kalau kita terlentang pipi kita tertarik ke kiri dan kanan, sementara kalau tidur miring kecetet. Itu pendapat saya sebagai orang bodoh ya,” tuturnya sembari tergelak.

“Selain itu, perut kita itu ‘kan makan pagi, makan siang, makan malam. Kalau tidur miring ‘kan nanti berat ke kiri, berat ke kanan, jadi lama-lama nggak elastis lagi. Kalau terlentang ‘kan malah menekan ke bawah,” tambah beliau.

Namun, ternyata kebiasaan ini membawa efek samping yang tak terduga, “Yang di depan lumayan, tapi yang ‘di belakang’ terpenyet terus ‘kan. Tadinya saya dikira pakai pantat palsu, tapi setelah sekian tahun terpenyet ya mengurangi jendulan,” lanjutnya sembari tertawa lepas.

Tentang hubungan dengan Tuhan

Saat ini Eyang Titiek memilih tinggal di apartemen untuk alasan keamanan dan kenyamanan. Namun, beliau juga memilih unit yang tidak terlalu tinggi, “Pokoknya dekat dengan langit, bisa ngobrol dengan Tuhan,” candanya.

Menurut beliau, setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya, begitupun dirinya. “Kalau kedekatan dengan Tuhan saya memang sudah dari kecil. Saya selalu mengobrol dengan Tuhan. Kalau ada apa-apa ngobrol aja,” tutur Eyang Titiek.

“Suatu hari saya sedang bertasbih, ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar..,’ tapi kemudian ada telepon dari anak saya. Lalu saya mengobrol mengenai lagu. Setelah selesai, saya ambil tasbih lagi, tapi ketika memulai saya malah melafazkan ‘do, re, mi..’” Terkejut, beliau pun langsung tertawa terpingkal-pingkal dan berkata “’Ya Gusti, ngajak bercanda ya? Kenapa didiamkan?’ perutku tuh sampai sakit karena tertawa,” tuturnya.

Pesan untuk generasi muda

“Cium cinta dan doa dari Eyang untuk semuanya. Teruskan apapun yang dikerjakan asalkan itu untuk kebaikan.”


Artikel terkait