Jarimu harimaumu, panduan bijak curhat di media sosial

Read in English

Membagikan cerita di media sosial sama seperti menaiki roller coaster, bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan atau menegangkan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kasus yang dialami oleh Stella Monica tentu menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Tak lama setelah ia membagikan pengalamannya dan ketiga temannya di media sosial terkait perawatan kecantikan yang mereka lakukan, ia menerima somasi dari pemilik klinik kecantikan tersebut. Lima bulan kemudian, ia didatangi oleh tim Cyber Crime Polda Jawa Timur yang membawa surat tugas beserta laporan dan selanjutnya menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

Saat ini, Stella sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Kosasih selaku kuasa hukum Klinik L’VIORS Surabaya menjelaskan bahwa Stella telah melakukan framing dengan memberikan komentar bernuansa negatif terkait pengalamannya ketika dirawat di klinik tersebut. Seharusnya, apabila Stella tidak puas, ia menyampaikan hal tersebut kepada dokter yang memberikan perawatan kepadanya dan bukan membagikan post di media sosial yang dapat dikomentari siapa saja. 

"Laporan yang dibuat Klinik L'VIORS ke polisi, bukan pula sebagai upaya balas dendam untuk memidanakan Stella Monica. Apa yang Stella lakukan di Instagram, apalagi dilakukan dengan cara framing, mempunyai konsekuensi hukum, bukan hanya bagi Stella, namun siapa saja yang telah melakukan pencemaran nama baik di dunia maya dan itu telah diatur dalam undang-undang," terang Kosasih.

Di sisi lain, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai sikap klinik terhadap Stella berlebihan. Klinik tidak bijaksana terhadap aduan konsumen. Perkara ini menurutnya bisa diselesaikan dengan jalur mediasi. Upaya klinik justru akan membuat konsumen enggan memberikan masukan terhadap pelayanan klinik, padahal itu bisa membuat mereka jadi lebih baik. Lagipula, hak konsumen dijamin UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sepanjang tahun 2020, tindak pidana pencemaran nama baik menduduki peringkat tertinggi dalam pelaporan kejahatan siber. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangani 4.656 tindak pidana siber selama Januari hingga November 2020. Kasus terbanyak yang ditangani polisi adalah tindak pidana pencemaran nama baik sebanyak 1.743 kasus. Maka dari itu, tindak pidana ini telah menuai banyak pro dan kontra tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga akademisi dan pemerhati hukum.

Permasalahan yang terjadi adalah sulit untuk menentukan ukuran pencemaran nama baik karena ada banyak faktor yang harus dikaji, sehingga menimbulkan kebingungan dalam penerapannya. Dalam pencemaran nama baik, yang ingin dilindungi adalah kewajiban orang lain untuk menghargai orang lain dari sudut pandang kehormatan dan nama baiknya di mata orang lain. Sementara, pandangan antara orang yang satu dengan yang lain berbeda. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik.

Sama seperti kasus yang dialami oleh Prita Mulyasari yang membagikan ceritanya terkait pelayanan di RS Omni Internasional. Pihak RS menganggap bahwa cerita yang ia bagikan melalui milis telah mencemarkan nama baik RS, sehingga ia kemudian dilaporkan kepada polisi.

Belakangan ini publik juga turut dihebohkan oleh kasus dr. Richard Lee dengan Kartika Putri. Kartika menganggap bahwa dokter Richard telah melakukan pencemaran baik terhadapnya. Kartika mempermasalahkan beberapa kalimat yang dilontarkan Richard melalui Instastory. "Dokter mengatakan, 'merusak wajah orang lain karena anjurannya Mbak Karput,’” kata Kartika. Menurutnya, ia tidak pernah menganjurkan, hanya memperkenalkan suatu produk. Bahkan, ia sendiri baru mau mencoba produk tersebut. Kasus ini pun berujung saling lapor di antara kedua pihak.

Dari contoh kasus di atas, beberapa di antaranya terjadi karena konsumen mengulas suatu produk atau jasa. Lantas, bagaimana cara menyampaikan ulasan yang baik?

Penting untuk diingat bahwa dalam tindak pidana pencemaran nama baik, yang ingin dilindungi adalah harkat dan martabat seseorang yang dijamin oleh hukum. Maka dari itu, penting untuk memberikan ulasan dengan bahasa yang wajar, jujur, dan berdasarkan fakta.

Dalam sebuah webinar, PR Sociolla Mira Monika menjelaskan bahwa jika seseorang memakai produk dan tak cocok, itu bukan berarti produk itu jelek. Ia menjelaskan bahwa bisa jadi produk tersebut cocok untuk orang-orang dengan karakteristik atau masalah tertentu. “Jadi, menurutku yang terpenting perspektifnya harus lengkap, meskipun mengomunikasikannya dari sudut pandang subjektif saat kamu experience dalam mencoba produk tersebut,” jelas Mira.

Konten kreator Flovivi menjelaskan bahwa dalam mengulas produk, seseorang juga harus memiliki kemampuan untuk menyaring produk. Penting untuk mengecek sertifikat BPOM produk terkait dan melakukan riset karena jejak digital akan selalu ada.

Lebih lanjut, menurut hasil pegujian, Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada ketentuan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tuduhan pencemaran nama baik harus dapat dibuktikan dengan dua unsur, yakni kerugian yang ditimbulkan (baik materiil maupun non-materiil) dan unsur menyerang kehormatan. Hal inilah yang sering menimbulkan perdebatan karena suatu perkataan sulit untuk diukur. Bisa saja perkataan tersebut adalah kritikan atau saran, namun dianggap merugikan bagi salah satu pihak.

Dilansir dari Hukum Online, Josua Sitompul, S.H., IMM. Menjelaskan bahwa dalam pencemaran nama baik di media sosial, konten dan konteks berperan penting. Konteks berperan memberikan penilaian yang objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Pasal 311 KUHP menjelaskan, fitnah dilakukan dengan cara menuduhkan suatu perbuatan kepada seseorang. Tuduhan tersebut dapat berupa fakta atau isapan jempol belaka yang dimaksudkan untuk diketahui orang banyak. Jika orang yang menuduh tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, maka ia dianggap telah melakukan fitnah.

Maka dari itu, dalam membuat konten, penting untuk menghindari hal-hal di bawah ini:

  1. Muatan kesusilaan;

  2. Muatan perjudian;

  3. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;

  4. Muatan pemerasan dan/atau pengancaman;

  5. Berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik; dan

  6. Informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian/permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Sebenarnya, menyampaikan kekecewaan terhadap produk barang atau jasa tertentu di media sosial termasuk sebagai hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang. Pasal 4 huruf d UU Perlindungan Konsumen menyebutkan, konsumen berhak untuk didengar keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. Namun, penting untuk menyampaikan keluhan tersebut dengan bahasa yang wajar, jujur, dan apa adanya.

Hendaknya hukum pidana dapat digunakan sebagai senjata terakhir apabila sanksi administratif maupun sanksi perdata belum cukup untuk memulihkan keseimbangan di masyarakat (ultimum remedium). 


Artikel terkait


Berita