Pentingnya mengesahkan undang-undang yang menghapus kekerasan seksual

Ditulis oleh Yohanna Belinda and Tentry Yudvi | Read in English

Pada 8 September 2021, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengganti nama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Tak hanya mengubah nama, DPR juga mengubah cakupan bentuk kekerasan seksual dalam RUU tersebut dari 9 menjadi 5, di antaranya Pelecehan Seksual, Pemaksaan Alat Kontrasepsi, dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diiringi dengan Perbuatan Pidana Lain.

Perubahan RUU PKS ini tak hanya menimbulkan pertanyaan, tapi juga kegelisahan akan nasib korban kekerasan seksual. Sebagian pasal memang sudah mewakili keinginan pegiat hak-hak perempuan serta masyarakat. Tapi, menurut advokat dan pengurus LBH Surabaya pos Malang Eva Tri Eva Oktaviani, RUU TPKS justru membuat perlindungan korban tidak terpenuhi.

“Kalau melihat materi yang ada di RUU TPKS, saya rasa belum bisa mengakomodir kebutuhan korban, karena penyelesaian hukumnya dibuat secara represif. Jadi, perlindungan hak dan pemulihan korban itu belum ada. Enggak hanya itu, ada banyak bentuk kekerasan yang akhirnya digabung ke Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Padahal, RUU PKS sebelumnya bahas soal hak aborsi, perbudakan. Masih ada lho, perbudakan seksual di daerah,” jelas Eva kepada TFR.

Maka, tak heran kalau RUU TPKS menimbulkan kontroversi, terlebih RUU itu merupakan hukum yang bersifat khusus. Kata Eva, bila ada RUU bersifat khusus, maka yang umum pun akan diabaikan, seperti penyembuhan korban. Eva juga menyadari bahwa perubahan ini justru membuat Indonesia semakin mundur dalam perlindungan dan pembelaan korban kekerasan.

“Tidak cuma itu saja. RUU TPKS ini juga akan berdampak ke penyelesaian masalah, apalagi sekarang ada aturan terbaru dari Polri. Aturan tersebut membuat pihak berwenang melakukan pendekatan restorative justice di mana proses penyelesaiannya melakukan mediasi. Mediasi itu kan kebutuhan pelaku, bukan korban,” tegas Eva.

Adanya imbauan tentang restorative justice untuk penyelesaian perkara membuat banyak korban kekerasan seksual menemukan “jalan buntu” dalam membela dirinya. Mediasi pelaku dan korban seksual bisa menambah trauma korban.

Inilah yang dialami Risa*. Ia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku, yang ditemuinya di aplikasi online. Usai kejadian, Risa pergi melapor ke polisi di kawasan Malang. Bukannya mendapatkan perlindungan, kisahnya diragukan oleh polisi.

*bukan nama sebenarnya

“Setelah kejadian aku melaporkannya ke polisi dan ada buktinya, ada visumnya. Aku juga ada pakaian yang aku kenakan, tapi yang membuat polisi ragu itu, tidak ada foto kebersamaan saya dengan pelaku,” tutur Risa.

Ucapan polisi itu akhirnya membuat Risa datang ke Jakarta. Di tangannya sudah ada hasil visum et repertum psikiatri dan visum et repertum, tapi bukti itu masih belum cukup juga bagi kepolisian di Jakarta. Semangatnya untuk mencari keadilan pun pupus.

Baginya, kekerasan seksual tak hanya merenggut kesehatan fisik saja, tetapi juga menimbulkan luka psikologis yang berefek jangka panjang. “Beberapa bulan itu aku mengalami gangguan secara komunikasi dengan orang lain, diajak bicara juga tidak fokus,” ujarnya. 

Menyadari dirinya terpuruk, Risa pun meminta bantuan hukum dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya, bantuan yang diberikan masih belum cukup. Pasalnya, ia kerap kali mendapatkan pertanyaan yang sama dan hal tersebut menimbulkan trauma.

Kelelahan emosional yang dirasakan Risa juga dialami korban lainnya. Maka, tak heran jika banyak korban yang enggan melapor.

NW (23), seorang mahasiswi asal Mojokerto, mengakhiri hidupnya pada 2 Desember lalu. NW sudah putus asa menghadapi perbuatan kekasihnya yang merupakan seorang anggota polisi berpangkat Briptu. 

Sebelum meninggal, NW melalui situs Quora mengaku bahwa kekasihnya memerkosanya dalam keadaan tidak sadar. Sebelum diperkosa, ia diberikan obat tidur terlebih dahulu.

Pelaku melakukan tindakan tersebut berkali-kali sampai akhirnya korban dua kali mengalami kehamilan tidak diinginkan. Sebanyak dua kali pula ia menggugurkan kandungannya. 

NW akhirnya meminta pertolongan dan pendampingan ke LBH Pertama Law. Namun, di tengah pengusutan kasus, NW menyerah lantaran dia mendapat tekanan dari pihak keluarganya untuk percaya kepada kekasihnya. 

Anak-anak juga sering menjadi korban kekerasan seksual. Adhisti* baru berusia 12 tahun ketika ia diperkosa tetangga panti asuhan tempatnya tinggal pada 19 November 2021. 

*bukan nama sebenarnya

Roro Dwi Umi, pendamping korban, mengatakan bahwa korban mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD). “Awalnya masih mengalami PTSD, ditandai dengan mimpi buruk , kehilangan nafsu makan, ketakutan, namun berangsur membaik,” lanjutnya. 

Roro pun membantu Adhisti untuk memulihkan dirinya dengan beragam upaya, mulai dari pendampingan hingga memberikan arahan untuk orang tua. Katanya, “Saat ini saya melakukan pendampingan dengan memberikan arahan kepada pihak orang tua yang saat ini bersama dedek untuk menerima kenyataan, tidak menyalahkan, dan memberikan rasa aman. Membantu dedek untuk relaksasi, belajar mengontrol ketakutan, belajar berpikir positif, menghilangkan pikiran negatif yang muncul,” ujarnya. 

Tapi, perlu disadari bahwa terkadang membutuhkan waktu untuk korban kekerasan seksual berani berbicara. Leo A Permana menjelaskan bahwa kasus yang tidak langsung dilaporkan biasanya masih mendapatkan waktu setidaknya enam hingga sembilan bulan.

“KUHPidana hanya mengatur tentang waktu daluwarsa mengajukan pengaduan ke pihak kepolisian (Pasal 74): Enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia; Sembilan bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri,” jelas Leo. 

Pentingnya undang-undang yang memihak korban 

Melihat kondisi korban kekerasan seksual yang kerap kali laporannya tidak direspon dengan sigap, Risa berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan RUU PKS atau hukum yang memihak korban. Sejauh ini, belum ada undang-undang yang sepenuhnya memihak korban.  

“RUU PKS ini sangat penting sebenarnya. Yang saya tahu, ketika terjadi kekerasan seksual, maka korban sangat membutuhkan dukungan. Korban sangat butuh perlindungan dan pemulihan, yang biayanya juga tidak sedikit. Keluarga korban butuh penguatan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan,” ujar Roro. 

Beberapa bulan lalu ada diskusi mengenai berubahnya arti RUU PKS menjadi RUU TPKS. Mengutip CNN, perubahan tersebut dinilai mengubah arti dari RUU PKS. Di dalam RUU PKS, ada filosofi upaya penghapusan kekerasan seksual. Artinya, segala bentuk upaya seseorang yang akan melakukan kekerasan seksual ditekan sehingga kekerasan itu tidak terjadi. 

Lembaga bantuan hukum juga perlu dukungan dari pemerintah 

Mariyam Jameelah, psikolog sekaligus relawan di Resister Indonesia, mengatakan bahwa lembaga bantuan hukum juga membutuhkan dukungan dari pemerintah. 

“Pendamping hukum itu juga terbatas, karena mereka juga menangani kasus-kasus yang tidak terhitung, istilahnya mereka nambal.” Mariyam mengibaratkan bahwa lembaga bantuan hukum bagaikan mengambil alih peran negara. 

“Karena sebenarnya posisi mereka (LBH) itu kan menggantikan peran negara yang gagal. Sementara, sudah tugas negara untuk melindungi masyarakat, untuk memastikan perempuan aman dari kekerasan, dari rasa takut. Dan masyarakat sipil mengambil peran itu. Kalau mereka kurang resource itu hal yang manusiawi,” tutur Mariyam yang juga sempat menjadi pendamping korban kekerasan seksual di Human Crisis Centre, Malang.


Artikel terkait


Berita