Wilayah abu-abu antara seni dan vandalisme dalam seni jalanan Indonesia

Ditulis oleh Nikita Purnama and Olive Nabila | Read in English

Semua berawal dari perburuan yang dilakukan pemerintah atas seniman di balik mural “Jokowi: 404 Not Found”. Selanjutnya, pemerintah menindak berbagai mural “kritis”, menghapus mural yang mereka anggap dapat mengancam ketenteraman daerah atau negara.

Berita itu membuka wacana mengenai demokrasi dan ekspresi diri.

“Kalau memang vandalisme, kenapa mural di samping ‘Jokowi: 404 Not Found’ tidak dihapus juga?” seorang pengguna Twitter menanggapi. Pertama-tama, penting untuk memahami bagaimana komunitas seni jalanan melihat vandalisme dalam kaitannya dengan karya.

Vandalisme, atau tindakan perusakan yang disengaja atas properti publik atau pribadi, dianggap sebagai tindak kejahatan di banyak negara. Namun, sejarah telah menyaksikan bagaimana vandalisme berhasil mendapat tempat dalam seni, atau lebih tepatnya dianggap memiliki aspek artistik. Pada masa Komune Paris pada tahun 1871, Gustave Courbet, presiden Federasi Seniman saat itu, menggulingkan patung Napoleon Bonaparte dari Kolom Vendôme. Pelukis itu menyatakan:

“Berhubung tiang Vendôme adalah monumen tanpa nilai seni apa pun, yang ekspresinya cenderung mengabadikan gagasan perang dan penaklukan dari dinasti imperial, tetapi yang menolak sentimen negara republik, warga negara Courbet menyatakan bahwa pemerintah Pertahanan Nasional harus mengizinkan dia untuk membongkar kolom ini.”

Dalam pembelaan pribadinya, muatan politik dalam patung itu mengalahkan tujuan artistiknya, yang membuat kehadirannya bertentangan dengan sentimen republik rakyat saat itu. Dalam konteks ini, jelas bahwa Coubert melakukan tindakan vandalisme untuk menyatakan gagasan yang menurutnya tepat pada saat itu. Ini dianggap sebagai salah satu bentuk artistik vandalisme paling awal.

Di Indonesia, seni vandalistik tidak pernah lepas dari pembentukan bangsa ini. Pada masa penjajahan, masyarakat melakukan seni vandalistik, seperti graffiti berisi kata-kata penyemangat, mural yang mengajak masyarakat untuk melawan, serta poster-poster di ruang publik. Dalam unggahan Instagram-nya, sejarawan Abel Jatayu memamerkan jejak-jejak seni jalanan vandalistik karya masyarakat Indonesia, khususnya di Salatiga, pada masa kolonial.

“Sejak agresi militer Belanda I dan II, ternyata masyarakat Salatiga aktif menggunakan ruang-ruang kota untuk menyuarakan keprihatinan mereka dan mengambil bagian dalam proses menuju kemerdekaan penuh,” tulisnya. Ia memposting foto-foto bangunan yang terbakar di kota tersebut, yang sengaja dihancurkan agar ketika Belanda menetap, mereka tidak dapat menggunakan fasilitas tersebut. Ada juga foto-foto poster stensil yang ditempel di dinding dan coretan-coretan berisi seruan untuk melawan para penindas.

“Secara pribadi, vandalisme menurut saya adalah jiwa seni jalanan,” kata Alodia Yap, seniman asal Salatiga yang telah berkecimpung di dunia seni jalanan dalam lima tahun terakhir. Menurutnya, vandalisme tertanam dalam seni jalanan dalam hal di mana dan bagaimana karya tersebut dibuat. Karena menempati ruang dan fasilitas publik dengan kepemilikan publik atau negara, seni jalanan bersifat vandalistik. Namun, wilayah abu-abu muncul ketika diskusi bergeser ke topik mengenai apakah seni jalanan berarti vandalisme.

Seni jalanan adalah istilah umum untuk semua bentuk seni tidak resmi atau independen yang dibuat di ruang publik agar bisa dilihat banyak orang. Bentuk yang paling umum mungkin adalah mural yang, menurut definisi, adalah seni yang dilukis atau diterapkan langsung di dinding, dan grafiti, yang merupakan kata-kata atau teks yang diterapkan di dinding atau permukaan publik. Namun, ada juga yang berbentuk instalasi seni. Banksy, misalnya, terkadang memadukan properti lain ke dalam karya muralnya.

Metode penerapan karya dapat bervariasi tergantung pada masing-masing seniman. Ada yang melukis langsung ke dinding atau menempelkan karyanya ke dinding dalam bentuk stiker, ada juga yang memilih wheatpasting -menggunakan lem berbahan dasar kanji untuk menempelkan karyanya di dinding-. Alat yang mereka gunakan juga beragam: cat semprot, stensil, kapur, atau bahkan bibit tanaman.

Alasan mengapa ruang publik menjadi tempat yang disukai untuk memamerkan seni semacam ini adalah karena penciptanya ingin masyarakat melihat seni mereka dan menyadari keberadaan mereka. Godmatter, seorang seniman visual yang berbasis di Bandung, mengatakan kepada TFR bahwa seni publik adalah jenis seni yang paling dekat dengan publik. “Untuk melihat bentuk seni lainnya, masyarakat harus masuk ke dalam kubus putih (galeri/museum), tidak seperti seni jalanan yang datang ke publik dan menjadi apa yang kita lihat sehari-hari,” katanya.

Tidak peduli apa yang disampaikan sebuah karya seni, orang yang melihatnya akan selalu memiliki interpretasi berbeda. Contoh lain dapat ditemukan pada seniman jalanan populer yang telah berhasil masuk ke galeri atau disponsori oleh lembaga negara atau perusahaan swasta. Godmatter menjelaskan, “Para seniman itu pasti memiliki peraturan yang dulu mereka lawan ketika mereka memutuskan untuk terjun ke seni jalanan.”

Dalam pengamatannya, lembaga-lembaga tersebut cenderung meremehkan proses yang dilalui seorang seniman sebelum mereka populer dan dikenal publik. Ketika seniman tersebut semakin populer, barulah pihak-pihak ini mulai mendukung mereka.

Ia juga melihat adanya disparitas dalam hal dukungan antara ide-ide tertentu yang direpresentasikan dalam karya-karya tersebut. “Sepertinya ide-ide yang dianggap 'baik', yang aman dari penghapusan, adalah yang tidak mengganggu ketertiban antara penguasa dan masyarakat umum," pungkasnya.

Ketika sebuah mural mengekspresikan ide yang tidak mengganggu tatanan yang ada, penguasa cenderung membiarkan saja. Namun, ketika ide yang tertanam dalam karya itu mengkritik tatanan yang ada, keberadaan karya tersebut dianggap buruk.

Pengamatan ini mencerminkan kenyataan yang ditunjukkan oleh penghapusan mural baru-baru ini di berbagai lokasi. Di Yogyakarta, mural “Dibungkam” di jembatan Kewek dihapus karena dianggap “provokatif” oleh pihak berwenang. Pemerintah menggunakan peraturan daerah tentang ketertiban umum sebagai dasarnya.

Yogyakarta dikenal sebagai kota yang ramah terhadap mural di ruang publik, seperti yang terlihat di kawasan Taman Sari. Tembok-tembok yang dulunya dianggap polos dan kotor kini dihiasi dengan berbagai mural dan grafiti karya 30 seniman jalanan lokal dan internasional. Proyek ini didukung oleh masyarakat setempat serta pemerintah daerah sebagai program peremajaan. Tidak seperti grafiti di jembatan Kewek, mural dan grafiti yang menghiasi dinding Taman Sari tidak dianggap sebagai ancaman.

Ini juga menandakan tempat seni jalanan di lanskap perkotaan Indonesia, baik sebagai dekorasi maupun polusi visual. Tidak ada yang membedakan keduanya, karena wilayah di antara keduanya adalah wilayah abu-abu.

Hukum di Indonesia tidak memberikan definisi yang jelas tentang vandalisme, sehingga menimbulkan ambiguitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan vandalisme sebagai perusakan karya seni dan barang berharga lainnya atau perusakan dengan kekerasan dan kekejian. Sementara itu, tindakan mencoret-coret/menulis/melukis di dinding memang menandai mediumnya, namun fungsinya tetap utuh.

Dalam berbagai peraturan, mural atau grafiti dikategorikan sebagai kejahatan ringan, yaitu pelanggaran terhadap tata tertib yang ada. Pemerintah menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk kasus-kasus ini. Di Yogyakarta, pemerintah menggunakan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.15/2018 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat. Kedua peraturan tersebut tidak secara khusus menggunakan kata vandalisme, melainkan “coret-mencoret”.

Pasal 489 ayat (1) KUHP sering digunakan untuk menangani kasus perusakan, seperti yang diterapkan pada pelaku perusakan MRT. Pasal ini menyatakan bahwa “kenakalan” terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak Rp225. R. Soesilo menyebut artikel ini sebagai “artikel keranjang” karena setiap tindakan yang menimbulkan bahaya atau kesusahan dapat dikenai pasal ini. Pada umumnya, kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana ini adalah biaya renovasi.

Pasal 20 Perda Yogyakarta No.15/2018 melarang setiap orang dan/atau badan melakukan aktivitas corat coret pada bangunan cagar budaya, fasilitas umum, jalan, bangunan, dan kendaraan/barang milik orang dan/atau badan, kecuali telah mendapat izin dari pemiliknya. Penjelasan Pasal 20 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan corat coret adalah perbuatan merusak dan/atau mencemarkan suatu barang dengan menggunakan cat atau bahan sejenis.

Bahkan Banksy, (bisa dibilang) seniman jalanan paling mapan di dunia, adalah seorang seniman jalanan dengan pesan anti-perang, anti-kapitalisme, dan anti-kemapanan yang tertanam dalam karya-karyanya. Pada tahun 1990-an, dia terus bermain kejar-kejaran dengan pihak berwenang. Periode ini diduga sebagai periode di mana dia beralih ke stensil untuk mempersingkat waktu kerjanya agar tidak tertangkap. Sekarang, karya seninya dihargai hingga jutaan dolar. Bahkan ketika pihak-pihak yang dia lawan terus berusaha mencari cara untuk menjatuhkannya, dia tidak berhenti "merusak" properti publik dengan kritikannya.

Alodia mendapati bahwa lanskap kota dan seni jalanan di Indonesia memiliki hubungan putus-sambung. “Ketika karya seni itu menyinggung penguasa, entah bagaimana karya itu melanggar peraturan yang ada,” katanya, “tetapi ketika sebuah karya membawa kebanggaan bagi kota dan mempercantik kota, pihak berwenang sering mengklaim bahwa mereka mengembangkan seniman jalanan lokal.” 

Ia menceritakan kejadian saat rekannya sesama seniman jalanan di Salatiga ditangkap paksa oleh polisi dan diperlakukan tidak manusiawi karena sebuah karya seni yang dianggap “buruk”. Tak lama berselang, para pejabat pariwisata menghubungi masyarakat untuk menyampaikan kesediaan mereka memfasilitasi kegiatan seni jalanan di kota tersebut.

Mustahil untuk mengabaikan paradoks yang mencolok itu. Seolah-olah orang lupa bahwa secara historis, ketika mengilhami sebuah ide, “seni jalanan menjadi media bagi orang-orang yang tidak memiliki sarana untuk menyuarakan pendapat mereka.”

Baginya, cara pihak berwenang menanggapi seniman jalanan yang mengekspresikan diri dan ide-ide mereka adalah menabur benih ketakutan. Di media massa, para seniman jalanan diberitakan “dicari” atau, seperti yang terjadi pada sesama seniman, “dijemput malam-malam” dan “dipukuli”. "Itu membuatku berpikir, 'oh, mereka bisa melakukan ini padamu hanya karena menggambar'," renungnya, "mereka menginginkan kita ketika kita memfasilitasi ide-ide mereka, tetapi mereka tidak akan menerima sisi kritis kita."

Godmatter menyoroti bahwa yang mengkhawatirkan tentang penghapusan karya seni jalanan bukanlah penghapusan itu sendiri, karena saling menutupi seni adalah praktik umum di kalangan seniman jalanan. Yang mengkhawatirkan adalah penyensoran ide-ide seniman; ini adalah bentuk penindasan terhadap ekspresi diri mereka. Namun, dia merasa bahwa saling tunjuk adalah tindakan yang kontraproduktif.

“Saya mengerti bahwa pihak berwenang hanya melakukan tugasnya, tetapi mustahil untuk tidak mengharapkan reaksi apa pun,” ujarnya.

Dia memilih membangun komunikasi dua arah dalam menanggapi benturan semacam ini, tetapi dia juga mengakui bahwa masalah menjadi semakin rumit ketika satu pihak menggunakan kekuatannya. Menggunakan paksaan terhadap orang-orang yang bereaksi terhadap penindasan yang mereka alami bertentangan dengan tujuan kemerdekaan negara. Semakin ditekan suatu masyarakat, semakin kuat reaksinya.

“Dengan dihapus, mural yang mungkin dianggap sebagai polutan visual oleh sebagian orang telah berhasil menyusup ke alam bawah sadar mereka sebagai bentuk perlawanan.”


Artikel terkait


Berita