Memahami perkembangan sejarah seni rupa modern Indonesia - Bagian 1

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Bila membicarakan tentang sejarah seni rupa modern Indonesia, kita tidak akan pernah bisa melepaskannya dari gejolak sosial dan politik yang berjalan bersamaan dengannya. Sejarah seni rupa modern di Indonesia mungkin terbilang lebih rumit dibanding sejarah seni Barat, mengingat perjalanannya yang tidak bergerak secara linier dari seni tradisi Indonesia yang telah ada bahkan dari masa pra-sejarah. 

Seni rupa modern yang dibahas adalah yang perkembangannya yang berawal dari Barat lalu dibawa ke Indonesia oleh kolonial, karya dengan bentuk lukisan, patung, instalasi, dan lain sebagainya. Kita dapat melihat perkembangan sejarah seni rupa Barat mulai dari masa Yunani ke periode renaisans, modern, post-modern, hingga karya-karya kontemporer “kini”. Pemikiran, sikap kritis, dan inovasi selalu berkaitan erat dengan perkembangan seni rupa modern.

Seni rupa dengan teknik seperti di Barat mulai masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada abad ke-19. Kala itu, ada seorang pelukis bernama Raden Saleh yang belajar melukis di Eropa. Jakob Sumardjo dalam tulisan “Asal Usul Seni Rupa Modern Indonesia” menyebutkan bahwa jejak Raden Saleh kemudian menjadi pondasi perkembangan seni rupa modern Indonesia. 

Politik Etis” yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda pada awal abad ke-20 mendorong semangat nasionalisme yang selanjutnya nampak dalam perkembangan pemikiran dan semangat nasionalisme bagi segenap pemikir di Indonesia. Dalam seni rupa, usaha untuk menemukan citra ke-Indonesia-an dalam kesenian terus bergulir, dengan tetap mempertahankan teknik seni rupa Barat.

1. Sang perintis: Raden Saleh (1830)

Selama masa kolonial, teknis melukis menjadi salah satu hal yang diturunkan. Sejumlah pelukis Indonesia lahir, salah satunya Raden Saleh yang berasal dari keluarga bangsawan. Perkembangan awal seni rupa modern Indonesia dapat ditinjau dari keberangkatannya ke Eropa untuk belajar melukis.

Raden Saleh menjadi pelukis modern Indonesia pertama yang tercatat belajar melukis di Eropa. Ia mengadaptasi gaya natural dan romantis dari Barat. Ia mendapat bimbingan dari pelukis Antonio Payen (Belgia), A. Schelfhout (Belanda), dan C Kruseman (Den Haag). Raden Saleh dikenal melalui kecakapannya dalam melukis potret dan binatang. Gaya lukisan Horace Vernet memberi pengaruh besar dalam lukisan Raden Saleh yang kemudian dikenal dengan gaya romantis. 

Foto: Antara Hidup dan Mati (1870) oleh Raden Saleh

Semasa Raden Saleh menjadi residen di beberapa kota di Eropa, ia kerap mendapat pesanan lukisan potret. Beberapa karyanya ditampilkan dalam Rijksmuseum di Amsterdam. Pada 1931, Raden Saleh menggelar pameran tunggal di Paris. Sayangnya, pada kesempatan itu, sebuah paviliun kolonial Belanda hangus terbakar sehingga beberapa karya terpentingnya turut lenyap dalam kobaran api.

2. Kemunculan gaya naturalis: Mooi Indie (awal abad 20)

Pada awal abad ke-20, muncul lukisan-lukisan cantik yang menggambarkan bentang alam Indonesia. Latar langit yang indah, gunung yang menjernihkan mata, dan tatanan flora yang menyejukkan; mungkin ini yang menimbulkan gambar dua gunung, matahari dan sawah yang tertanam di benak kebanyakan anak-anak di Indonesia. 

Istilah “Mooi Indie” (Hindia Molek) sebenarnya adalah sindiran S. Sudjojono terhadap karya yang hanya menggambarkan keindahan alam Indonesia. Kecenderungan ini dapat kita lihat dalam lukisan sejumlah seniman seperti Mas Pirngadie (Jakarta), Abdullah Suriosubroto (Parahyangan), dan Wakidi (Sumatera Barat). 

Foto: Pemandangan Gunung (1935) oleh Abdullah Suriosubroto dari IVAA

Gaya Mooi Indie mendapat pengaruh dari para pelukis kolonial, seperti dikutip dari tulisan Jim Supangkat “Indonesian Heritage”. Mereka membayangkan bentang alam Indonesia sebagai objek yang eksotis, yang kemudian dijadikan cinderamata oleh para kolonial yang dibawa ke pulang ke negeri asalnya. Jim menyebutnya sebagai lukisan yang dangkal, molek (cantik), dan sebagai peruntukan wisata. Pengaruh ini, menurut Jim, kemudian memunculkan mentalitas kolonial di antara para pelukis pada masa tersebut.

Foto: View of Javanese Kampoeng (1919) oleh Mas Pirngadie dari Mutual Art

Terlepas dari perdebatan mengenainya, masa ini membuktikan perkembangan artistik para seniman Indonesia yang mengambil turunan dari gaya romantis dan naturalis yang berkembang di Barat. 

3. Peran penting asosiasi seni: 1920an-1940an

Perkembangan pemikiran para pemuda Indonesia pada masa ini melahirkan kelompok-kelompok kesenian yang menjunjung sikap nasionalis. Pergulatan untuk mencapai citra ke-Indonesia-an dalam kesenian menjadi tujuan utama dengan mengutamakan pemikiran kritis. Kelompok dan organisasi yang lahir turut berperan dalam perkembangan politik Indonesia yang dramatis dari masa jajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga masa kemerdekaan.

  • TAMAN SISWA (1922)

Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, menawarkan sistem pendidikan alternatif. Taman Siswa mendorong siswa-siswanya untuk mengusung semangat nasionalisme. Kurikulumnya berhasil mencetak siswa-siswa dengan pikiran independen nan kritis tanpa adanya paksaan informasi yang disuapkan. 

Taman Siswa yang menjunjung keterampilan kesenian melahirkan sejumlah seniman dan segala pemikirannya. Mewarnai skena seni rupa Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh para pelukis kolonial Belanda, mereka aktif berkegiatan di Bataviasche Kunstkring, tempat organisasi seni yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda di Jakarta.

  • PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia-1938)

PERSAGI lahir di sebuah gedung sekolah dasar di Gang Kaji, Jakarta. Organisasi tersebut diketuai oleh Agus Djaja Suminta dengan sekretaris S.Sudjojono dan beranggotakan sejumlah seniman lainnya. Gerakan ini menjadi pijakan pertama dari gagasan dan praktik artistik seni rupa Indonesia, dengan tujuan mencari sintesis dari lukisan tradisional dan modern. (IVAA) 

PERSAGI dipengaruhi oleh tiga kondisi utama: pertama, dorongan untuk mencapai kemerdekaan; kedua, kondisi kebudayaan yang dipenuhi dengan pemikiran segar nan revolusioner yang dimuat dalam sejumlah media; terakhir, latar belakang sekolah para anggotanya yang belajar di Taman Siswa. 

Foto: Perusing a Poster (1956) oleh Sudjojono dari IVAA

Pemikiran yang dituangkan PERSAGI, yang disebut oleh S. Sudjojono sebagai “jiwa tampak”, menghasilkan kecenderungan lukisan dengan gaya realisme; menangkap isu dan kondisi sosial masyarakat senyatanya demi melahirkan corak yang bercirikan ke-Indonesia-an.

Lukisan-lukisan mereka dipamerkan di Bataviasche Kunstkring (1941) setelah sebelumnya ditolak. Pada Maret 1942, PERSAGI dibubarkan Jepang dengan penggabungan seluruh organ perjuangan ke dalam POETERA (Poesat Tenaga Rakyat). (IVAA)

  • Pendudukan Jepang - POETERA, Keimin Bunka Shidoso

Semasa pendudukan Jepang di Indonesia, sejumlah ahli, penulis, dan seniman terkemuka terlibat dalam organisasi-organisasi yang dibangun, yaitu POETERA (Poesat Tenaga Rakyat—1942) dan Keimin Bunka Shidosho (Institut Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat—1943). Keimin Bunka Shidosho termasuk ke dalam agenda Jepang membentuk Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. 

Berdasarkan tulisan Antariksa yang dimuat dalam situs Biennale Jogja, organisasi-organisasi yang terbentuk menjadi sarana untuk menyebarkan dan menginfestasikan ide-ide nasionalisme dan kemerdekaan kepada masyarakat, mendorong kesadaran akan kekuatan seni dan kolektivitas dalam dunia politik. 

Keberhasilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Soekarno menjadi salah satu kunci bergabungnya para seniman dalam sejumlah proyek perang Jepang. Jepang menyediakan beragam material lukis dan kursus bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia di berbagai kota. Begitu juga pameran, lomba, dan pemberian penghargaan kesenian. Hal tersebut mendukung terjadinya ledakan jumlah seniman di Indonesia selama periode singkat pendudukan Jepang. 

Sejumlah seniman Indonesia yang turut berperan dalam kedua organisasi ini adalah S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan Henk Ngantung, dan Mochtar Apin.

Foto: Memanah (1944) oleh Henk Ngantung dari IVAA

Selanjutnya, sejumlah kelompok kesenian terbentuk, dimulai dari Pelukis Front (1945) yang menggambarkan kejadian-kejadian perang yang kala itu sedang gencar di sekitaran Bandung.

Lalu ada kelompok Gelanggang yang melahirkan Manifesto Gelanggang yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan kami teruskan dengan cara kami sendiri”. Pada 1946, muncul Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Pelukis Rakyat yang menghasilkan sejumlah karya anti-kolonial Belanda.

Foto: ilustrasi oleh Mochtar Apin (1946) dari IVAA

Berbeda dengan gerakan lainnya, Gabungan Pelukis Indonesia (GPI—1948) percaya bahwa seni semestinya dipisahkan dari politik. Alasan perbedaan pandangan tersebut mendorong Affandi, yang selanjutnya diikuti oleh Sutiksna, Zaini, Oesman Effendi, dan pelukis lainnya, untuk membentuk GPI. 

Pelukis Indonesia didirikan pada 1950 oleh Kusnadi, Sumitro, dan Sasongko, yang sebelumnya tergabung dalam Pelukis Rakyat.

4. Kemunculan akademi seni rupa

  • ITB - Institut Teknologi Bandung

Pendidikan seni pertama di Indonesia ini didirikan di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia atas inisiatif Simon Admiral dan rekannya,. Diresmikan dengan nama Universitaire Leergang Voor de Opleiding van Tekenleraren (1947), sekolah ini kemudian menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Sekolah ini memberi andil besar dalam paham modern dalam pendidikan seni.

Foto: Dokumentasi Universitaire Leergang Voor de Opleiding van Tekenleraren dari Tropenmuseum

Ries Mulder, penyusun silabus mata kuliah praktik drawing, memberikan pengaruh besar dalam pembentukan gaya dan kecenderungan murid-muridnya. Ia memperkenalkan gaya kubisme, melahirkan gaya abstrak geometris dari Barat kepada sejumlah muridnya, yang kala itu bertolak belakang dengan kecenderungan figuratif dan nasionalis yang dicanangkan Soekarno. Kita dapat melihat gaya ini dalam karya-karya pelukis seperti Srihadi Soedarsono, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Mochtar, dan Sudjoko.

Foto: Gereja di Bandung (1958) oleh Ries Mulder dari Wikipedia

Ketika pameran pelukis Bandung (1954) berlangsung, Jakob Sumardjo menyebutnya sebagai “Laboratorium Barat”, menyindir kuatnya karakter Barat dibanding karakter nasionalis yang bertebaran di Yogyakarta.

Foto: Gunungan Pertama (1969) oleh Ahmad Sadali dari IVAA

  • ASRI - Akademi Seni Rupa Indonesia

ASRI didirikan oleh pemerintah Indonesia pada 1950 untuk mencari corak Indonesia dan mempromosikan kesenian dan kebudayaan Indonesia. ASRI dikepalai oleh sejumlah seniman, seperti Hendra Gunawan, R.J. Katamsi, dan Djajengasmoro. Mayoritas pengajarnya adalah pelukis otodidak dan dipengaruhi oleh para pelukis yang telah membangun sanggar, seperti Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan.   

Foto: Menyisir Sambil Menyusui oleh Hendra Gunawan dari The Jakarta Post

Meski model pengajaran kesenian Belanda diterapkan, berbeda dengan ITB yang kemudian menghasilkan kecenderungan universal, ASRI mementingkan identitas nasional dengan memerhatikan seni tradisional. Gaya figuratif, realis, dan ekspresionis mendominasi dalam karya-karya yang dihasilkan. Karakter ke-Indonesia-an nampak jelas dalam pilihan subjeknya, seperti lukisan pemandangan, masyarakat, dan mitologi lokal.

Foto: Buroq (1968) oleh Widayat dari IVAA

  • IKJ - Institut Kesenian Jakarta

Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bertempat di kawasan Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Didirikan atas mandat Ali Sadikin pada 1968 sebagai wadah untuk seni pertunjukan, seni rupa, dan perfilman. Model pengajaran di IKJ berkisar pada lokakarya dari para seniman. Kepekaan terhadap sekitar dan kecakapan teknis menjadi fokus pengajaran. IKJ menjadi sekolah seni pertama yang membuka mata kuliah kriya yang mengacu ke model pengajaran Barat, yang menjadi jembatan antara seni tradisi Indonesia dengan seni modern.

Foto: Lukisan oleh Sulebar Soemarkan dari IVAA


Artikel terkait


Berita