Indonesia tanpa ulasan: hantu tuduhan pencemaran gentayangan

Read in English

Berawal dari niat untuk membagikan pengalaman setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan, kini Stella Monica harus menjalani proses hukum lantaran dituntut melakukan pencemaran nama baik. 

Awalnya, Stella dikabarkan timbul jerawat di wajah akibat mencoba-coba produk perawatan kulit. Ia lalu mencari klinik kecantikan untuk menyembuhkan wajahnya. Dari berbagai rekomendasi klinik, ia menjatuhkan pilihan pada klinik L’Viors di Surabaya.

Stella kemudian menjalani perawatan selama kurang lebih 9 bulan, dari Januari 2019 hingga September 2019. Menurut Safenet, pada Oktober 2019 Stella memutuskan untuk berhenti melakukan perawatan di klinik L’Viors karena ia menduga kulitnya mengalami ketergantungan terhadap obat racikan yang diberikan klinik tersebut dan mulai berkonsultasi dengan dokter lainnya.

Di sinilah awal permasalahan terjadi. Stella mengunggah percakapan dengan dokter tersebut ke dalam story Instagramnya (Desember 2019). Pada dasarnya, unggahan tersebut berisi curahan hati Stella yang menceritakan kondisi kulitnya yang meradang setelah melakukan perawatan. Unggahan tersebut ditanggapi oleh teman-teman Stella yang ternyata mengalami kejadian serupa karena melakukan perawatan di klinik yang sama. 

Proses perawatan yang dijalani Stella di klinik L’Viors termasuk penyuntikan jerawat yang susah keluar. Ia sempat beberapa kali terlambat menebus obat yang membuat kulitnya kembali berjerawat. Dari sinilah dugaan ketergantungan tersebut muncul. Konsultasi dengan dokter baru menyebutkan bahwa jerawatnya sudah pada tingkat yang parah akibat ketergantungan obat racikan dan butuh waktu satu tahun untuk sembuh.

Satu bulan kemudian, Stella menerima surat somasi dari pengacara klinik L’Viors. Stella dinilai telah melakukan framing terhadap klinik L’Viors karena membagikan komentar dari teman-temannya yang bernuansa negatif. Akibat unggahan tersebut, klinik L’Viors banyak mendapat telepon dari orang-orang yang menanyakan perihal keluhan Stella.

Kuasa hukum klinik L’Viors menjelaskan bahwa seharusnya, jika Stella merasa tidak puas dengan perawatan yang diberikan, ia mengajukan komplain kepada dokter yang menanganinya, bukan menuduh di media sosial yang dapat dikomentari siapa saja. Pasalnya, orang-orang yang berkomentar belum tentu paham dengan permasalahan yang terjadi.

Dalam percakapan dengan The Finery Report, Stella menjelaskan bahwa pada saat itu, akun Instagramnya berada dalam mode privat atau terkunci, sehingga hanya orang-orang yang mengikutinya saja yang bisa melihat unggahan tersebut. Ketika itu, Stella memiliki pengikut sekitar 2.000 orang. Menurutnya, pandangan pihak klinik L’Viors yang menyebutkan bahwa unggahan Stella dapat diketahui oleh masyarakat kota Surabaya tidaklah benar karena unggahan tersebut saja dibagikan di Instagram.

Hingga saat ini proses hukum masih berlanjut di Pengadilan Negeri Surabaya. Per tanggal 21 Oktober 2021, penuntut umum (PU) menuntut Stella dengan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Tuntutan ini menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Juru bicara Koalisi Masyarakat Pembela Konsumen (KOMPAK) Anindya Sabhrina dalam wawancara bersama The Finery Report menjelaskan bahwa tuntutan tersebut tidak adil. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa: pertama, Stella tidak menyebutkan nama klinik tempat ia melakukan perawatan.

“Tidak tepat apabila Stella dipidana karena melakukan review produk kecantikan karena ia hanya mengunggah curhatan,” tuturnya. “Ini sama saja dengan kita yang biasanya curhat kepada teman melalui group chat. Percakapan tersebut yang diunggah Stella,” jelas Anindya. Di sini, Stella tidak sedang melakukan review dan tidak menyebutkan nama klinik.

Kedua, Anindya menilai putusan yang digunakan PU sebagai rujukan atau yurisprudensi tidaklah tepat. Pasalnya, kasus yang digunakan sebagai rujukan adalah kasus yang dialami Jerinx, drummer band Superman Is Dead, yang memiliki dakwaan yang berbeda. Jerinx didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 54 A ayat (2) UU ITE terkait SARA. Sementara, Stella dituntut atas kasus pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Pasal pencemaran nama baik merupakan bagian dari delik penghinaan yang diatur dalam Pasal 310-Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tentunya, ini adalah perbuatan yang berbeda bila dibandingkan dengan definisi ujaran kebencian yang didakwakan kepada Jerinx.

Selain itu, dalam tahap pembuktian persidangan, pihak Stella menghadirkan saksi ahli pidana Ahmad Sofian yang menilai bahwa perbuatan Stella tidak dapat dijerat UU ITE karena tidak ditemukan unsur pidana di dalamnya. Dalam tuntutannya, PU juga tidak menguraikan unsur-unsur dari Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai dasar rujukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana dijelaskan dalam SKB UU ITE.

Pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) SKB UU ITE juga menyebutkan bahwa tidak termasuk sebagai pencemaran nama baik apabila konten yang didistribusikan merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan. 

SKB UU ITE juga menjelaskan bahwa bentuk pengaduan yang dianut oleh Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik absolut, yang berarti bahwa hanya korban saja yang dapat mengajukan pengaduan. Korban yang diakui oleh UU adalah perseorangan, bukan korporasi. Hal ini yang kemudian menjadi bentuk ketidakadilan yang ketiga menurut Anindya, karena yang melakukan pengaduan adalah klinik L’Viors yang merupakan sebuah badan usaha.

Titik fokus Pasal 27 ayat (3) UU ITE ada pada perbuatan pelaku yang dengan sengaja mendistribusikan informasi yang menyerang kehormatan seseorang dan bukan pada perasaan korban. Maka dari itu, yang seharusnya menjadi topik perhatian adalah niatan Stella ketika membagikan curhatannya: apakah perbuatan tersebut ditujukan untuk menyerang kehormatan pihak L’Viors, atau hanya sebagai konsumen yang membagikan pendapatnya.

Dilansir dari SuaraSurabaya, kuasa hukum klinik L’Viors HK Kosasih menyatakan bahwa seharusnya pihak Stella dikenakan tuntutan yang lebih tinggi karena perbuatannya membawa dampak kerugian materiil yang tidak sedikit bagi klinik tersebut. Menurutnya, hal ini akan memberikan efek jera bagi Stella dan siapa saja agar bijak dalam menggunakan media sosial.

Selain permasalahan terkait pencemaran nama baik, curhatan Stella seharusnya dikaji juga dari  kedudukan Stella sebagai seorang konsumen. Anindya menjelaskan bahwa “semua review yang disampaikan oleh konsumen dilindungi oleh hukum, khususnya UU Perlindungan Konsumen”. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf d UU Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk didengar keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

Sampai saat ini, belum ada putusan yang diberikan oleh hakim terkait kasus ini.

Koreksi: Tahun pada kalimat pertama di paragraf ketiga ‘Stella kemudian menjalani perawatan selama kurang lebih 9 bulan, dari Januari 2019 hingga September 2020’ adalah 2019. Kami telah memperbaiki angka tersebut.


Related articles


News