Mundut Mustopa dan gerakan streewear lokal

Read in English

“Awalnya pertanyaan ‘berapa harga outfit lo?’ itu, saya nonton dan nge-fans sama salah satu channel YouTube, tapi dia kebanyakan (mengulas) brand-brand luar, jadi saya mau coba buat ah, karena belum ada yang membuat ‘berapa harga outfit lokal’ nih. Karena saya ikut beberapa komunitas dan saya juga punya organisasi. Iseng juga awalnya,” Mundut Mustopa bercerita kepada The Finery Report.

Mundut Mustopa, pemuda yang saat ini berdomisili di Karawang dan terkenal karena ulasannya yang khas dengan pertanyaan andalan ‘berapa harga outfit lo?’ ini telah melesat menjadi salah satu ‘wajah’ dari skena streetwear lokal, terutama untuk konsumen menengah ke bawah. Bagi sebagian orang, nama Mundut Mustopa mungkin pertama kali didengar ketika dirinya menjadi bagian dari skit atau lakon pendek komika kondang Pandji Pragiwaksono, di mana sang komika menyebut kanal Mundut sebagai kanal yang wajib dikunjungi ketika kita sedang merasa sedih.

Dalam lakon pendek yang sama, Pandji juga menggarisbawahi komentar-komentar mengolok-olok yang kerap muncul di berbagai unggahan Mundut. Namun, Mundut, walau usianya masih terbilang sangat muda, dapat menanggapi berbagai olokan itu dengan dewasa. Bahkan, dirinya sempat membuat kolaborasi konten bersama Pandji. Tanpa disadari, Mundut telah menjelma menjadi ikon streetwear yang menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia kalangan menengah ke bawah. 

Bukan sesuatu yang mengejutkan apabila kalangan menengah ke bawah memiliki ketertarikan khusus terhadap tren fesyen dan berbusana. Pasalnya, menurut Indonesian Fashion Chamber (IFC), kelas menengah dan kelas bawah adalah kalangan yang paling tertarik mengikuti tren. Hal itu karena kelas menengah dan atas sudah memiliki kriteria dan merek tersendiri dalam memilih pakaian.

Ketika membahas streetwear, tentu ada beberapa istilah yang tidak bisa lepas dari sorotan, seperti hypebeast. Hypebeast adalah sebutan untuk pengguna barang-barang yang sedang hype atau trendi ketika diluncurkan. Kata ini sering digunakan sebagai slang untuk menggambarkan seseorang yang terobsesi (beast) dan melakukan segala cara untuk mendapatkan merek-merek fesyen yang sedang tren untuk mencapai hype tersebut. 

Uniknya, di kalangan pecinta streetwear, aktivitas yang kerap dilakukan adalah hypethrift, yang pada dasarnya adalah membeli dan memakai pakaian bekas yang biasanya dibeli di thrift shop atau toko barang bekas. Mundut pun berkomentar tentang fenomena thrifting dan perannya dalam ranah streetwear lokal. “Menurut saya sekarang makin bertambah sih peminat brand lokal, karena kita bersaing sama beberapa thrifting-an. Karena thrifting juga salah satu bagian dari streetwear,” tuturnya. 

Fenomena thrifting sesungguhnya bertolak belakang dengan asal muasal hypebeast yang kini erat dengan merek mewah kelas atas dengan harga tinggi. Hal ini disebabkan makin banyak kolaborasi label streetwear dengan label busana atau aksesoris mahal karya desainer ternama, sebut saja kolaborasi rumah mode Louis Vuitton dengan Supreme atau Dior dengan Nike. 

Dalam sejarahnya, streetwear banyak dikaitkan dengan komunitas papan seluncur, juga dengan komunitas hip hop. Karena merupakan gaya berpakaian kaum urban, streetwear merupakan pakaian yang cenderung nyaman dan berpotongan simpel, misalnya hoodies dan kaus. Dalam kaitannya dengan hip hop, awalnya gaya berpakaian ini merupakan bentuk penolakan terhadap sistem kapitalis industri fesyen yang kemudian menjadi sebuah budaya. Pada intinya, streetwear bukan sekadar gaya berpakaian, melainkan ekspresi budaya dan salah satu alat komunikasi non-verbal yang dapat menyampaikan berbagai hal di balik penggunaannya. 

Dalam sebuah riset yang meneliti budaya streetwear di Surabaya, ditemukan bahwa aktivitas konsumsi streetwear remaja urban di kota Surabaya adalah aktivitas konsumsi individu yang mengonsumsi suatu barang atau objek yang tidak berdasarkan nilai guna,  melainkan berkaitan dengan unsur simbolik yang mewakili kebudayaan, kelas, gender, dan status sosial yang terdapat dalam artefak kebudayaan yang mereka konsumsi. 

Bisa disimpulkan, unsur komunitas memegang peran penting dalam budaya streetwear, dan Mundut mengamini hal itu. “Saya ikut organisasi clothing, saya juga sering datang ke event-event clothing,” tutur Mundut.

Meski begitu, Mundut mengakui aktivitas komunitas streetwear yang dilakukannya agak berubah sejak pandemi COVID-19 melanda, “Kalau dulu kebanyakan visit ke store, datang untuk membeli dan promosi. Ada beberapa event juga di luar kota dan di kota Mundut juga ada. Sering melakukan meet-up brand lokal juga, kalau sekarang tuh lebih ke dengan media membahas (streetwear). Lagi corona kayak gini 'kan susah ada event, visit store juga 'kan jarang,” tambahnya.

Dalam komunitasnya, ada beberapa merek yang cukup digandrungi, di antaranya Leaf, Dreambirds, EFG, dan saat ini Erigo. Merek-merek lokal yang disebut Mundut saat ini tidak hanya terkenal di Tanah Air, tetapi juga sudah merambah mancanegara. Erigo, misalnya, awalnya didirikan di Jawa Barat pada 2011. Sejak April 2021, Erigo mulai melebarkan sayap untuk menjamah pasar Amerika Serikat. Pendirinya, Muhammad Sadad, pun sempat mengunggah iklan merek Erigo di Times Square, New York, beberapa bulan yang lalu.

Begitu pula dengan Dreambirds. Label yang sudah hadir sejak tahun 2009 ini pun sudah merambah pasar mancanegara, terutama negara-negara Eropa. Hal unik yang ditawarkan Dreambirds dalam produk-produknya adalah sisipan karya seni dalam rangkaian produknya. Saat ini, Dreambirds merupakan merek independen yang masih menjual produknya secara terbatas. Hal ini karena para pendirinya meyakini bahwa tiap orang ingin memiliki penampilan yang unik.

Yang jelas, kesuksesan berbagai merek streetwear lokal di pasar dalam negeri maupun mancanegara tidak lepas dari dukungan komunitas streetwear lokal, yang menurut Mundut kerap berperan sebagai duta tidak resmi untuk banyak merek lokal. 

“Hal menarik tentang komunitas streetwear di Indonesia yang tidak banyak orang tahu adalah mereka men-support brand-brand lokal, menurut saya. Terus mereka membeli, mempromosikan juga, mereka mengembangkan brand-brand lokal,” tutur Mundut. Komunitas-komunitas ini pun gencar memberikan informasi tentang merek-merek baru yang mereka temukan sehingga orang lain tahu akan keberadaan merek-merek tersebut.

Sepertinya sudah saatnya produksi Indonesia menunjukkan kiprahnya di kancah lokal dan internasional, karena kesempatan sudah terbuka lebar, dan komunitas streetwear Indonesia siap mendukung dengan cara mereka sendiri. 


Artikel terkait


Berita