Menghidupkan kembali bangunan bersejarah dalam tempat usaha

Ditulis oleh Diva Tasya and Nikita Purnama | Read in English

Di balik deretan gedung pencakar langit yang menawan dan hiruk pikuk proyek-proyek MRT/LRT, kita masih dapat melihat berbagai bangunan kuno bertebaran di Jakarta yang berkembang pesat ini. Bangunan-bangunan paling terkenal biasanya merupakan gedung pemerintah yang berfungsi penuh, seperti Istana Merdeka, atau Paleis te Koningsplein, yang dibangun pada tahun 1879 untuk gubernur jenderal Hindia Belanda sebelum digunakan oleh presiden Indonesia. Kota ini juga memiliki beberapa rumah ibadah yang dibangun di masa yang lebih lampau, seperti gereja Sion yang dibangun pada tahun 1695 dan gereja Immanuel yang dibangun pada tahun 1893.

Revitalisasi dan alih fungsi bangunan antik bukanlah hal yang aneh. Istana seringkali memiliki makna sejarah yang berkorelasi dengan nilai-nilai luhur dan identitas sejarah suatu negara. Beberapa bangunan direvitalisasi sebagai pengingat aspek-aspek tersebut dan bagi komunitas lokal untuk mempelajari sejarah mereka. Museum Sejarah Jakarta dulunya merupakan Stadhuis Batavia atau balai kota, yang dibangun pada tahun 1710. Bangunan tersebut direvitalisasi dan dialihfungsikan untuk tujuan pendidikan dan telah melalui renovasi.

Namun, bisa kita lihat bahwa semakin banyak bangunan antik yang diubah menjadi ruang publik untuk tujuan komersial. Salah satu nama terkenal yang sudah sejak lama melakukan revitalisasi ini adalah Tugu Group. Di Jakarta, grup ini memiliki lima bangunan: Tugu Kuntskring Paleis & Suzie Wong Lounge, Dapur Babah Elite & Tao Bar, Tugu Lara Djonggrang & La Bihzad Bar, Shanghai Blue 1920, serta Kawisari Cafe & Eatery.

Fasilitas bersejarah yang direnovasi berhasil menarik pelanggan yang junlahnya semakin meningkat, terutama di daerah perkotaan seperti Jakarta. Tren ini dimulai sejak sekitar tahun 2000, ketika kelas menengah mulai merasa bosan dengan mall ber-AC dan mencari alternatif.

Kesadaran mengenai dan apresiasi terhadap bangunan bersejarah di Indonesia terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir, yang menjelaskan kenapa kesempatan bisnis dari renovasi bangunan terus meningkat pesat.

Foto: Tugu Kunstkring Paleis

Foto: Tugu Kunstkring Paleis

Tugu Kunstkring Paleis mungkin merupakan salah satu bangunan milik Tugu Group yang paling terkenal sampai sekarang karena lokasinya di pusat kota Jakarta dan peran aktifnya dalam menyelenggarakan banyak pameran dan acara seni. Bangunan ini dulunya menampung Fine Arts Circle of the Dutch East Indies atau Nederlandsch-Indische Kunstkring of the Dutch East Indies dan dibuka pada tahun 1914.

Pada tahun 1934 dan 1939, bangunan tersebut menampilkan karya berbagai seniman terkemuka, seperti Vincent van Gogh, Paul Gauguin, dan Mark Chagall. Bangunan itu dibuka kembali dengan nama baru pada tahun 2013 oleh Tugu Group dan menjadi ikon misi perusahaan itu: seni, jiwa, dan romansa Indonesia.

Namun, aspek sejarah dari sebuah bangunan tidak pernah menjadi prioritas Tugu Group. Menurut Stephanie, manajer komunikasi Tugu Group, tidak semua bangunan yang direvitalisasi dan difungsikan memiliki aspek sejarah yang penting. Grup ini bertujuan untuk menjaga dan mempopulerkan cerita sejarah, estetika, dan pengaruh Indonesia melalui bangunan yang dimilikinya.

“Bahkan ketika kami menggunakan bangunan  modern, kami masih akan membangun struktur antik di dalamnya,” jelasnya. Renovasi semacam itu dilakukan agar pengunjung dan tamu dapat menjelajahi sejarah dan seni Indonesia yang dihadirkan dalam suasana yang menyenangkan dan romantis.

Shanghai Blue 1920 adalah contoh dari pernyataan ini. Meskipun dibangun pada zaman modern, bar dan restoran itu hadir dalam estetika Peranakan yang cerah dan penuh warna untuk merepresentasikan sejarah sederhana warung yang dibangun oleh keluarga seorang pelaut asal Shanghai, Nko Mo San, yang menikahi wanita lokal, Siti Zaenab, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Chan Mo Sang pada abad ke-19 Sunda Kelapa. Warung tersebut dikenal sebagai Shanghai Tea House.

Foto: Shanghai Blue

Foto: Shanghai Blue

Warung tersebut terkenal tidak hanya di kalangan pelaut, namun juga pengedar opium dan bajak laut. Warung itu adalah tempat yang ramai dengan berbagai macam pertemuan bisnis di pagi hari dan musik serta tarian di malam hari. Setelah warung itu tutup, semua elemen bangunan ini disimpan di Kota Tua sampai berganti kepemilikan ke Tugu Group dan direkonstruksi menjadi bangunan yang ada saat ini.

Shanghai Blue 1920 itu mencerminkan sejarah ini melalui kombinasi warna merah dan biru dengan pencahayaan yang hangat dari bohlam kuning dan lentera merah. Sejarah juga dicerminkan dalam interior eklektik dengan furnitur bergaya Jawa/Betawi/Belanda, lukisan Barat, foto-foto bangunan dan masyarakat Peranakan, sampai ke detail terkecil pada ubin, patung, dan dekorasi.

Jenis bisnis bangunan ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana sifat kepemilikan atas bangunan kuno yang direvitalisasi untuk tujuan komersial?  “Sebagian besar adalah milik pribadi, tapi ada beberapa yang merupakan milik negara, didesain dan dikelola oleh Tugu Group,” jawab Stephanie. Hal ini menggambarkan kemungkinan untuk memiliki bangunan antik atau bersejarah di Indonesia dengan menunjukkan bukti kepemilikan berupa Eigendom Verponding, yaitu sertifikat tanah kolonial yang dapat diubah menjadi sertifikat tanah resmi.

public.jpeg

M Bloc Space, sebuah pusat kreatif terkenal yang terletak di Melawai, Kebayoran Baru, juga dianggap sebagai bangunan bersejarah yang direvitalisasi. Sebelum grand opening-nya pada September 2019, gedung ini kosong selama lebih dari 20 tahun.  Sampai tahun 1995, bangunan tersebut dikenal sebagai Peruri, badan usaha milik negara yang mencetak uang kertas Indonesia. Sekarang, M Bloc Space berfungsi sebagai pusat bagi komunitas kreatif, menawarkan pengunjung berbagai macam makanan, kopi, musik, barang-barang lokal, dan hiburan. 

Jacob Gatot Sura, arsitek dan pendiri M Bloc Space, mengatakan bahwa dalam kolaborasinya dengan pemerintah, mereka memutuskan untuk menghidupkan kembali keseluruhan bangunan dan mengubahnya.

“Karena bangunan itu digunakan oleh Peruri, yang merupakan perusahaan milik negara, dalam hal kepemilikan, bangunan itu masih dianggap sebagai aset dan properti negara, jadi mereka tidak menjualnya pada kami. Dengan demikian, dalam kasus kami, pemerintah meminta tim kami untuk mendesain ulang dan mengoperasikan area tersebut,” jelasnya.

Sebagai seorang arsitek, Jacob merasakan urgensi untuk merevitalisasi dan melestarikan bangunan tersebut karena ia melihatnya sebagai bagian penting dari tatanan perkotaan Jakarta yang tidak boleh diabaikan atau dihancurkan. Bangunan itu sendiri menonjolkan gaya vintage Belanda kuno, menampilkan gaya tipologi bangunan khas tahun 50-an. Kekhasan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama kaum milenial, mengingat saat ini masyarakat Indonesia cenderung lebih apresiatif terhadap bangunan bersejarah seperti ini. Bangunan semacam itu dipandang sebagai saluran yang dapat diakses dan efektif untuk memvisualisasikan sejarah masa lalu Indonesia.

Kawasan Blok M sendiri sempat dianggap sebagai ibu kota bagi musik jazz Jakarta pada masa kejayaannya pada 1980-an dan 1990-an. Oleh karena itu, para pendiri M Bloc memutuskan untuk menggabungkan jiwa musik dan budaya pop ke dalam gedung itu dengan membuat musik hidup.

Dalam hal pelestarian bangunan, Jacob mengaku tidak banyak menghadapi tantangan. “Kami tidak memperlakukan M Bloc Space sebagaimana kami memperlakukan dan melestarikan bangunan-bangunan peninggalan seperti Candi Borobudur dan candi-candi lainnya. Apa yang kami lakukan lebih seperti menjaga bangunan daripada melestarikannya. Kami juga memasukkan elemen kontemporer ke dalam bangunan. Di sini, kami menciptakan semacam kontras antara masa lalu dan masa kini, dengan menciptakan fungsi baru pada bangunan lama,” katanya.


Artikel terkait


Berita