Mimpi buruk PR: Bagaimana cara mengatasinya?

Read in English

Pada Juli 2019, Garuda Indonesia dihujani kritikan setelah vlogger wisata populer asal Indonesia, Rius Vernandes, mengunggah video di YouTube yang mengulas pengalamannya terbang di kelas bisnis maskapai tersebut.

Video Vernandes - yang kemudian viral - menunjukkan bahwa Garuda memberikan penumpang menu bertuliskan tangan alih-alih yang dicetak (awak kabin menjelaskan bahwa buku menunya masih dalam proses pencetakan).

Walaupun insiden ini cukup mengguncang Garuda, tanggapan perusahaan terhadap video itulah yang menjerumuskannya ke dalam krisis hubungan masyarakat (PR). Bukannya menanggapi masukan Vernandes atau mengeluarkan pernyataan permintaan maaf, Garuda mencoba untuk menyensor Vernandes dengan melaporkannya dan pacarnya ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Maskapai itu juga mengeluarkan memo internal yang melarang foto dalam penerbangan. Garuda kemudian membatalkan perubahan kebijakan itu.

Meski Garuda pada akhirnya berhasil menyelesaikan masalah dengan Vernandes dan mengatasi krisis tersebut, sudah banyak perusahaan yang harus menghadapi konsekuensi krisis PR untuk waktu lama, sementara perusahaan lainnya jatuh sepenuhnya.

Foto: Menu dengan tulisan tangan yang diunggah oleh Rius Vernandes di YouTube

Foto: Menu dengan tulisan tangan yang diunggah oleh Rius Vernandes di YouTube

Krisis PR adalah segala jenis publikasi buruk yang memengaruhi kemampuan sebuah bisnis untuk beroperasi secara optimal dan dapat merusak citra sebuah bisnis. Publikasi buruk ini dapat menjatuhkan kepercayaan dan mengancam kesehatan, kehidupan, dan keselamatan staf, klien, dan pemangku kepentingan lainnya.

Dengan munculnya media sosial, skala kesalahan yang dilakukan perusahaan atau selebriti - atau figur publik dalam hal ini – menjadi lebih besar dan bisa berubah menjadi mimpi buruk PR dengan sangat cepat. Media sosial juga melahirkan cancel culture, di mana sebuah perusahaan dinyatakan di-cancel oleh para pengguna Internet. Hampir setiap minggu dalam setahun terakhir atau lebih ini, sebuah perusahaan atau seorang selebirti di-cancel setelah mereka menuai kemarahan di media sosial seperti Twitter dan Instagram.

Awalnya, hanya beberapa industri, seperti minyak, tembakau, dan maskapai penerbangan, yang lebih rentan terhadap aktivisme, namun sekarang tampaknya tidak ada industri atau individu yang kebal terhadapnya. Krisis PR juga dapat merusak reputasi yang diperoleh dengan susah payah selama bertahun-tahun.

Bill Gates menghabiskan puluhan tahun untuk membangun reputasi dan citra filantropis yang sempurna. Namun, semuanya hancur ketika dia dan istrinya Melinda French Gates mengumumkan perceraian mereka pada 3 Mei setelah menikah selama 27 tahun. Apa yang terjadi kemudian adalah serangkaian mimpi buruk PR bagi Gates ketika publikasi berita mulai mengungkap apa yang salah dalam pernikahan salah satu pasangan paling dikagumi di dunia itu.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi krisis PR?

“Memiliki prinsip yang mirip dengan prinsip kesehatan, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati,” kata Edwin Chandra, praktisi komunikasi strategis dan PR.

“Pertama dan yang utama, cara terbaik untuk mencegah krisis PR adalah memiliki pemahaman yang benar bahwa apa pun yang kita katakan atau lakukan [akan] selalu memiliki implikasi dan dampak. Apalagi di era yang serba digital ini ketika informasi bisa menyebar secepat kilat dan dapat diakses hampir oleh semua orang, sangat penting bagi kita untuk berhati-hati dan bijaksana dengan apa yang ingin kita posting atau tweet di media sosial,” katanya.

Namun, bahkan dengan strategi pencegahan terbaik, krisis bisa saja muncul karena faktor-faktor di luar kendali seseorang. “Ketika terjadi krisis, mengutip pendapat pakar PR Indonesia, Marianne Admardatine, tentang manajemen krisis, ada langkah 4R yang harus dilakukan: Readiness, Radar, Response, dan Recovery,” tambahnya.

Dia mengatakan bahwa Readiness (kesiapan) berarti memiliki seperangkat prosedur yang disiapkan untuk memitigasi masalah dan krisis PR, seperti memiliki tim manajemen krisis, memastikan distribusi pekerjaan yang jelas, dan memiliki sistem pemantauan yang baik.

Radar berarti memiliki alat yang tepat untuk memantau perkembangan terkini mengenai sebuah masalah,” kata Edwin. “Selama krisis, akurasi dan kecepatan informasi sangat penting untuk membuat keputusan yang tepat. Pemahaman tentang penggunaan alat pemantauan media sosial yang didukung oleh pemantauan media konvensional akan membantu kita mengukur perkembangan masalah dengan lebih baik serta merumuskan dan mengambil tindakan bila diperlukan.”

Langkah selanjutnya, Response (respons), adalah memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data yang kredibel secara tepat waktu serta menyusun pesan yang mudah dipahami, jelasnya. Ia menambahkan bahwa elemen penting dari respons adalah menunjukkan empati dan memberikan alasan yang netral dan jelas. “Terkadang, tidak merespons adalah respons. Tergantung skenario dan skala krisisnya,” kata Edwin.

Setelah krisis, diperlukan strategi Recovery (pemulihan), katanya. Penting untuk mengelola krisis PR dengan hati-hati karena setiap tindakan yang diambil berisiko menciptakan kegagalan PR lainnya. “Namun, jika dikelola dengan baik, krisis justru memberikan peluang bagi perusahaan atau tokoh untuk bangkit lebih kuat dan lebih baik lagi,” ujarnya.

Edwin memberi contoh perusahaan pembuat pakaian luar ruangan asal Indonesia, Eiger, sebagai perusahaan yang berhasil bangkit dari krisis PR melalui manajemen krisis yang baik.

Pada bulan Januari, Eiger mengirimkan surat keberatan kepada YouTuber Dian Widianarko dan meminta sang YouTuber menurunkan videonya yang mengulas produk Eiger. Surat keberatan Eiger segera berubah menjadi bencana PR ketika masyarakat ramai-ramai mengkritik perusahaan tersebut. Namun, Eiger dengan cepat mengatasi krisis tersebut setelah jajaran manajemen puncaknya, yang diwakili oleh CEO-nya, “segera meminta bantuan ahli PR dan mengunggah pernyataan permintaan maaf melalui YouTube dan media sosial,” kata Chandra.

“Masalah itu mereda hanya dalam hitungan hari dan memang menjadi peringatan yang baik dan pembelajaran berharga bagi perusahaan dan praktisi PR untuk lebih berhati-hati dengan bagaimana mereka menanggapi kritik,” tambahnya.

Peran media sosial

Kebangkitan media sosial juga bisa menjadi pedang bermata dua dalam manajemen krisis PR. Sebuah perusahaan atau seorang tokoh dapat menjadi viral di media sosial karena berbagai alasan yang salah, tapi media sosial juga dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat untuk mengelola krisis.

“Kini netizen semakin kritis dan cerdas; mereka menuntut transparansi dan respons cepat ketika hal-hal buruk terjadi terkait dengan merek, perusahaan, atau tokoh. Oleh karena itu, media sosial memainkan peran yang efektif dalam membantu merek, perusahaan, atau tokoh untuk transparan dengan apa yang terjadi dan menunjukkan posisi yang jelas dan empati mereka terhadap situasi tersebut,” kata Edwin.

Sumber industri lainnya menyebut Chrissy Teigen sebagai contoh tokoh yang memanfaatkan kehadirannya di media sosial dalam manajemen krisis.

Teigen yang pernah menjadi kesayangan media sosial menuai kecaman setelah serangkaian tweet masa lalunya yang ofensif disebarkan pada bulan Mei. Sejak saat itu, dia telah mengundurkan diri dari beberapa proyek, dan lini peralatan masaknya diturunkan dari situs web Target dan Macy’s.

Pekan lalu, Teigen memposting teks permintaan maaf yang panjang di media sosialnya. “Teigen tidak merespon secara langsung; dia menghabiskan waktu yang cukup untuk menenangkan diri dan mengunggah permintaan maaf yang terlihat jujur dan berdampak,” kata sumber tersebut. Meskipun episode ini masih jauh dari selesai bagi Teigen, permintaan maafnya menuai simpati, dan berbagai selebriti, seperti suaminya John Legend serta teman-temannya Jennifer Garner, Yvette Nicole Brown, dan Zoe Saldana, menyuarakan dukungan mereka secara terbuka.

“Saya pikir pada akhirnya masyarakat menginginkan solusi dan perubahan positif dalam menghadapi krisis, jadi berikan itu sebanyak mungkin,” kata sumber tersebut.

Melihat dampak yang bisa ditimbulkan oleh platform media sosial, Edwin mengatakan bahwa praktisi PR perlu memiliki pemahaman yang tepat dalam memantau isu dan informasi di media sosial.

“Perusahaan atau merek juga perlu memiliki pedoman yang jelas bagi karyawan untuk menggunakan media sosial pribadinya,” kata Edwin. Meskipun setiap orang memiliki hak untuk menggunakan media sosial dengan cara yang mereka inginkan, penting untuk dipahami bahwa konten negatif apa pun yang diposting oleh seorang karyawan dapat sangat memengaruhi reputasi perusahaan, jelasnya.

“Praktisi PR perlu bekerja sama dengan manajemen puncak dan tim hubungan karyawan untuk menerapkan strategi komunikasi internal yang wajar untuk membantu mengingatkan karyawan agar memanfaatkan media sosial mereka untuk kebaikan,” katanya.

Dia juga memperingatkan bahwa tidak mungkin perusahaan bisa menyenangkan semua orang. Dalam masyarakat yang sangat terpolarisasi ini, di mana setiap orang memiliki pendapat mereka sendiri tentang isu-isu tertentu, Edwin mengatakan bahwa setiap perusahaan dan merek harus tetap setia pada identitas dan nilai-nilai intinya.

“Namun, penting juga bagi perusahaan dan merek untuk sepenuhnya awas tentang lokasi mereka beroperasi, dan mereka perlu menyesuaikan cara mengkomunikasikan nilai-nilai mereka untuk mengurangi dampak negatif atau risiko yang akan terjadi di masa depan. Pertimbangan dan empati yang baik selalu dibutuhkan ketika kita ingin menyampaikan pesan atau sikap kita terhadap isu-isu tertentu,” ujarnya.


Artikel terkait


Berita