Perlindungan hak cipta terhadap arsitektur: Bagaimana cara kerjanya?

Read in English

Pada tahun 2014, sebuah keluarga di Amerika Serikat melayangkan gugatan ke tetangga mereka karena diduga telah meniru desain rumah mereka. Dilansir dari Detik, Jason dan Jodi Chapnick menggugat tetangga mereka Eric Kirshenblatt karena diduga telah meniru desain batu untuk dinding, jendela berwarna biru, pintu dengan sirkulasi udara berbentuk busur, dan cerobong. 

Pihak Chapnick menduga pihak Kirshenblatt meniru desain rumah tersebut untuk keuntungan pribadi, pasalnya mereka tidak pernah tinggal di rumah tersebut. Tak lama setelah itu, diketahui pihak Kirshenblatt menjual rumah tersebut seharga $3,5 juta. Berangkat dari argumen tersebut, pihak Chapnick kemudian meminta ganti rugi sebesar $3 juta.

Namun, bukankah kita sering melihat berbagai desain bangunan yang menyerupai ikon negara-negara di dunia? Contohnya, di China terdapat replika berbagai bangunan ikonik, mulai dari London Tower Bridge di provinsi Jiangsu, Menara Eiffel di Tianducheng, serta Koloseum Roma di Macau.

Bangunan yang menyerupai desain terkenal juga dapat kita temui di Indonesia, seperti Simpang Lima Gumul di Kediri yang menyerupai desain Arc de Triomphe di Paris. Melihat banyaknya kasus replika terhadap bangunan arsitektur, sebenarnya apakah hal ini diperbolehkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia?

Image: Simpang Lima Gumul in Kediri

Image: Simpang Lima Gumul in Kediri

Perlindungan terhadap karya arsitektur tertuang dalam Pasal 40 ayat (1) huruf h UU Hak Cipta. Di sana dijelaskan bahwa karya arsitektur yang dilindungi berupa wujud fisik bangunan, penataan letak bangunan, gambar rancangan bangunan, gambar teknis bangunan, dan model atau maket bangunan.

Sama seperti konsep perlindungan hak cipta pada umumnya, perlindungan terhadap suatu karya arsitektur berlaku secara deklaratif, yang berarti meskipun tidak dicatatkan, karya tersebut sudah memperoleh perlindungan hukum.

Bentuk perlindungan yang diberikan merupakan perlindungan secara preventif dan represif, khususnya terhadap hak ekonomi pencipta. Tindakan meniru, mengubah, menambah beberapa bentuk dari ciptaan tanpa seizin pencipta dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak cipta.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada parameter yang pasti untuk menentukan batasan-batasan plagiarisme. TFR mewawancarai Prayudi Setiadharma, seorang konsultan hak kekayaan intelektual. Prayudi menjelaskan bahwa plagiarisme berkaitan dengan etika, sedangkan pelanggaran terhadap hak cipta berkaitan dengan hukum.

“Plagiarisme berbeda dengan pelanggaran terhadap hak cipta. Plagiarisme terjadi ketika keseluruhan atau sebagian karya milik orang lain diambil dan digunakan seolah-olah sebagai hasil karya sendiri,” jelas Prayudi. Ia juga menjelaskan bahwa bentuk plagiarisme dapat berupa mengambil lalu menggunakan karya orang lain atau tidak memberikan “credit” (penghargaan) sebagaimana mestinya.

Meski begitu, plagiarisme dapat berubah kedudukannya menjadi sebuah tindakan yang melanggar hukum. Prayudi menjelaskan, ada 3 hal yang memengaruhi hal ini, yaitu:

1. Objek yang dilindungi

UU Hak Cipta hanya memberikan perlindungan terhadap objek-objek yang disebutkan dalam Pasal 40 ayat (1) UU No.28/2014. Khusus untuk karya arsitektur, penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf h menjelaskan bahwa wujud fisik bangunan, tata letak bangunan, gambar rancangan bangunan, dan model atau maket bangunan menjadi objek yang dilindungi.

Selain itu, perlindungan hak cipta hanya diberikan terhadap objek yang memenuhi unsur orisinalitas (keaslian), berupa ekspresi dan bukan hanya sekadar ide, dan sudah diwujudkan dalam dunia nyata. Agar suatu karya dapat dilindungi, maka harus ada nilai orisinil. “Artinya, desain tersebut harus memiliki sesuatu yang melekat pada diri pencipta”, tutur Prayudi.

Terkait aspek fungsionalitas dalam karya arsitektur, Prayudi menjelaskan bahwa fungsi dari suatu bangunan tidak bisa dilindungi sebatas karena UU Hak Cipta tidak melindungi hal tersebut. “Misalnya, desain suatu mal yang dibuat sedemikian rupa agar pengunjung melewati semua toko yang ada di dalam mal, hal tersebut tidak bisa dilindungi,” tuturnya.

2. Perlindungannya masih berlaku

Penting untuk memerhatikan jangka waktu perlindungan suatu karya sebelum menduga apakah karya tersebut ditiru. Misalnya, ketika seseorang membangun replika Menara Eiffel, ia tidak bisa dikatakan melanggar hak cipta. Pasalnya, jangka waktu perlindungannya sudah habis.

Pasal 58 ayat (1) huruf g menjelaskan bahwa jangka waktu perlindungan untuk hak ekonomi suatu karya arsitektur berlangsung selama hidup pencipta dan berlanjut 70 tahun setelah penciptanya meninggal dunia.

3. Pencipta atau pemegang hak merasa dirugikan

UU Hak Cipta memberikan perlindungan yang eksklusif terhadap pencipta atau pemegang hak untuk menggunakan karya tersebut. Pihak yang dapat menjadi pemegang hak cipta bisa saja pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, misalnya melalui perjanjian lisensi, wasiat, atau hibah. Hanya pencipta dan pemegang hak ciptaan saja yang dapat melakukan gugatan di pengadilan. 

Untuk menilai apakah suatu karya arsitektur telah meniru karya yang telah ada sebelumnya, harus dilakukan penilaian yang mendalam. Kasus bangunan Simpang Lima Gumul di Kediri yang diduga menyerupai Arc de Triomphe di Paris menjadi menarik karena sudah banyak bangunan di seluruh dunia yang mengadopsi konsep yang sama.

Prayudi menjelaskan bahwa kita harus melihat kembali konteks budaya dari suatu daerah. “Jika kita memerhatikan budaya Indonesia yang banyak mengadopsi kebudayaan Hindu-Buddha, selama ini masih jarang arsitek membuat desain yang demikian. Fungsi Arc de Triomphe menjadi gerbang penanda kota Paris, sedangkan kebanyakan bentuk gapura yang biasanya berfungsi sebagai gerbang penanda di Indonesia lazimnya tidak didesain seperti itu,” jelas Prayudi.

Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan: Apakah desain Simpang Lima Gumul merupakan hasil plagiat? Diperlukan analisis mendalam terkait inspirasi yang melatarbelakangi desain tersebut, termasuk faktor kebudayaan daerah setempat.

Suatu karya arsitektur erat kaitannya dengan desain atau interior yang ada di dalamnya. UU Hak Cipta juga memberikan perlindungan terhadap desain interior, meskipun tidak dijelaskan secara langsung. Perlindungan terhadap desain interior ada pada Pasal 40 ayat (1) huruf f yang memberikan perlindungan terhadap karya seni rupa dalam bentuk gambar, termasuk motif, diagram, sketsa, logo, dan unsur-unsur dari warna dan bentuk huruf indah.

Prayudi juga menyarankan agar arsitek atau desainer interior mengambil tindakan preventif untuk melindungi hasil karyanya.

Ia menjelaskan, setiap orang harus mulai menyadari pentingnya aspek hak kekayaan intelektual dalam bidang pekerjaan mereka. Perlindungan terhadap gambar rancangan bangunan maupun desainnya sudah dapat diterapkan dari tahap awal kerjasama dilakukan. 

“Pendesain atau arsitek bisa mulai menerapkan disclaimer dalam hasil karya mereka yang pada intinya menyatakan bahwa penyerahan gambar atau materi ini tidak memberikan hak apa pun kepada penerima atau pihak mana pun untuk menggunakan rancangan ini untuk kepentingan pencipta,” ucap Prayudi. Menurutnya, langkah ini bisa mulai mengurangi tindakan plagiarisme atau bahkan pelanggaran hak cipta dalam dunia arsitektur.


Artikel terkait


Berita