Investor dalam perusahaan direct-to-consumer, apa yang mereka cari?

Read in English

Ada pepatah populer yang berbunyi: Uang bukan segalanya, tapi segalanya membutuhkan uang. Pernyataan ini berlaku untuk hampir semua aspek dalam kehidupan kita, terutama dalam operasional bisnis. Mendapatkan modal untuk memulai usaha adalah langkah dasar yang bisa menentukan keputusan kita.

Bagi beberapa perusahaan, bootstrapping adalah cara paling cepat untuk memulai. Menurut survey yang dilakukan oleh TFR, 74% merek memilih bootstrapping. Namun, setelah titik tertentu, perusahaan mungkin akan membutuhkan pendanaan eksternal untuk berkembang. Inilah saat di mana investor eksternal seperti angel investor dan modal ventura terlibat.

Angel investor adalah individu yang memberikan modal untuk perusahaan rintisan atau pengusaha, umumnya diganti dengan porsi kepemilikan di perusahaan. Modal ventura adalah pendanaan yang diberikan oleh institusi pada perusahaan rintisan atau bisnis baru yang memiliki potensi besar untuk berkembang. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana merek direct-to-consumer (DTC) menarik investor seperti itu?

Salah satu kriteria investasi yang paling penting adalah cerita yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan, terang Christopher Angkasa, anggota pengelola Denali Mitra Investama, perusahaan angel investor yang berbasis di Jakarta. Chris mengatakan bahwa Denali saat ini memiliki sekitar 30 portfolio perusahan, termasuk merek sepatu DTC Brodo, Clapham Company – sebuah merek co-working space di Medan, dan toko alat tulis Letterist.

“Saya tidak berinvestasi di sektor tertentu; Saya berinvestasi di Brodo karena ada cerita bagus di sana yang bisa menginspirasi banyak orang,” kata Chris. Menurut situsnya, Brodo adalah merek sepatu DTC pertama di Indonesia dan bertujuan untuk menawarkan sepatu berkualitas tinggi, bergaya, dan terjangkau.

GDP Venture yang didirikan oleh Martin B. Hartono, putra R. Budi Hartono pemilik Djarum, adalah investor ventura yang aktif di segmen perusahaan Internet dalam negeri. Meski memiliki sejumlah merek fesyen seperti Brodo dan pasar barang bekas mode mewah Tinkerlust, GDP belum menggunakan kerajinan, warisan, atau keberlanjutan sebagai kriteria investasi utamanya.

“Kami menyukai merek yang memiliki identitas dan komunitas yang kuat,” kata Mitra Investasi GDP Antonny Liem. “Identitas yang kuat berarti memiliki visi, cerita, dan janji yang jelas, dan brand dapat menerjemahkannya menjadi produk yang sesuai dengan pelanggan mereka. Melalui hal tersebut, pelanggan mereka bisa menjadi loyal dan akhirnya menjadi komunitas mereka.”

Karena itu, yang utama adalah perusahaan harus memiliki arus kas terlebih dahulu. Meskipun beberapa investor menekankan profitabilitas perusahaan, Angkasa percaya bahwa alur kas adalah hal yang paling penting. “Arus kas seperti napas yang kita butuhkan untuk bertahan hidup,” ucapnya.

Apa yang harus dilakukan perusahaan untuk mendapatkan investasi?

Liem mengatakan bahwa sebuah perusahaan harus bisa membuktikan bahwa mereka memiliki hal-hal berikut:

  • Kesesuaian produk-pasar: Produk dapat memenuhi selera atau kebutuhan pelanggan, dan penjualannya meningkat;

  • Unit economics yang sehat: Perusahaan telah menemukan “formula yang sesuai untuk bisnis mereka, bisa menghasilkan uang, dan jelas tentang biayanya;

  • Skalabilitas: Mampu menunjukkan bahwa bisnis mereka adalah bisnis yang terukur dan bukan hanya hobi atau proyek passion;

  • Jalan menuju profitabilitas: Jika perusahaan belum atau hampir tidak menguntungkan, perusahaan tersebut harus bisa menunjukkan jalan menuju keuntungan besar di masa mendatang;

  • Mengerti keuangan: Perusahaan harus memiliki manajemen alur kas yang baik, jelas dalam hal seberapa banyak uang yang mereka butuhkan, tujuan, dan ke mana investasi tersebut akan membawanya.

Juga penting bagi perusahaan untuk menentukan kenapa mereka membutuhkan pendanaan.

“Perusahaan harus mencari investasi hanya ketika mereka yakin itu (investasi) akan membantu mereka tumbuh pesat dan naik kelas, bukan ketika mereka masih berusaha menemukan produk atau pasar yang tepat,” kata Antonny.

“Menerima investasi dari luar berarti bahwa ada tekanan untuk menghasilkan kinerja positif, yang mungkin akan membatasi proses kreatif. Ketika perusahaan menerima uang tersebut, mereka memiliki sedikit ruang untuk kesalahan,” tutur Chris.

Dia juga mengingatkan bahwa perusahaan tidak boleh mengambil investasi eksternal tanpa alas an kuat, dan mereka harus bertanya pada diri sendiri apakah mereka masih dapat beroperasi tanpa tambahan dana. “Jika tidak, itu berarti Anda belum siap menerima investasi tersebut,” katanya.

“Anda harus memastikan bahwa Anda melakukan semua hal yang mendasar lebih dulu, dan ketika Anda siap, akan ada investor yang mencari Anda,” tambahnya.

Apa yang bisa diperbaiki oleh perusahaan lokal?

Menurut Antonny, beberapa perusahaan mungkin akan menghadapi tantangan dalam kemampuannya mempertahankan kualitas ketika naik kelas. “Terkadang brand mengalami kesulitan untuk mengamankan rantai pasokan yang baik (yaitu bahan/pengrajin) sehingga skalanya terbatas. Atau ketika mereka harus naik kelas, mereka mendapati bahwa sulit untuk mempertahankan kualitas dan tersandung pada isu ‘terlalu artisanal’ atau pengiriman yang naik turun, atau price point yang tidak bersahabat dan menghambat mereka untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar,” ucapnya.

Perusahaan juga tidak bisa terus-menerus mengandalkan status sebagai “merek lokal” atau “warisan” atau “budaya” sebagai nilai jual yang unik. “Pelanggan tidak akan loyal berdasarkan sudut warisan/produk lokal saja. Pada akhirnya, produk dan cerita perusahaan yang resonate dengan konsumenlah yang akan membuat mereka terus membeli,” katanya.

Menurut pandangan Chris, saat ini terlalu banyak penekanan pada ego - di mana para pendiri fokus pada penciptaan produk tetapi mengabaikan sisi bisnis. “Ini terutama berlaku bagi mereka yang membuat produk-produk hebat. Pada akhirnya, bisnis terbaik adalah hasil kolaborasi dari sisi bisnis dan sisi artistik produk.”

Bagi Letterist, ini berarti keluar dari produk orisinal mereka secara keseluruhan. Letterist berawal dari penyedia jasa kaligrafi, namun setelah mengevaluasi arah perusahaan, Letterist harus membuat pilihan sulit untuk meninggalkan dunia kaligrafi karena pasarnya terlalu kecil. Letterist sekarang fokus pada penjualan buku tulis untuk jurnal. 

Perubahan lain yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah menaikkan harga. “Letterist adalah notebook paling premium buatan lokal di Indonesia,” tutur Chris. “Itu adalah keputusan strategis, kami harus menjaga jarak dari produk termurah yang tersedia berikutnya. Kami harus melakukan upaya yang nyata untuk mendefinisikan siapa pesaing kami, dan bagaimana kami bisa menonjol melalui pesan kami.”

Terakhir, perusahaan juga harus menyadari pentingnya bagian non-kreatif. “Akuntansi dan pajak, sebagai contoh. Anda bisa mencari orang lain untuk melakukannya, tapi Anda harus sadar bahwa aspek-aspek tersebut penting,” jelasnya.


Artikel terkait


Berita