Budaya gila kerja dan generasi yang kelelahan

Read in English

Startup cover-01.jpg

“Terima kasih telah mempromosikan isu ini!” tulis seorang responden dalam survei ‘Budaya Gila Kerja’yang TFR adakan beberapa waktu lalu. “Saya sebarkan survei ini, ya, ke kolega-kolega saya, saya yakin mereka punya satu atau dua hal untuk dibagikan,” tulis yang lainnya. Responden lainnya mengaku bahwa dia merasa lebih ringan setelah mengungkapkan isi hatinya. 

Ketika kami memutuskan untuk melakukan survei tersebut, kami tahu bahwa akan ada banyak hal yang bisa diungkapkan mengenai budaya gila kerja, namun kami terkejut ketika mengetahui bahwa banyak orang yang memiliki opini yang kuat mengenai budaya tersebut. 

Pada akhir periode survei, TFR telah mengumpulkansebuah koleksi pikiran, keluhan, pengalaman, dan cerita dari responden dari 27 industri - mayoritas berasal dari industri teknologi, media, dan retail. Setiap responden sangat paham mengenai budaya gila kerja. Budaya initidak kenal diskriminasi. 

Mari mulai dengan definisinya. Budaya gila kerja bisa diartikan sebagai lingkungan yang bergerak serba cepat yang berpusat di sekitar jam kerja yang panjang dan rasa gelisah dalam berjuang untuk mencapai tujuan. Dan betapa tepatnya definisi itu.

83,8% responden menganggap bahwa lembur adalah kejadian yang normal, sementara 69,6% mengaku bahwa mereka rutin bekerja di akhir pekan. Terlebih lagi, 60,8% merasa bersalah ketika mereka tidak bekerja lebih lama dari semestinya. Ketika ditanya mengenai jumlah jam yang mereka gunakan untuk bekerja setiap minggunya, kami terkejut saat mendapati bahwaseorang responden menghabiskan rata-rata 100 jam per minggu, sementara beberapa bekerja antara 75-80 jam setiap minggu. Mengingat bahwa tolok ukur yang diterima secara luas terhadap 'pekerjaan penuh waktu' adalah 40 jam per minggu, angka yang kami sebutkan di atas sangat mengkhawatirkan.

Prevalensi dan normalisasi dari budaya gila kerja adalah hal yang sangat menarik. Bagaimanapun, menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja tidak berbanding lurus dengan produktivitas yang lebih tinggi. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Pencavel (2014) menemukan bahwa hubungan antara jam kerja dan produktivitas adalah nonlinier: di bawah ambang batas 48 jam, hasil sebanding dengan jam; di atas ambang batas, hasil melaju turun seiring bertambahnya jam. Makalah tersebut juga menyampaikan alasan berbeda bagi perusahaan untuk memperhatikan lamanya jam kerja: karyawan yang berada di tempat kerja dalam waktu lama bisa mengalami kelelahan atau stres yang tidak hanya mengurangi produktivitasnya, tetapi juga meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan, kecelakaan, dan penyakit, yang pada akhirnya akanmembebani perusahaan. 

Lalu, mengapa budaya gila kerja melanda dunia?

Mungkin karena dalam beberapa tahun terakhir, unggahan media sosial yang mempromosikan ‘the hustle’ telah memenuhi laman semua orang. Unggahan-unggahan ini datang dalam berbagai bentuk berbeda, mulai dari kutipan ‘motivasional’ yang mengajak kita untuk mengejar mimpi hingga unggahan dari teman dan rekan yang mendiskusikan dan memamerkan berbagai proyek dan bisnis mereka. Tentunya kita akrab dengan kutipan yang sekarang viral, yaitu ‘jangan berhenti ketika kamu lelah, berhentilah ketika kamu selesai.’

Sepertinya ada sebuah konsep yang dijadikan sebuah ideal, yaitu jika kita bekerja terus-menerus, kita akan melihat hasil yang instan. Penegasan dan pengingat akan kesempatan yang terus-menerus ini bisa memotivasi kita atau membebani kita dengan (lebih banyak) stres yang tidak perlu.

Sayangnya, konsekuensinya nyata bagi kesejahteraan mental dan fisik karyawan. Kebanyakan dari responden tidak merasa bahwa budaya gila kerja adalah konsep yang berkelanjutan. “Saya rasa rekan kerja saya hampir dirawat di rumah sakit karena beban kerjanya, dan dia merahasiakannya dari rekan-rekannya. Bayangkan jika orang-orang mulai angkat bicara mengenai budaya yang menyiksa ini,” cerita seorang responden.

Dan apa yang akan terjadi jika orang-orang mulai angkat bicara? “Mereka (manajemen) bilang ‘kalau kamu merasa kamu terlalu banyak bekerja, itu artinya ini bukan tempatmu. Kamu tidak ditakdirkan untuk bekerja di sini,’ bukannya mencoba untuk mencari solusi yang efektif bagi kita semua,” ucap salah satu responden.

Bagi beberapa orang, menolak budaya gila kerja dirasa seperti sebuah tantangan mental yang harus diatasi.“Budaya hustle adalah budaya yang tidak sehat, tapikelihatannya kami seperti menolak menghadapi tantangan kalau tidak bekerja lembur,” aku seorang responden. Dan menghindari tantangan adalah sesuatu yang bertentangan dengan esensi budaya gila kerja.

Kami mewawancarai seorang mantan staf sumber daya manusia di sebuah perusahaan teknologi lokal. Diabercerita bahwa tim SDM biasanya sangat menyadari tingginya tingkat karyawan yang bekerja lembur dan di luar lingkup pekerjaan yang ditentukan. Terkadang, tim SDM dapat membantu mereka untuk mencari solusi, biasanya dalam bentuk promosi, kenaikan gaji, atau sekadar diskusi dengan atasan mereka.

Namun, karena kasus seperti ini terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan, tidak semua orang bisamenemukan solusi yang memuaskan. “Ada banyak karyawan yang tidak puas yang tidak bisa mendapatsolusi yang layak, dan itu hanya sebagian dari risiko yang ada. Entah atasannya tidak terbuka untuk diskusi, atau tidak ada anggaran untuk kenaikan gaji,” ujarnya. “Pada akhirnya, akan ada lebih banyak orang yang masalahnya tidak terselesaikan. Ini telah menjadi semacam budaya; bahwa begitulah cara kerja perusahaan rintisan. Karyawan biasanya akhirnya menerima apa yang diberikan," tambahnya.

Gila kerja adalah sebuah budaya. Budaya yang seolah-olah dibangun di atas kerja keras dan mentalitas yang rajin. Budaya di mana Elon Musk adalah wujudnya, dengan rekomendasinya tentang mentalitas "80 jamkerja berkelanjutan per minggu, puncaknya sekitar 100 jam." Kenyataannya, hal ini bisa jadi hanya bersifatperformatif. Membual tentang kesibukan tampaknya telah menjadi sama penting dengan melakukan kesibukan itu sendiri.

Hal ini bukannya tidak diatur oleh hukum. RUU Cipta Lapangan Kerja merevisi berbagai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Ketentuan mengenai waktu lemburdiubah menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam perminggu. Pemberi kerja harus memberikan persetujuan mereka untuk lembur karyawan. Tapi, peraturan ini tidak membuat budaya gila kerja berkurang.

Salah satu masalah terbesar dari budaya gila kerjaadalah bahwa budaya ini hanya melihat ke masa depan, yang berarti orang kehilangan masa kininya. Kita diperbudak oleh tekanan internal dan eksternal, seperti tenggat waktu, tuntutan pekerjaan, atau menyenangkan kolega atau klien. Kita tumbuh begitu terbiasa dengan autopilot sehingga kita mungkin tidak selaras dengan lingkungan kita atau diri kita sendiri.

Pada akhirnya, walaupun kedengarannya klise, solusinya adalah dengan mengajari diri sendiri untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Ini berarti mempertimbangkan batasan mental dan fisik kita, menetapkan batasan, dan memprioritaskan kesejahteraan diri. Generasi milenial (dan dalam beberapa tahun mendatang, Generasi Z) adalah tenaga kerja muda yang mau bekerja untuk mengejar mimpi;mereka hanya membutuhkan batasan yang jelas.

'Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi' adalah tema umum ketika responden diminta untuk membuat konsep mengenai tempat kerja yang sehat.“Tempat yang mendorong pertumbuhan dan sangat menghargai usaha Anda. Tidak mendorong terlalu keras, tetapi mampu membuat Anda tertarik dengan pekerjaan Anda,” seorang responden membagikan versinya. Responden lain menambahkan bahwa membiarkan karyawan memiliki jumlah waktu istirahatyang layak pada akhirnya akan bermanfaat bagi perusahaan, “dengan kebebasan itu, kita akan lebih memerhatikan pekerjaan kita dan tidak merasa terpaksa.”


Artikel terkait


Berita