Bagaimana fesyen membentuk karakter

Read in English

WhatsApp Image 2021-02-10 at 12.34.15.jpeg

Pakaian bisa membentuk sebuah karakter dalam layar. Bagaimana cara sebuah karakter berpakaian, apakah biasa saja, menyolok, atau di antara keduanya, memberi dampak yang signifikan terhadap persepsi intelektual dan emosional penonton mengenai karakter tersebut. Pilihan fesyen yang diambil oleh sutradara membentuk pandangan penonton mengenai karakter yang diperankan oleh aktor/aktris sebelum narasi dan dialog.

Perancang kostum atau penata gaya dalam sebuah film adalah salah satu peran yang seringkali diabaikan. Namun, peran tersebut merupakan salah satu faktor yang paling luas mencakup dan divisualisasikan dalam film. Kostum adalah bagian penting dari film yang membantu menceritakan kisah dalam sebuah film dan secara tersirat menunjukkan identitas karakter. Kostum adalah elemen penting karena ia membentuk hubungan simbiotik antara fesyen dan kepribadian.

Contohnya, penggemar bisa dalam sekejap tahu ketika ada kesalahan kostum. Di belakang Jaime Lannister (Game of Thrones) yang mengenakan baju besi, dilengkapi dengan pedang dan bot selutut, ada seorang pemeran figuran yang mengenakan celana jeans dan jaket Patagonia. Pakaian yang dikenakan oleh aktor figuran tersebut tidak sesuai dengan set waktu atau genre film tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi perancang kostum dan penata gaya untuk teliti merencanakan apa yang harus dikenakan oleh tiap karakter sehingga mereka bisa melebur dalam sebuah adegan.

Foto: Pemeran Game of Thrones mengenakan jeans

Foto: Pemeran Game of Thrones mengenakan jeans

Perancang kostum membuat pakaian sesuai dengan naskah. Mereka harus memahami karakter yang ada dan orang seperti apa karakter tersebut. Maka dari itu, mereka harus mencoba membayangkan koleksi pakaian yang paling sesuai bagi sebuah karakter layaknya karakter tersebut hidup di dunia nyata. Pedoman utama bagi perancang kostum atau penata gaya adalah menentukan apa yang harus dikenakan oleh sebuah karakter, palet warna, set waktu dari film tersebut, dan pesan apa yang ingin mereka sampaikan.  

Kostum adalah sebuah ekspresi; ketika sebuah adegan dimulai, kita sebagai penonton bisa menganalisa karakter berdasarkan apa yang mereka kenakan - kostum memberi kita dasar mengenai keunikan dan gaya tiap karakter. Perkembangan cerita memengaruhi pakaian - menciptakan perasaan atau visualisasi yang nyata atau fantasi.

Perancang kostum dan penata gaya membuat dan menyediakan pakaian untuk berbagai peran - aktris dan aktor utama, peran pendukung, pemeran pengganti, serta figuran. Setiap posisi memiliki keunikannya sendiri, sehingga kostum mereka mungkin berbeda satu dari yang lainnya. Kostum digunakan untuk mengalihkan fokus pada detail atau peran tertentu, sehingga menjadi faktor penting dalam memahami dan menganalisa apa yang sedang terjadi. Perancang kostum dapat menggunakan warna sebagai cara agar penonton bisa membedakan aksi utama dengan apa yang terjadi di latar belakang.

Sebagai gambaran lebih lanjut, kita bisa melihat Emily in Paris yang dibuat oleh Darren Star dan disutradarai oleh Andrew Flemming. Mereka berkolaborasi dengan Patricia Field sebagai penata gaya. Field memiliki portofolio yang luas - ia sebelumnya ikut serta dalam The Devil Wears Prada dan terkenal melalui serial populer Sex and The City.

Emily in Paris menceritakan kisah seorang gadis berusia 22 tahun bernama Emily, yang awalnya bekerja di sebuah perusahaan PR di Chicago. Emily kemudian dipindahkan dan ditempatkan di Savior, sebuah perusahaan PR di Paris yang berupaya menjadi pakar media sosial dengan melalui berbagai tantangan. Sebelum Emily pindah ke Paris, dia mengenakan flanel dan digambarkan sebagai gadis yang sederhana – all-American girl. Namun, di Paris, dia bertransformasi menjadi seorang fashionista.

Wajar rasanya kalau kita mengatakan bahwa kostum di film ini tidak realistis. Pakaian yang digunakan untuk menggambarkan seseorang berusia 22 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan PR di Paris kurang keaslian. Bagi sebagian besar orang, mustahil bahwa seorang karyawan junior berusia 22 tahun memiliki sejumlah besar mantel dan tas Chanel, sepatu hak tinggi Christian Louboutin, bot Margiela Tabi, tampilan Kenzo dari atas hingga bawah, atau bahkan mengenakan crop top berenda Chanel sebagai atasan untuk lari.

Gambaran bagaimana Emily mengenakan pakaian desainer kelas atas di Paris sebagai upaya untuk menunjukkan tempatnya di dalam perusahaan tersebut adalah hal yang sangat klise. Tidak ada kepaduan yang memberi Emily kepribadian yang berbeda. Pakaiannya tidak mencerminkan karakter, latar belakang, atau pekerjaannya.

Foto: Lily Collins dalam serial Emily in Paris. Penata gaya serial tersebut mendapatkan kritikan atas pemilihan pakaian yang tidak sesuai dengan pegawai junior

Foto: Lily Collins dalam serial Emily in Paris. Penata gaya serial tersebut mendapatkan kritikan atas pemilihan pakaian yang tidak sesuai dengan pegawai junior

Meskipun Emily mewujudkan kemudaan dengan sedikit sentuhan Carrie Bradshaw muda di zaman modern, pakaian di film ini terlalu jauh dari kenyataan sehingga membuat penonton merasa seperti tidak ada kedalaman manusia; tidak ada keterkaitan antara pakaian Emily dengan aspek sosial penonton.

Umumnya, dalam film, karakter terus berkembang. Sebuah karakter bisa jadi melewati perubahan emosional, psikologis, atau fisik; mereka bisa jadi berhadapan dengan berbagai tantangan, seperti perceraian, masalah keuangan, depresi, atau penyakit. Sutradara dan perancang kostum harus mendiskusikan dan menentukan apa yang dikenakan para karakter berdasarkan situasi yang tengah mereka hadapi.

Pakaian adalah salah satu cara yang paling mudah untuk menyampaikan informasi mengenai siapa mereka dalam sebuah adegan. Aspek visual bisa ditentukan melalui usia, status sosial, gender, dan latar belakang.

Salah satu contoh terbaik bisa kita temui dalam Euphoria. Rue Bennett, yang diperankan oleh Zendaya, memperlihatkan bagaimana fesyen dapat membentuk karakter dalam film. Rue, hampir di seluruh adegan, memilih untuk berpakaian sebagai Marlene Dietrich, seorang penyanyi dan aktris terkenal pada tahun 1930an.

Dietrich terkenal karena tampil di kelab malam dan biasanya mengenakan setelan dalam pertunjukannya, di mana dia menyanyikan lagu-lagu pria. Dietrich memberi inspirasi bagi kostum non-binary Rue. Kostum Rue menunjukkan upaya dari serial tersebut untuk mengatasi konstruksi yang memengaruhi budaya kita serta mendobrak batasan sosial - dan terlihat menarik saat melakukannya.

Dalam perkembangan serial ini, Rue kemudian mendapati dirinya di ambang kecanduan narkoba yang serius. Selama periode ini, dia sering mengenakan kaos berkancing atau kaos bergambar dengan celana longgar dan sepatu kets. Gaya ini menandakan bagaimana Rue tidak tunduk pada ide-ide tradisional mengenai fesyen feminin.

Berbeda dengan karakter lainnya, di episode Halloween, Rue mengenakan riasan bernuansa gelap, berantakan, dan dihiasi sedikit glitter. Tampilan ini menggambarkan kehidupannya saat itu, di mana dia berjuang untuk menemukan kebahagiaan dan dirinya sendiri saat ia tengah jatuh cinta dengan sahabatnya dan berkutat dengan kecanduan narkoba.

Karakter lain dalam Euphoria yang juga menggambarkan bagaimana fesyen dapat membentuk karakter di layar adalah Kat Hernandez. Di paruh pertama serial ini, Kat mengenakan kostum biarawati yang mirip dengan Thana dari film thriller 1980-an, Ms. 45. Thana mengenakan pakaian biarawati sebagai samaran dalam rangka membalas dendam pada pria-pria yang menyerangnya.

Kat menggambarkan pembalasan dendam yang hampir serupa di musim pertama saat dia bertekad untuk membalas dendam dengan menggunakan rekaman seks sebagai inspirasi untuk meluncurkan bisnis online pribadinya yang sukses.

Kepribadian Kat yang berani terpancar melalui kecantikan dan gayanya, terutama dalam episode Halloween, di mana dia berpakaian layaknya gadis cantik dengan aura gelap, mengenakan salib terbalik yang menjuntai dari tampilan gothic-nya. Keputusan untuk berpakaian seperti biarawati menggambarkan evolusi karakter Kat, di mana dia berubah dari individu yang polos menjadi perempuan percaya diri yang merasa nyaman mengekspresikan seksualitas dan dirinya sendiri.

Untuk menarik perhatian penonton, pakaian menjadi alat persuasi untuk menunjukkan kemiripan atau kesamaan dengan penonton. Misalnya, ketika kita membayangkan helm, pakaian kamuflase, dan sepatu bot, kita mungkin berpikir tentang tentara atau film perang. Pakaian menunjukkan kepada penonton bagaimana mereka dapat menyamakan diri mereka dengan karakter film mengenai pengalaman hidup mereka sendiri sebagai penonton.

Hasilnya, ketika karakter bertransformasi, kita melihat evolusi dari apa yang mereka kenakan, sehingga desainer kostum atau penata gaya membuat perubahan gaya yang menunjukkan pergeseran tersebut.


Berita terkait


Berita