Mengapa jenama menjual produk 'gimmick'?

Read in English

Pada tahun 2014, Louis Vuitton merilis karung tinju seharga $175.000 yang dirancang oleh mendiang Karl Lagerfeld, sementara Chanel pada 2019 merilis papan selancar seharga $7.700. Perusahaan fesyen lain, seperti Supreme, identik dengan merilis barang-barang novelty. Selain Cash Cannon, Supreme merilis batu bata dengan harga eceran $30 - sekarang dijual di eBay seharga $10.00.

Menjual barang-barang novelty bukanlah hal yang luar biasa, segmen ini telah berkembang selama bertahun-tahun. “Jenis” barangnyalah yang luar biasa dan menjadi hype. Di ranah fesyen, barang-barang novelty ini dikategorikan sebagai "tchotchke", yang berasal dari bahasa Yiddi yang berarti pernak-pernik.

Euromonitor International menyebutkan bahwa pernak-pernik dan produk novelty adalah pasar global yang terus berkembang. Penjualan barang-barang kecil dari kulit hanya mencapai $3 miliar pada 2008, lalu naik menjadi lebih dari $5 miliar pada 2014 dan $5,7 miliar pada 2015. Segmen ini diproyeksikan tumbuh menjadi $6,5 miliar pada 2018 dan $7,5 miliar pada 2020.

Head of Luxury Goods Euromonitor International Fflur Roberts menyebutkan bahwa, "Dalam lima tahun terakhir, banyak merek mewah memperluas portofolio mereka dan melakukan diversifikasi ke wilayah baru, tetapi yang terbaru dalam inovasi ini adalah peningkatan tchotchke oleh label-label mewah terkemuka."

Foto: Chanel

Foto: Papan selancar Chanel

Saat ini, merek-merek mewah tidak lagi menjual produk hanya berdasarkan keakraban dan ceruk pasar. Strategi yang mereka ambil bukan tentang menjual merek; di tengah gelombang ekspektasi konsumen ini, nilai menjadi tren. Perusahaan harus berpikir melampaui berbagai batasan dan mengurasi berbagai benda untuk masuk ke era budaya. Tetap setia pada DNA masih menjadi intinya, dan itulah alasan utama mengapa tchotchke membukukan penjualan yang memuaskan.

Ambil contoh Bugs Bag yang dirilis Fendi pada tahun 2013 (dengan harga eceran $344-$600), “Karlito” oleh Fendi yang dirancang menyerupai direktur kreatif Karl Lagerfeld, serta Thomas Teddy Bear keluaran Burberry yang dibuat dengan pola kotak-kotak khas merek tersebut (harga eceran $588 dan $33).

Barang-barang mewah ini dijual dengan kisaran harga yang terjangkau untuk menarik konsumen yang tidak memiliki uang untuk membeli tas dan pakaian desainer. Menetapkan harga pada braket tersebut adalah kunci untuk mempertahankan citra sebuah merek. Dengan cara ini, mereka dapat membangun loyalitas calon pembeli barang mewah.

Tchotchke adalah cara perusahaan untuk meningkatkan pendapatan dan memperluas demografi konsumen. Harga dan jenisnya membuat tchotchke laris dan menjadi tren di kalangan konsumen yang lebih muda. Selain berguna, tchotchke juga memiliki daya tarik unik dan menyenangkan, yang membuatnya menonjol dibandingkan tas, pakaian, dan sepatu mewah yang lazim.

Tchotchke juga hadir dalam beragam desain yang membuatnya lebih “dipersonalisasi”. Dengan begitu, pelanggan berinvestasi dalam kebaruan. Mereka mungkin tidak membeli barang-barang yang lebih sederhana atau pakaian couture, tetapi pada skala psikologis dan emosional, mereka meraih rasa memiliki; menjadi bagian dari sebuah merek.

Salah satu perusahaan yang terdepan dalam kategori ini adalah label streetwear asal New York, Supreme. Dalam hal perilaku pembelian yang didorong oleh sensasi, tchotchke yang dikeluarkan oleh Supreme selalu viral dan menjadi buruan kolektor lama dan konsumen yang hiper-fokus. Supreme telah merilis beberapa barang yang tidak biasa, seperti pemadam api, model anatomi, nunchaku, dan, yang paling menghasilkan hingga saat ini, batu bata merah besar.

Meski banyak tchotchke keluaran Supreme tidak berguna dan aneh, konsumen rela berkemah di luar toko dan mengantre berjam-jam dengan harapan bisa menghabiskan antara $30-$1,000 untuk barang-barang tersebut.

Dr. Henrik Hagtvedt, seorang profesor pemasaran di Boston College, mengatakan, "Ada perasaan bahwa [konsumen] mengambil bagian dalam sesuatu yang luar biasa - sesuatu yang melampaui sekadar fungsi." Hasil yang ingin dicapai oleh perusahaan-perusahaan ini adalah menjadi bagian dari anomali budaya.

Klub seni/studio desain asal Indonesia, KAMENGSKI, juga telah terjun ke ranah tchotchke. “Kami senang bereksplorasi dan berkreasi menggunakan berbagai media yang berbeda karena kami tidak ingin terbatas hanya menjual pakaian jadi,” jelas perusahaan. Beberapa barang yang dirilis KAMENGSKI memang memiliki latar belakang cerita yang kuat -memiliki konsep dan narasi-, sementara beberapa memang dibuat hanya untuk bersenang-senang.

Untuk mewujudkan misinya meningkatkan kesadaran akan keberlanjutan, KAMENGSKI meluncurkan batu bata yang terbuat dari beton dan puntung rokok. “Kami bekerja sama dengan sebuah studio bernama Conture Concrete Lab, yang mengkhususkan diri dalam memproduksi barang-barang yang terbuat dari beton. Kami berkolaborasi dengan Parongpong, yang dalam sebulan menerima 14 ton rokok sisa dari Sampoerna. Dari situ mereka diminta mengolah puntung rokok menjadi bahan baru. Mereka menemukan bahwa puntung rokok yang sudah diolah memiliki karakteristik yang mirip dengan serat yang digunakan dalam konstruksi bangunan.”

Meskipun menarik, pasar Indonesia masih memberikan reaksi yang dingin terhadap upaya merek-merek lokal untuk memasuki kategori tchotchke. Pendiri ThanksInsomnia Mohan Hazian menyebutkan, “Dari sudut pandang kreatif itu menarik. Tapi kalau dilihat dari kacamata brand, karena murni gimmick, keuntungan yang kami dapatkan tidak cukup besar.” Namun, tchotchke memang menciptakan sensasi: orang-orang membicarakannya karena keanehannya.

Merek-merek mewah dikenal sangat kompetitif, dan untuk tetap kompetitif, mereka harus mengikuti apa yang sedang tren dan apa yang dicari konsumen. Mereka harus melihat melampaui satu garis estetika. Tas dengan gaya yang sama bisa menjadi monoton.

Di sinilah produk novelty yang dikurasi berperan; mereka tidak sekadar menarik pelanggan generik. Dan meskipun harganya bisa jadi sangat mahal, pelanggan tetap menginginkan produk novelty karena karakteristik ceria mereka dan kesenangan yang ditawarkan barang-barang fesyen kelas atas.

Ketika menghadapi risiko dilusi merek, merek-merek fesyen menghadirkan sisi ringan mereka yang tidak disangka banyak orang. Saat ini, banyak direktur kreatif yang tidak lagi menjadi couturier, tetapi menjadi orang-orang yang menghasilkan ide-ide inovatif dan tak terduga.


Artikel terkait


Berita