Thrifting: Pedang bermata dua dalam isu lingkungan

Read in English

thrifting pros and cons (web) -01.png

Sebelum fast fashion merajalela, salah satu alternatif untuk memperoleh pakaian dengan harga terjangkau adalah dengan cara thrifting. Meski begitu, ada anggapan bahwa hanya masyarakat kelas bawah yang membeli baju bekas karena masalah kebersihan dan harga yang murah.

Hal ini berubah di masa Generasi Z. Menurut laporan McKinsey yang berjudul ‘The State of Fashion 2019,’ 9 dari 10 Generasi Z “percaya bahwa perusahaan seharusnya memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan isu-isu lingkungan dan social.” Kepercayaan etis inilah yang mendorong kebangkitan tren thrifting di generasi ini.

Thrifting dipercaya sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh fast fashion yang tidak berkelanjutan. Thrifting bisa meminimalisir limbah industri tekstil dengan mendaur ulang produk kelas atas menjadi barang bekas atau produk preloved dan kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Thrifting juga menjadi salah satu bentuk protes terhadap perlakuan tidak adil yang diterima buruh pabrik pakaian.

Di Indonesia, Pasar Senen di Jakarta dan Gedebage di Bandung merupakan pilihan utama untuk tempat thrifting. Konsumen bisa menemukan produk-produk kelas atas, seperti sepatu bot Dr. Martens dan jaket denim Levi’s, dengan harga murah, yang meskipun bekas namun kondisinya masih sangat bagus. Konsumen dari semua kelompok usia datang ke tempat-tempat tersebut untuk mencoba peruntungannya menemukan harta tersembunyi di antara tumpukan baju bekas.

Seperti industri lain pada umumnya, teknologi dan thrifting berpadu sehingga terciptalah platform barang bekas online. Semua berawal dari forum online, seperti Kaskus, yang mewadahi penggunanya untuk memperdagangkan barang bekas. Mereka kemudian berkembang menjadi marketplace untuk barang bekas dengan fitur listing dan check-out. Kehadiran online meningkatkan popularitas thrifting dan mengubah persepsi masyarakat terhadap konsumsi barang bekas.

Situs online barang preloved Tinkerlust yang berdiri pada tahun 2015 telah menerima pendanaan dari venture builder. Tinkerlust sering bekerja sama dengan selebriti untuk menjual barang preloved mereka. Ada juga Footurama yang berawal dari forum resale sepatu kets pada tahun 2003. Sejak saat itu, Footurama telah berkembang menjadi peritel lengkap dengan toko online maupun fisik.

Hunt-Street, situs jual beli barang mewah preloved, telah membuka toko utamanya di tahun 2019 di area bergengsi, yaitu Menteng, Jakarta Pusat. Carousell, marketplace untuk barang preloved yang berbasis di Singapura, pada September lalu menerima investasi sebesar $80 juta dari Naver, perusahaan sejenis yang berbasis di Korea Selatan. Dengan investasi tersebut, valuasi Carousell saat ini mencapai $900 juta.

Barang bekas yang dijual online telah dikurasi dan ditampilkan semenarik mungkin sehingga kita tidak perlu datang langsung ke pasar dan berburu harta karun dengan tidak nyaman. Semua hanya tinggal klik saja.

Awalnya, semua pihak tampak puas dengan digitalisasi toko barang bekas karena faktor kenyamanan yang ditimbulkannya. Akan tetapi, seiring berkembangnya toko barang bekas online, kritik mulai bermunculan. Faiz (@buruhbutuhdisko di Twitter) menyampaikan pendapatnya bahwa pemilik modal yang memborong barang bekas dari distributor kelas bawah dan kemudian menjualnya dengan harga yang jauh lebih mahal melakukan tindakan yang berbahaya dan tidak etis. Ini karena pasar dari toko barang bekas ini seharusnya adalah masyarakat kelas bawah yang tidak mampu membeli barang-barang mahal.

Foto: Story highlight dari akun Instagram @youpoppin

Foto: Story highlight dari akun Instagram @youpoppin

Kritik ini kemudian direspon oleh salah satu toko barang bekas online, @youpoppin. Menurut mereka, kenaikan harga dibutuhkan karena adanya proses dan usaha untuk menjalankan bisnis - membeli baju bekas dari luar kota, menjaga kualitas barang, dan menyewa tenaga tambahan untuk mendukung proses yang sering dianggap bisa dilakukan oleh satu orang saja.

Di atas itu semua, harus ada sesi pemotretan untuk setiap barang agar layak tampil secara online. Oleh karenanya, nilai tambah ini dibutuhkan untuk menutup biaya operasional.

Bagi para pembeli, harga tinggi tersebut adalah harga untuk kenyamanan. Kehadiran online memberikan eksposur terhadap toko online barang bekas, yang kemudian bisa dikonversi menjadi pemasukan. Di saat yang sama, kenyamanan ini juga menimbulkan masalah baru. Sistem toko online barang bekas ini memotong akses bagi masyarakat kelas bawah ke pakaian yang mampu mereka beli. Jika semua barang yang bagus diborong oleh toko online barang bekas, tujuan awal dari konsep thrifting ini menjadi hilang.

Popularitas budaya thrifting yang sebagian dipengaruhi oleh konten media sosial, seperti video berburu barang bekas, ternyata menjadi sebuah dilema. Sisi positifnya, orang-orang terpanggil untuk mengambil bagian dalam budaya ini, termasuk mereka yang berpenghasilan tinggi. Namun, semakin tinggi permintaan, semakin mahal harganya.

Toko online barang bekas biasanya mematok harga di atas Rp150.000, sedangkan banyak yang beranggapan bahwa barang bekas di atas Rp100.000 tidak layak untuk dibeli. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa harga barang bekas tidak boleh lebih dari Rp50.000.

Selain itu, masih ada perdebatan mengenai apakah thrifting bisa menyelesaikan masalah lingkungan yang diciptakan oleh fast fashion. Sebagai contoh, pakaian bekas yang dijual toko online banyak yang berasal dari merk fast fashion. Hal ini bertentangan dengan anggapan bahwa thrifting seharusnya menjadi solusi untuk mengurangi limbah industri tekstil, yang sebagian besar dihasilkan oleh merk fast fashion itu sendiri.

Bahkan, thrifting bisa memicu konsumsi impulsif dari transaction utility, di mana transaksi terjadi hanya karena pembeli merasa diuntungkan tanpa adanya pertimbangan ke depan mengenai kegunaan barang. Contohnya, konsumen cenderung membeli barang bekas hanya karena harganya sangat murah dan mereka merasa ‘menang’ atas fashion, tanpa berpikir ke depannya apakah mereka akan menggunakan barang tersebut atau tidak. Dengan pola pikir ini, thrifting malah berpotensi meningkatkan limbah tekstil, bukan memecahkan masalah tersebut.

Terlepas dari masalah yang ada, thrifting masih akan terus berjaya, bahkan bisa berlanjut hingga menimbulkan kenaikan harga yang lebih parah lagi di masa mendatang.

Ketika berhadapan dengan isu yang kompleks seperti ini, semua bergantung kepada kita masing-masing dalam memainkan peran dalam budaya thrifting ini. Berpikir panjang ketika ingin membeli sesuatu menjadi hal yang sangat penting. Bagaimanapun juga, membeli barang, entah barang baru atau bekas, namanya tetap konsumsi.


Artikel terkait