Beberapa penyebab pelecehan seksual - Bagian 2

Read in English

brand solution-12.JPG

Baca bagian 1 - Pelecehan seksual di industri kreatif

Pelecehan seksual didefinisikan sebagai perhatian yang tidak dikehendaki dan tidak diinginkan yang bersifat seksual dan mengakibatkan ketidaknyamanan, rasa terhina, perasaan tersinggung, atau tekanan pada korbannya.

Dalam konteks tempat kerja, pelecehan seksual bisa termasuk pendekatan seksual yang tidak dikehendaki, hubungan seksual sebagai bayaran untuk perlakuan khusus, tekanan untuk melakukan hubungan seksual untuk mendapatkan sebuah proyek, kartun atau gambar, atau perilaku verbal atau fisik lainnya yang tidak diinginkan atau dianggap memalukan oleh korban.

Di dalam industri kreatif, pelecehan seksual sangat lazim ditemukan karena objektifikasi perempuan sangat ditekankan di industri ini. “Objektifikasi perempuan terjadi di mana saja, tapi lebih-lebih di industri kreatif, karena perempuan harus berdandan dan oleh karena itu objektifikasi terhadap tubuh mereka semakin ditekankan,” Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., dosen Psikologi di Universitas Indonesia, menjelaskan kepada The Finery Report.

Ia kemudian menyoroti penyanyi dangdut yang tampil dengan gaya yang sugestif. Beberapa laki-laki yang pernah menyaksikan mereka beranggapan bahwa para penyanyi dangdut itu menikmati diobjektifikasi. “Dalam pikiran pelaku, mengobjektifikasi perempuan adalah hal yang normal karena mereka melihat perempuan sebagai objek. Para lelaki ini menganggap perempuan inferior,” lanjut Dr. Kristi.

Penyebab pelecehan seksual bisa beragam, namun umumnya masuk ke dalam kategori berikut: sosialisasi, lingkungan yang mendukung, relasi kuasa, isu/gangguan kesehatan mental, dan kurangnya kesadaran.

Peran dan nilai gender yang disosialisasikan memengaruhi bagaimana pandangan terhadap pelecehan seksual di dalam sebuah masyarakat. Peran gender dipelajari sejak dini melalui sosialisasi di rumah, sekolah, dan lingkungan lainnya, mengajarkan masyarakat tentang apa-apa saja yang diharapkan dari seseorang berdasarkan gender mereka.

Meski tidak semua, perempuanlah yang paling banyak menjadi korban, dan laki-laki yang paling banyak menjadi pelaku. Ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa kita mengajari anak laki-laki untuk menjadi kuat dan agresif serta tidak menerima kata ‘tidak’ sebagai jawaban, dan mengajari anak perempuan untuk menjadi pasif, bersikap baik, dan pada umumnya tidak tegas. Hal ini sayangnya menciptakan situasi yang ideal bagi tumbuh dan berkembangnya pelecehan seksual.

Sosialisasi yang mendarah daging itu telah menyebabkan perempuan lebih takut menyinggung perasaan orang lain atau kehilangan pasangan mereka daripada mengakui rasa tidak nyaman dan rasa marah mereka. Ketika pelecehan seksual terjadi, ini bisa berarti bahwa perempuan akan tetap ‘baik’ dalam situasi konflik, bahkan sampai-sampai mendahulukan perasaan orang lain serta menghargai dan memprioritaskan hubungan mereka dibandingkan kesejahteraan mereka sendiri.

Kadang, pelecehan seksual diakibatkan oleh dan terjadi terus menerus karena lingkungan yang mendukung. Ini mungkin adalah hal yang paling membuat frustasi, karena tidak seperti sosialisasi seumur hidup, yang pada kebanyakan kasus tidak bisa diubah atau diputar balik, mengubah lingkungan tempat kita berada sekarang adalah kuasa kita. Namun begitu, kita masih hidup di dalam ekosistem yang subur untuk pelecehan seksual.

Pada tahun 2019, sekelompok pembuat film Indonesia meluncurkan kampanye ‘Sinematik Gak Harus Toxic’ sebagai respon terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam komunitas film. Kampanye tersebut bergabung dengan kampanye serupa lainnya yang mulai bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, yang didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat mengenai isu pelecehan seksual. Upaya untuk memerangi pelecehan seksual di dalam industri kreatif telah berkembang, tapi masih banyak lagi upaya yang harus dilakukan.

Aktris Mian Tiara pada awal tahun mengunggah rangkaian tweet. Ia membagikan kisahnya mengalami pelecehan seksual oleh aktor senior di lokasi syuting. Rangkaian tweet ini mendapat perhatian dari orang-orang di dalam industri, termasuk Hannah Al Rashid, yang mengalami pelecehan serupa dari seseorang yang dia curigai adalah orang yang sama dengan pelaku yang melecehkan Tiara.

Tiara awalnya bungkam, tapi akhirnya menceritakan pengalamannya kepada produser film itu, yang kemudian menghubungi aktor senior tersebut. Sang aktor, melalui manajernya, membantah klaim Tiara dan bahkan menyatakan bahwa ia merasa tersinggung dituduh seperti itu. Ini, sayangnya, adalah respon umum para tertuduh pelaku pelecehan.

Beberapa alasan kenapa korban tidak menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah pelecehan yang mereka alami adalah karena pelecehan seksual entah bagaimana sudah dinormalisasi di dalam industri kreatif. Selain itu, industri dan komunitas kreatif belum secara kuat mengadvokasi keselamatan dan hak-hak korban.

Beberapa korban khawatir akan keamanan pekerjaan dan karir mereka, terutama ketika pelaku adalah orang-orang yang memiliki status lebih tinggi di dalam industri. Sayangnya, dibandingkan menciptakan ruang yang aman bagi korban, industri kreatif seringkali malah menjadi ruang yang aman bagi pelaku.

Hannah dan anggota kru lainnya kemudian menciptakan sistem keamanan mereka sendiri, yaitu sistem peringatan. Meski mungkin membantu, sistem peringatan ini menjadi tambahan beban bagi korban. Tapi sistem itu tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali, mengingat saat ini belum ada peraturan yang bisa sepenuhnya melindungi korban. Ini kemudian membawa kita kepada isu lain: menyalahkan korban.

Menyalahkan korban terjadi ketika korban disalahkan atas pelecehan yang mereka alami untuk alasan apa pun. Kecenderungan untuk menyalahkan korban membuat mereka yang tadinya ingin bersuara menjadi bungkam. Dan jika mereka kemudian berbicara, mereka mungkin akan lebih disalahkan lagi karena ‘mempermalukan keluarga/perusahaan’ atau dikriminalisasi karena melaporkan pelecehan yang mereka alami.

Ada juga isu relasi kuasa, yang umumnya terjadi di lingkungan kerja. Beberapa pihak menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki, dan salah satu bentuk penyalahgunaan tersebut adalah pelecehan seksual. Hal ini biasanya terjadi ketika pelaku menganggap korban sebagai seseorang yang rentan atau merasa stabilitas pekerjaan mereka tidak aman. Harvey Weinstein adalah contohnya, sampai pada akhirnya dia dinyatakan bersalah pada awal tahun 2020.

Tetapi kadang, pelecehan seksual adalah produk dari masalah dan gangguan mental. Contohnya, gangguan eksibisionistik, yaitu gangguan di mana seseorang memaparkan alat kelamin atau organ seksualnya kepada orang yang tidak menginginkannya. Pelecehan dalam bentuk ini bisa terjadi secara fisik atau secara virtual dalam bentuk foto bugil atau foto organ seksual yang tidak diinginkan penerimanya.

Dr. Kristie percaya bahwa mengirim foto bugil atau organ seksual yang tidak diinginkan bermuara pada pikiran seksual. “Keinginan untuk mendominasi, narsisme – laki-laki yakin bahwa perempuan akan senang menerima foto tersebut. Tapi, perlu dicatat bahwa perempuan juga melakukannya belakangan ini,” jelasnya.

Rasa tidak aman juga bisa berujung pada pelecehan seksual. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Halper dan Rios (2018) mendukung gagasan bahwa laki-laki yang memegang kekuasaan lebih cenderung melecehkan orang lain ketika mereka merasa khawatir akan dianggap tidak kompeten. Kecenderungan ini tidak ditemukan pada perempuan.

Penelitian itu juga menemukan bahwa laki-laki tidak melulu melecehkan perempuan secara seksual karena mereka mencari kepuasan seksual, tetapi lebih karena rasa takut dianggap tidak kompeten menumbuhkan keinginan untuk merusak posisi perempuan di dalam hierarki sosial.

Terakhir, meski sulit dipercaya mengingat kita berada di zaman modern, kadang penyebab pelecehan seksual adalah kurangnya kesadaran. Sebuah publikasi ilmiah pada tahun 2018 menemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual adalah ketidakpedulian, di mana pelaku tidak sepenuhnya mengerti bahwa apa yang mereka lakukan bisa dianggap sebagai kejahatan karena mereka melihat tindakan mereka sebagai hal yang ‘sepele’ (misalnya, bersiul, ekspresi seksis, ajakan seks, dan tindakan verbal lainnya).

Memang, dibandingkan serangan seksual yang lebih mudah untuk dikenali dan dikategorikan, pelecehan sifatnya lebih halus. Contohnya, pelaku bisa saja memang menganggap ajakan seksual yang tidak diinginkan sebagai godaan semata.

Kalau memang begitu adanya, jalan kita masih panjang untuk mengatasi masalah pelecehan seksual di Indonesia. Kabar baiknya, kita selangkah lebih dekat pada tujuan akhir karena kita telah mengidentifikasi akar masalah: penyebab terjadinya pelecehan seksual. Di bagian selanjutnya dari serial ini, TFR akan mendiskusikan apa-apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu membawa masyarakat ke arah yang benar.


Artikel terkait