Gambar bercerita: Sejarah perkembangan komik

Ditulis oleh Nikita Purnama and Lara Dianrama | Read in English

Apakah kalian ingat masa ketika kalian membaca buku komik Marvel saat beranjak dewasa, mendukung Wolverine, atau tertawa atas komentar jenaka Spiderman? Apakah kalian pernah mengalami saat harus memilih antara Anthony dan Terry dari Candy Candy bertahun-tahun silam?

Atau ketika kalian berlari untuk mendapatkan harian Kompas edisi hari Minggu untuk membaca cergam sebelum para orangtua sibuk mengisi teka-teki silang di halaman yang sama? Mungkin, kalian pernah mengalami semua ini dan masih membaca satu atau sebagian besar dari jenis seni visual ini.

Ada perdebatan mengenai siapa yang pertama kali memulai bentuk seni visual ini. Apakah Amerika yang pertama kali membuat buku komik? Atau Jepang? Bagaimana seni yang tampaknya asing ini bisa sangat digandrungi di Indonesia? Meskipun menentukan siapa yang melakukan apa untuk pertama kalinya bisa menjadi hal yang mudah dengan menggunakan linimasa yang ada saat ini, penting untuk dicatat bahwa setiap daerah memiliki sejarahnya sendiri dalam membuat industri buku komik mereka.

Amerika dan Eropa memiliki sejarah buku komik yang berbeda. Komik Inggris memiliki format yang sama seperti komik Amerika dalam hal ukuran, tipe kertas, dan lipatan, namun komik Inggris segera keluar dari format ini menjadi ukuran majalah. Buku komik di pasar Inggris awalnya ditujukan untuk kelas pekerja yang kurang berpendidikan, mengingat visualisasi dari sebuah cerita berbentuk tulisan akan lebih mudah untuk mereka baca. Perspektif ini juga menjadikan buku komik dianggap kekanakan, dan tidak lama kemudian, industri tersebut menargetkan anak-anak dibandingkan masyarakat umum.

Foto: The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck

Foto: The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck

Di Amerika, sejarah komik lokal dimulai pada tahun 1842 dengan publikasi lokal The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck, sebuah serial strip koran Swiss. Dengan meningkatnya popularitas, berbagai publikasi mulai bersaing untuk mempekerjakan seniman komik populer untuk ditampilkan dalam koran mereka. Karakter-karakter strip berikutnya tidak lama menjadi selebriti dan diadaptasi ke dalam berbagai media.

Judul komik pahlawan super pertama, Superman, muncul sekitar sembilan dekade kemudian dan genre tersebut berkembang selama Perang Dunia II. Namun, di tahun 1950an, buku komik dituduh memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak dan penjualannya menurun secara eksponensial. Untuk melindungi reputasi industri, Comic Code Authority lalu dibuat, namun pada saat yang bersamaan publikasi genre horor dan kriminal dihapuskan. Genre pahlawan super bangkit pada tahun 1956. Pada saat yang bersamaan, pergerakan komik bawah tanah yang mengejar tema-tema yang berbeda dan memperkenalkan model distribusi yang baru muncul di Amerika Serikat untuk pertama kalinya.

Mungkin aman dikatakan bahwa sejarah komik Barat dimulai di Eropa, khususnya negara-negara Perancis-Belgia. Rodolphe Töpffer, pencipta The Adventures of Mr. Obadiah Oldbuck, memublikasikan komik strip dan teori format komik pada tahun 1827. Segera setelah komik Perancis-Belgia mulai mendominasi pasar komik Eropa, Alain Saint-Ogan, pencipta Zig et Puce, memopulerkan penggunaan balon dialog. Mengikuti kesuksesan-kesuksesan ini, industri komik Perancis-Belgia terus memproduksi hasil karya yang saat ini kita anggap sebagai karya yang kekal, seperti The Adventures of Tintin dan The Adventures of Asterix.

Foto: The Adventures of Tintin oleh Hergé

Foto: The Adventures of Tintin oleh Hergé

Manga adalah istilah untuk komik Jepang yang disebut berasal dari abad ke-12. Kata tersebut berasal dari ‘man,’ yang berarti bertele-tele atau tanpa tujuan, dan ‘ga’ yang berarti ‘gambar.’ Manga juga dipercaya menjadi dasar dari gaya membaca kiri-ke-kanan di negara itu. Meski demikian, istilah itu sendiri baru mulai digunakan secara umum pada tahun 1798 dengan publikasi buku bergambar Shiji no Yukikai oleh Santo Kyoden, Manga Hyakujo oleh Aikawa Minwa, dan buku-buku komik Hokusai. Sejarah politik Jepang memengaruhi industri manga mereka secara langsung dalam hal tema. Beberapa sejarawan mencatat penekanan pada pelestarian tradisi budaya dan estetika Jepang, sementara yang lain menekankan pada waktu pendudukan sekutu Jepang, yang kemudian lebih berfokus pada pengaruh budaya Amerika.

Periode setelah perang adalah masa di mana terdapat gelombang besar produksi manga yang melibatkan nama-nama besar, seperti Osamu Tezuka, pengarang Astroboy, dan Hachiko Hasegawa, pengarang Sazae-san. Tezuka mempelopori teknik panel “sinematografis” yang digunakan dalam manga untuk menunjukan jenis dinamisme gerak lambat yang banyak digunakan oleh banyak mangaka (seniman komik) saat ini. Sementara, Hasegawa fokus pada kehidupan sehari-hari wanita dalam manga-nya dan gayanya menjadi prototipe dari genre yang dikenal sebagai shoujo manga (komik gadis), salah satu genre manga dasar pada masa itu selain shounen manga (komik anak laki-laki).

Sementara itu di Cina, manhua, istilah untuk lukisan literati Cina, digunakan dalam artian modern untuk merujuk pada buku komik pada tahun 1925 meskipun menjadi akar manga Jepang. Lukisan dan ukiran batu Cina dari abad ke-11 merupakan akar dari manhua modern, yang lahir pada awal abad ke-20. Buku bergambar seukuran tangan lianhuanhua yang populer di Shanghai pada tahun 1920an dikatakan sebagai pendahulu manhua modern.

Manhua juga digunakan sebagai alat propaganda politik selama masa pemerintahan Sun Yat-sen untuk menyebarkan propaganda anti-Qing dan bahkan selama masa Perang Sino-Jepang. Ketika Jepang menduduki Hong Kong pada tahun 1941, produksi manhua dihentikan. Pengarang manhua juga mengambil bagian dalam perang anti-Jepang dengan meninggalkan kota-kota besar untuk menyebarkan propaganda anti-Jepang di daerah-daerah terpencil menggunakan seni mereka. Menyerahnya Jepang pada tahun 1945 menandakan permulaan kekacauan politik antara kelompok Nasionalis dan Komunis.

Sama halnya dengan manga Jepang, istilah manhwa berasal dari manhua Cina. Di Korea Selatan, istilah ini populer digunakan untuk merujuk pada kartun pada tahun 1920an. Namun, selama masa pendudukan Jepang, semua produksi manhwa yang kritis secara sosial dan politik ditinggalkan untuk menciptakan isi yang lebih jenaka dan ramah anak. Namun, komik-komik yang bernuansa lebih sosio-politis mulai muncul kembali pada tahun 1948 di Korea Selatan, meskipun sensor masih umum terjadi.

Foto: Manhwa Solo Leveling

Foto: Manhwa Solo Leveling

Kepopuleran manhwa tumbuh pada tahun 1950an dan 1960an, dan periode ini memperkenalkan lebih banyak keragaman gaya. Beberapa genre segera menjadi terkenal, seperti sunjeong, yang setara dengan shoujo manga di Jepang. Manhwabang atau cafe komik menjadi populer dan memberikan akses manhwa yang mudah kepada masyarakat. Di pertengahan tahun 1960an, pemerintah merespon aktivitas industri manhwa yang meningkat dengan menegakkan hukum sensor.

Walaupun sebagian besar buku komik yang ada ketika kita tumbuh dewasa kemungkinan besar merupakan produk luar negeri, komik sudah sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan sejak zaman prasejarah. Dalam disertasinya, Marcel Bonnef (1998) menemukan bahwa akar budaya komik di Indonesia tertanam sejauh ukiran batu di Prambanan dan Borobudur, yang menceritakan kisah melalui gambar yang diukirkan pada tembok.

Ada juga wayang beber, yaitu wayang yang ditampilkan menggunakan beberan atau lembaran kulit atau kertas berlukiskan segmen-segmen sebuah cerita. Menurut Kitab Sastro Mirudo, wayang beber diciptakan pada tahun 1928, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo.

Foto: Put On oleh Kho Wang Gie

Foto: Put On oleh Kho Wang Gie

Pada tahun 1930, komik modern Indonesia pertama, atau cergam (cerita bergambar), diproduksi oleh pengarang Malaysia-Cina seperti Put On oleh Kho Wang Gie yang dipublikasikan di harian Sin Po. Para pengarang Malaysia-Cina lainnya tidak lama mengikuti dengan hasil karya seperti Si Tolol di Star Magazine dan Oh Koen. Ada juga cergam yang didasarkan atas cerita rakyat Sumatera, Mentjari Poeteri Hidjaoe, oleh Nasroen A. S. di mingguan Ratoe Timor.

Selama masa pendudukan Jepang pada tahun 1940an, koran lokal berfungsi sebagai media propaganda Jepang, namun ada beberapa cergam yang diterbitkan, seperti Pak Laloer dan Roro Mendoet. Pengaruh buku komik Amerika baru mulai menyebar di Indonesia ketika strip Tarzan dipublikasikan secara lokal pada tahun 1947. Selama masa kejayaannya pada tahun 1953, karakter-karakter seperti Sri Asih - yang sangat dipengaruhi Wonder Woman - oleh R. A. Kosasih dan Nina Putri Rimba oleh Djoni Lukman membawa warna baru ke dalam industri komik Indonesia.

Image: Sri Asih oleh R. A. Kosasih

Image: Sri Asih oleh R. A. Kosasih

Namun, pada tahun 1954, buku komik Barat diprotes, diikuti dengan seruan untuk menghancurkannya. Pada saat itu, pemain industri komik Indonesia mencoba berbagai hal untuk menjaga industri tetap hidup. Beberapa mengadaptasi cerita rakyat, sejarah, dan budaya Indonesia untuk memproduksi buku komik yang lebih ‘bersumber lokal,’ seperti Lahirlah Gatotkatja oleh Keng Po, Raden Palarasa oleh Djoni Lukman, dan serial Mahabarata oleh R. A. Kosasih.

Tahun 1960an menjadi era keemasan buku komik di Medan ketika Casao, sebuah publikasi komik, memublikasikan cerita-cerita berdasarkan tema Minangkabau, Tapanuli, dan Deli lama. Terdapat peningkatan tema nasionalis dan patriotis pada tahun 1963, di mana kebanyakan buku komik fokus pada pahlawan-pahlawan nasional dan perang yang mereka jalani. Situasi menjadi semakin parah setelah Pembunuhan ‘65. Kebanyakan komik yang menyebar pada saat itu sangat dipolitisasi dan pengarangnya tidak bisa melabeli hasil karya mereka. Beberapa bahkan dicurigai dan ditahan untuk diinterogasi.

Buku komik yang dituduh merendahkan moral kemudian disita dan dibakar. Pada saat yang bersamaan, para cergamis atau seniman komik bersatu untuk membela diri mereka sendiri dan mendirikan sebuah organisasi bernama IKASTI (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia). Tidak lama kemudian, Indonesia mulai terbuka untuk buku komik internasional dan mulai mempublikasikannya secara lokal.

Sejarah kita sangat memengaruhi pembentukan industri komik kita, dan seperti publikasi lainnya, tidak ada bentuk seni yang terbebas dari keinginan pihak berwenang, termasuk komik/manga/manhua/manhwa/cergam, apa pun kalian menyebutnya. Dengan latar belakang seperti itu, beberapa dari kita mungkin berpikir, di mana komik-komik Indonesia? Di mana kita bisa menemukannya, dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa berkompetisi dengan serbuan tiada akhir dari komik-komik berkualitas tinggi dari seluruh dunia? Itu adalah cerita untuk hari lainnya.


Artikel terkait


Berita