Mengubah citra warisan: Kehidupan baru bagi jamu

Read in English

public.jpeg

Presiden Joko Widodo telah lama dikenal percaya terhadap khasiat kesehatan jamu. Jokowi sering mengatakan bahwa dia meminum ramuan khusus yang terbuat dari berbagai rempah setiap hari; meski kemdian menyatakan bahwa sejak pandemi COVID-19 melanda, dia meningkatkan asupannya menjadi tiga dosis sehari.

Tidak ada yang luar biasa mengenai bahannya, yang terdiri dari, antara lain, jahe, serai, kunyit, dan jahe Jawa - diramu dan diolah khusus oleh juru masak pribadinya. Meski efektivitas ramuan khusus ini dalam meningkatkan kekebalan tubuh dan menjaganya tetap sehat belum terbukti secara ilmiah, sang presiden (tampaknya) mampu menjaga dirinya bugar dan aktif bahkan di tengah pandemi.

Bagaimanapun, kebiasaannya telah menginspirasi banyak orang untuk mengadopsi minuman ini sebagai bagian dari diet mereka. Nyatanya, paket jamu rasa campuran favorit presiden ini dapat ditemukan di pasar tradisional dan dijual dengan nama 'Jamu Jokowi.' Ini terjadi setelah meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan kebugaran selama pandemi COVID-19; semua orang mencari makanan dan suplemen kesehatan, dan minuman herbal yang terkadang terlupakan - jamu - kini mendapatkan sorotan yang semestinya.

Ketua Gabungan Pengusaha Jamu menyatakan bahwa penjualan jamu, terutama beras kencur, kunyit asam, dan wedang uwuh, meningkat drastis. Peningkatan drastis tersebut juga dikonfirmasi oleh Google. Menurut data Google Trends 2020, pencariin untuk minuman herbal tradisional meningkat 275% karena masyarakat mencari cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada tantangan bagi produsen, yang menyebutkan sarana promosi yang terbatas dan penundaan distribusi sebagai dua tantangan yang paling umum. Meski demikian, tantangan tersebut tidak menjadi kendala bagi para pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar jamu.

Karya Ramu (@karya_ramu), misalnya. Merek yang didirikan pada bulan Desember 2020 oleh Panca Tampubolon, Leonardo Domenico, Yohanes Febrianto, Theodori Raphael Monti, dan Christine Gerriette ini menawarkan berbagai pilihan minuman jamu dalam bentuk modern, yang disebut Jamu Mocktails. “Kami terinspirasi untuk menciptakan produk berbahan dasar jamu yang masih memiliki esensi menyenangkan,” cerita para pendiri Karya Ramu kepada The Finery Report.

Mereka tanpa diragukan lagi memiliki pandangan menarik tentang jamu yang bisa jadi efektif mengatasi penolakan masyarakat terhadap minuman tersebut. “Persepsi bahwa jamu itu pahit, menyengat, dan terlalu kuat di lidah kita adalah sebuah pandangan yang ingin kami perbarui. Melalui Karya Ramu, minuman tradisional Indonesia yang kita kenal dengan baik ini juga bisa hadir dalam bentuk yang lebih akrab dan menyenangkan. Dan tentunya ini membuka peluang bagi Jamu Mocktails kami untuk menjadi cara mengubah persepsi (dan penolakan) masyarakat tentang jamu sebagai warisan budaya Indonesia,” jelas mereka.

Strategi mereka tentu saja merupakan salah satu cara agar jamu bisa bangkit kembali. Namun, sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang bagaimana jamu merebut kembali tempatnya di hati dan lidah orang Indonesia, mari kita lihat asal-usulnya.

Foto dari Karya Ramu

Foto dari Karya Ramu

Sejarah jamu diperkirakan berasal dari tahun 1300 Masehi. Banyak yang percaya bahwa kata 'jamu' berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa kuno: djampi (penyembuhan) dan oesodo (kesehatan). Jamu mengacu pada campuran rempah yang terutama digunakan untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit, dan setiap daerah di Indonesia memiliki ramuan jamu masing-masing, tergantung pada rempah yang ditemukan di daerah setempat.

Saat pengobatan modern masuk ke Indonesia, tradisi mengonsumsi jamu secara rutin tiba-tiba terancam. Kenyataan bahwa jamu tidak distandardisasi atau bersertifikat membuat minuman tradisional ini kesulitan untuk bersaing dengan pengobatan modern yang sudah terbukti efeknya dan didukung oleh penelitian yang menyeluruh. Tidak hanya itu, keefektifan jamu juga mulai dipertanyakan.

Untungnya, ketika Kekaisaran Jepang menduduki Indonesia, tradisi mengonsumsi jamu dibangkitkan kembali dengan didirikannya Komite Jamu Indonesia. Saat ini, kita masih melihat jamu di sekeliling kita, meskipun sudah dimodifikasi untuk memenuhi kenyamanan era modern yang kita cari. Kita biasa mengonsumsi jamu dalam bentuk pil, bubuk instan, atau tablet - dan sekarang kita bahkan bisa menikmati jamu dalam bentuk mocktail!

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, dalam publikasi yang ditulisnya untuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, bagian dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2014 mencantumkan jamu sebagai 'obat komplementer,' bukan obat konvensional. Prinsip pengobatan tradisional dan komplementer adalah:

  1. Pendekatan holistik (pikiran-tubuh-jiwa)

  2. Modalitas yang komprehensif (intervensi pikiran-tubuh-jiwa)

  3. Ditujukan untuk mendapatkan kembali vitalitas tubuh untuk penyembuhan diri sendiri

  4. Pendekatan holistik dalam mengukur efektivitas pengobatan (perbaikan fungsi tubuh).

Oleh karena itu, keberadaan jamu tidak boleh berbenturan dengan pengobatan modern. Dalam situasi yang ideal, keduanya saling melengkapi. Publikasi di atas juga mencantumkan lima pemangku kepentingan yang berperan penting dalam memastikan jamu terus berkembang di dalam masyarakat: publik, pekerja kesehatan, peneliti, regulator, dan dunia bisnis.

Pemerintah, sebagai regulator, telah menjalankan beberapa upaya untuk mendukung perkembangan jamu, termasuk melalui program Saintifikasi Jamu. Program tersebut bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah keamanan dan keefektifan jamu melalui penelitian berdasarkan bukti terhadap layanan kesehatan, keamanan, dan kelayakan jamu.

Hal ini tentunya menjadi kabar gembira bagi para pelaku bisnis seperti Karya Ramu yang telah melalui tahap riset dan pengembangan sendiri. “Kami mulai dari proses eksplorasi rasa dan bahan. Tim Karya Ramu fokus pada inovasi dan adaptasi secara terus menerus yang selaras dengan era yang berubah dengan cepat. Kami menerapkan hal ini pada berbagai aspek, mulai dari produk hingga pemasaran, kolaborasi, dan lainnya,” imbuh mereka.

Dengan dukungan dari semua pemangku kepentingan, ditambah dengan semakin populernya tren gaya hidup sehat, jamu akan kembali - lebih kuat dari sebelumnya. Tentu kita berharap bahwa kita tidak akan menjadi generasi yang mengecewakan jamu. Dan sepertinya kita tidak akan mengecewakan; generasi ini tampaknya memiliki bakat dalam hal rebranding warisan.


Artikel terkait


Berita