Mari bicarakan virus yang satu lagi

Read in Indonesian

Pada 7 November 1991, bintang NBA  Earvin “Magic” Johnson dari Los Angeles Lakers naik ke podium di Forum Club dan membagikan berita yang mengejutkan: “Karena virus HIV yang saya miliki, saya harus pensiun dari Lakers. Hari ini.”

Johnson, saat itu berusia 32 tahun, adalah salah satu atlet paling terkenal di dunia, dan, ketika itu, wajah olahraga bola basket. Di hari yang menentukan di bulan November itu, ia juga menjadi wajah baru HIV. HIV/AIDS umumnya dianggap sebagai “penyakit gay” atau hanya kebanyakan memengaruhi orang-orang yang menggunakan narkoba. Namun, seorang suami dan ayah yang masih muda, bugar, dan heteroseksual pada masa jayanya mengumumkan kepada dunia bahwa dia positif HIV; “Saya rasa kadang kala kita berpikir hanya gay yang bisa mendapatkannya… Saya mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi kepada siapa saja-bahkan saya,” ucapnya.

Dampak pengumuman yang ia buat adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sepanjang bulan yang sama,, tes HIV meningkat hampir 60% di kota New York. Kesedihan, rasa terkejut, dan kekaguman menyelimutinya saat penggemarnya mendengar berita tersebut. “Satu hari setelah dia memberitahu dunia”, Associated Press melaporkan, “orang-orang berbicara dan menangis dan hampir tidak memikirkan hal lainnya.” Melihat figur publik yang begitu dicintai mengungkapkan infeksi HIV-nya menuntun masyarakat memiliki pandangan yang lebih empati terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Tentu, cerita yang satu ini berakhir bahagia. Johnson berhasil mengontrol virus itu dengan pengobatan yang ada sebelum diluncurkannya terapi kombinasi rangkap tiga pada tahun 1996 yang telah memperpanjang hidup banyak pengidap HIV. Belakangan ini, ia sukses sebagai pengusaha dan aktivis HIV/AIDS dan masih tetap sehat dengan pengobatan HIV yang tepat.

Cerita-cerita seperti ini menunjukkan seberapa jauh pengobatan HIV/AIDS telah berkembang sejak saat itu. Kini, HIV saat ini dikategorikan sebagai “penyakit kronis yang dapat dikendalikan” oleh Organisasi Kesehatan Dunia. HIV/AIDS bukan lagi merupakan hukuman mati yang kita ketahui pada tahun 1980-an dan 1990-an. Ini berarti HIV tidak lagi banyak muncul di berita, yang juga berarti masyarakat tidak teredukasi dengan baik mengenai HIV/AIDS pada 2021. Hal ini berujung pada dua hal: kepuasan diri dan stigma.

Pasalnya, COVID-19 memang serius, tapi kita harus membicarakan tentang virus yang satu itu lagi. 

Amahl S. Azwar, penulis positif HIV yang berbasis di Bali, mengatakan hal ini ketika ditanya mengenai masalah HIV/AIDS paling mendesak di Indonesia saat ini: “Stigma, stigma, dan stigma.” “Banyak anggota masyarakat kita yang masih berpikir bahwa HIV adalah ‘kutukan’, jadi tidak peduli seberapapun kita mengampanyekan program pencegahan HIV, tidak akan berarti karena mereka selalu melihatnya dari perspektif kepercayaan mereka (baca: agama),” lanjut Amahl.

The Finery Report berpendapat sudah saatnya kita diperkenalkan pada HIV/AIDS lagi. TFR berbincang dengan dokter kandungan-ginekologi Dinda Derdameisya mengenai HIV/AIDS untuk lebih memahami HIV/AIDS. Ada tiga cara seseorang bisa tertular HIV: kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh tertentu (air mani, cairan pra-mani, cairan dubur, cairan vagina, dan air susu ibu) dari orang dengan HIV/AIDS melalui selaput lendir, transmisi vertikal dari ibu yang positif HIV kepada anaknya melalui ASI atau proses melahirkan, dan melalui cairan tubuh dengan hubungan seks vaginal, anal, dan oral. Berjabat tangan, pelukan, atau berbagi pakai peralatan makan dengan orang yang positif HIV tidak menempatkan kita dalam bahaya tertular HIV.

Di Indonesia, tingkat infeksi HIV telah menurun 16,5% antara 2019 dan 2020. Namun, kasus AIDS meningkat 22,78% dari 7.036 kasus menjadi 8.639 kasus antara 2019 dan 2020. Kebanyakan kasus ini ditemukan dalam kelompok usia produktif, dengan jumlah terbesar berusia antara 20-39 tahun atau milenial dan generasi Z.

Milenial muda dan generasi Z belum lahir atau masih terlalu muda untuk mengingat kematian Freddie Mercury dan Arthur Ashe, atau pengumuman HIV Magic Johnson. Mereka tidak mengalami periode ketakutan akan epidemi HIV/AIDS pada 1980-an dan awal 1990-an. Berbeda dengan pengumuman Johnson, ketika figur publik seperti Charlie Sheen dan Jonathan Van Ness mengumumkan bahwa mereka positif HIV dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan publik jauh lebih tenang. Narasinya adalah pengumuman tersebut menunjukkan keberanian dan pandangan positif mereka. Keberanian, karena masih ada diskriminasi dan miskonsepsi yang harus dilawan. 

Miskonsepsi pertama adalah bahwa HIV/AIDS sudah tidak ada. Tidak, HIV hanyalah merupakan kondisi kronis yang bisa dikendalikan ketika seseorang yang terinfeksi mendapatkan pengobatan yang sesuai, yaitu obat Antiretroviral (ARV) yang bekerja dengan menghentikan replikasi virus di dalam tubuh. Pengobatan Antiretroviral (ART) bisa mengurangi HIV sampai ke kuantitas yang sangat kecil sehingga virus tersebut tidak bisa lagi dideteksi dengan tes darah standar. Orang dengan HIV yang memiliki jumlah virus yang tidak terdeteksi tidak bisa menularkan HIV melalui seks.

Untungnya, akses pengobatan sudah jauh lebih baik seiring berlalunya waktu. “Bagi saya, pengobatan itu sangat mudah diakses. Saya cukup beruntung karena saya tinggal di Bali dan dekat dengan komunitas LGBTQIA+ sehingga kami bisa saling memberi informasi. Saya mengambil obat saya dari Bali Peduli setiap bulan. Tidak ada kesulitan sama sekali,” cerita Amahl.

Miskonsepsi kedua adalah bahwa HIV/AIDS hanya memengaruhi kelompok masyarakat marginal, seperti komunitas LGBT, penyalahguna obat-obatan, atau orang dengan banyak pasangan seksual. Pada kenyataannya, salah satu alasan HIV/AIDS masih banyak terjadi di Indonesia adalah tingkat infeksi di antara ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami mereka.  

Sebuah studi oleh Fauk, Ward, Hawke, dan Mwanri mengindikasikan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/HIV (ODHA) masih terjadi dalam keluarga, masyarakat, dan bahkan layanan kesehatan. Hal ini tercermin dalam pelabelan negatif, pemisahan barang pribadi, pengucilan, penolakan pengobatan, dan penolakan terhadap ODHA oleh pemberi layanan kesehatan, keluarga, dan anggota masyarakat. Beberapa penyedia layanan kesehatan melaporkan bahwa mereka secara pribadi telah melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA. Kurangnya pengetahuan mengenai HIV, rasa takut tertular HIV, nilai pribadi, pikiran religius, dan nilai serta norma sosial-budaya dilaporkan sebagai penggerak atau fasilitator di balik stigma dan diskriminasi yang berhubungan dengan HIV.

Sebagai contoh, berikut kutipan oleh seorang petugas kesehatan yang dikutip dalam studi: “Saya mengakui bahwa awalnya saya mendiskriminasikan pasien yang merupakan suami yang masih menikah yang tertular HIV melalui seks dengan pelacur atau menyuntikkan obat. Salah satu alasan adalah mereka melanggar ajaran agama dan menjadi beban bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tapi juga istri mereka. Dosa dan kesalahan yang mereka lakukan berakibat negatif terhadap istri dan anak mereka,” (HCP3, perawat perempuan, Yogyakarta).

Jelas, pemahaman dan kepedulian yang lebih dalam sangat dibutuhkan. Pemerintah dan aktivis HIV/AIDS akan terus melakukan bagian mereka, namun media dan industri kreatif-termasuk kita-juga memiliki peran penting.

Bagaimana media dan industri kreatif dapat membantu adalah dengan menyajikan poin yang relevan kepada khalayak luas. Sebagai contoh, pembuat film Lola Amaria merilis sebuah film berjudul “Calon Pengantin” pada 2020. Film tersebut menyentuh topik HIV/AIDS dengan menyajikan cerita seorang pasangan heteroseksual yang menemui keadaan tak terduga itu di tengah persiapan pernikahan mereka. “Pilihan untuk mengambil topik cinta muda dimaksudkan untuk membuat film lebih mudah untuk dicerna, karena cerita cinta dan pernikahan selalu memukau audiens kita,” jelas Lola.

Yang paling penting, dengan membahas HIV/AIDS, media bisa berkontribusi dalam menarik perhatian publik dan pemerintah. Begitu media menjadikan sebuah isu viral, pemerintah tentunya akan memerhatikan dan mungkin akan mendorong kebijakan yang akan mendukung perjuangan melawan HIV/AIDS.

Jalan Indonesia masih panjang dalam menciptakan negara yang aman dan kondusif bagi ODHA dan keluarga mereka. Namun, sudah ada kemajuan dan Amahl tidak ragu untuk mengatakannya, “Ada perubahan! Kita tentu perlu merayakan ini. Saya melihat lebih banyak orang mengerti bahwa tidak apa-apa bergaul dengan ODHA. Tentu saja, secara umum, masih ada yang harus dilakukan - ini pekerjaan rumah kita, bersama.”

Memang benar ini pekerjaan rumah kita. Nah, mari kita kembali membicarakan virus yang satu lagi itu.


Artikel terkait


Berita