Evolusi streetwear

Read in English

Startup cover-02.jpg

Menurut Bobby Kim, salah satu pendiri brand streetwear The Hundreds, streetwear bukanlah tentang pakaiannya, tapi tentang budayanya. Streetwear dikabarkan bermula dari naiknya budaya punk pada tahun 70an, dengan dominasi band-band seperti Joy Division dan The Ramones di dunia musik. Yang lain menganggap streetwear berasal dari naiknya popularitas hip-hop dan sub-budaya bloc party – yang kemudian menciptakan nama streetwear.’

Meskipun asal muasalnya banyak diperdebatkan, Stüssy adalah salah satu merek yang menjadikan streetwear sebuah konsep nyata. Pemiliknya, Shawn Stüssy, mengimplementasikan elemen dari budaya membuat sendiri yang diawali oleh punk rock dengan menambahkan desain buatannya ketika membuat papan selancar untuk teman-temannya dan penduduk lokal di California. Untuk mempromosikan karyanya, Stüssy lalu mencetak desain-desain tersebut ke atas t-shirt dan celana pendek untuk dijual bersama dengan papan selancar. Apa yang berawal sebagai pekerjaan sampingan kecil-kecilan khusus untuk teman dan keluarga tidak lama kemudian berubah menjadi salah satu lini pakaian terbesar di dunia.

Budaya berselancar dan skateboard yang diperkenalkan oleh Stüssy menjadi landasan bagi merek-merek streetwear terkenal lainnya pada tahun 1990an, seperti Freshjive dan Supreme milik James Jebbia. Namun, ada berbagai perubahan dalam segmen tersebut. Popularitas dan pengaruh yang semakin meningkat membawa streetwear ke platform baru.

Di Jepang, gelombang punk dan hip-hop membentuk dunia fesyen di Tokyo. Merek-merek seperti A Bathing Ape (BAPE) dan NEIGHBORHOOD muncul dari gang-gang di Ura-Harajuku dan mengguncang dunia fesyen jalanan Tokyo. Pendiri BAPE, Nigo, mengambil inspirasi dari kelompok hip-hop generasi awal, seperti Run DMC, sementara Shinsuke Takizawa, pendiri NEIGHBORHOOD, menjadikan jaket militer serta budaya punk dan rock & roll sebagai titik mulanya.

Foto: NEIGHBORHOOD

Foto: NEIGHBORHOOD

Salah satu alasan mengapa streetwear Jepang mampu merajai pasar Amerika dan, tidak lama kemudian, pasar global adalah karena streetwear Jepang dikenakan oleh orang-orang yang berpengaruh secara budaya pada masa itu. Contohnya, popularitas BAPE disebut-sebut naik di pasar Amerika ketika rapper Soulja Boy, yang paling dikenal dengan lagunya yang berjudul ‘Crank That,’ merilis lagu ‘I Got Me Some Bapes’ pada tahun 2007.

Momen-momen revolusioner ini membawa BAPE keluar dari jalan-jalan gelap Tokyo dan memungkinkan merek tersebut memainkan peran penting dalam memengaruhi jalannya budaya hip-hop dan streetwear di seluruh dunia.

Budaya streetwear lebih dari hypebeast. Streetwear adalah mengenai tujuan. Bagi sebagian besar pendukung dan penggemar streetwear, membeli koleksi kolaborasi Supreme atau Travis Scott Nike terbaru dilakukan untuk memahami budayanya. Streetwear adalah mengenai berbagi nilai-nilai yang sama, jadi mengenakan Yeezy atau t-shirt dengan box logo, baik sengaja ataupun tidak, menunjukkan identitas mereka dan dari kelompok mana mereka berasal. Merek-merek ini memiliki ‘it factor.’

Anti Social Social Club memiliki pengikut yang sangat berdedikasi. Merek ini didirikan bagi misfits, bagi mereka yang merasa tidak memiliki tempat. Merek ini berbicara mengenai menyimpang dari kenormalan – pendirinya, Neek Lurk, membangun bisnisnya di atas keraguan atas dirinya sendiri. Produk-produknya mewakili depresi dan pandangan-pandangan negatifnya. Meski merupakan sebuah pendorong yang tidak biasa, Anti Social Social Club menjadi bisnis yang menguntungkan yang memberi merek tersebut dan konsumennya rasa tujuan dan persatuan.

Foto: Anti Social Social Club

Foto: Anti Social Social Club

Eksklusivitas diberi definisi baru di dalam dunia fesyen - terutama streetwear - dengan ‘drop culture,’ yaitu sebuah taktik pemasaran di mana sebuah merek merilis produk edisi terbatas dalam jumlah kecil. Strategi ini diperkenalkan oleh Nike ketika merilis Air Jordan pada pertengahan 80an. Budaya ini kemudian diadopsi oleh label pakaian skate, seperti Palace dan Stussy, yang kemudian dilanjutkan oleh peritel, seperti Flight Club atau Kith.

Mendapatkan t-shirt dengan box logo setelah mengantre selama berjam-jam atau berpacu dengan waktu untuk mendapatkan Jordan terbaru sebelum terjual habis adalah apa yang membuat streetwear eksklusif. Karena ketika ‘drop’ itu selesai, reseller akan menaikkan harganya secara gila-gilaan. Nilai barang yang sudah dibeli akan secara otomatis meningkat dua hingga empat kali lipat harga aslinya.

Dalam streetwear, ketika terjual habis, sebuah barang dikatakan sukses dan eksklusif. Strategi ini memanfaatkan kelangkaan dan menciptakan permintaan yang tinggi. Inilah yang membuat kolaborasi Kanye West dengan Adidas begitu sukses. Terdapat elemen personalisasi dan histeria dalam memiliki sebuah barang karena barang tersebut sedang hype dan orang-orang menyamakan memiliki suatu produk tertentu sebagai status.

Seperti sensasi global lainnya, streetwear juga berubah-ubah. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sudah melihat pergeseran monumental dalam budaya streetwear. Satu gerakan terkenal adalah integrasi budaya jalanan ke dalam high fashion. Gerakan ini bisa dikatakan dimulai oleh ambisi Virgil Abloh mengenai streetwear, di mana ia membawa streetwear ke tingkat yang lebih tinggi dan menciptakan sebuah kerajaan. Off-White menjadi salah satu merek yang paling mendominasi dalam fesyen. Farfetch menghabiskan $675 juta untuk mengakuisisi perusahaan induk Off-White, New Guards Group.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Dazed, Abloh berkata, “Saya harus melakukan sebuah pertunjukan untuk mendefinisikan ‘streetwear’ dan melakukannya dengan rasa urgensi.” Dan dia melakukannya. Abloh mendefinisikan ulang arti streetwear secara keseluruhan dengan tujuan untuk menggoyahkan rumah-rumah mode besar dan pandangan individual mereka terhadap streetwear. Dengan merilis koleksi di bawah kolaborasi bersama nama-nama besar seperti Jimmy Choo dan Moncler, Abloh membuktikan bahwa high fashion dan budaya fesyen jalanan bukan berada dalam dua kutub ekstrem yang berbeda, tapi merupakan dua sisi dari koin yang sama.

Saat ini, berbagai rumah mode sudah mulai lebih terbuka terhadap ide kaus grafik, jaket puffer, serta hoodie kasual. Sebagai contoh, kolaborasi Louis Vuitton dengan raksasa streetwear Supreme pada tahun 2017 menampilkan pakaian seperti jaket baseball, hoodie, dan bahkan kaus grafik dengan logo box ikonik milik Supreme. Pada tahun 2020, Dior berkolaborasi dengan Nike untuk merilis siluet Air Jordan dengan motif Dior Oblique di dalam logo ‘swoosh’ Nike.

Streetwear masuk ke dalam fesyen mewah ketika desainer, penggemar, dan selebriti melegitimasi budaya itu menjadi industri sapi perah. Streetwear diberi platformnya sendiri untuk tumbuh dan berkembang, yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dengan berbagai merek mewah. Kerja sama antara streetwear dan fesyen mewah mengaburkan batas mengenai seperti apa seharusnya sebuah tren itu. Hal ini mengabaikan peraturan kuno fesyen, yang kemudian menarik konsumen dan sudut pandang yang lebih luas mengenai apa itu streetwear dan bagaimana mereka bisa hidup berdampingan. Ini menjadi bukti bagi komunitas streetwear bahwa mereka juga bisa membawa daya tarik, eksklusivitas, dan kemewahan.

Tidak peduli di era apa pun, streetwear selalu rentan terhadap perubahan. Perubahan tidak pernah terikat pada satu sumber - perubahan adalah perpaduan dari aliran ide yang tak ada habisnya dan berbagai sudut pandang yang fluktuatif. Mempertimbangkan era Internet saat ini di mana tren tampaknya lepas landas dengan cepat, apa pun menjadi mungkin. Yang pasti, era baru ini membuat streetwear lebih rentan dari sebelumnya.


Artikel terkait


Berita